AMBON- Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Nakertrans) Kabupaten Buru Ridwan Tukuboya, menegaskan tidak ada lahan milik masyarakat Desa Batlale Kecamatan Airbuaya yang digusur untuk program transmigrasi.
Menurut Tukuboya yang ada hanya program pencetakan sawah baru, tapi bukan di Desa Batlale melainkan di desa tetangga, yakni Awaelinan. Desa ini sebelumnya dikenal dengan sebutan transmigrasi Keramat dan telah diserahkan ke Pemkab Buru sejak 2010.
“Tidak ada program transmigrasi baru di sana (Desa Batlale). Yang benar ada program pencetakan sawah baru bukan di Desa Batlale tapi di desa tetangga, Awaelinan. Desa ini sebelumnya dikenal dengan sebutan transmigrasi Keramat dan telah diserahkan ke Pemkab Buru tahun 2010 lalu. Kini telah menjadi desa difinitif,”kata Tukuboya, dalam siaran pers Humas Pemerintah Kabupaten Buru yang diterima Terasmaluku.com, Sabtu (7/5).
Ini disampaikan Tukuboya menanggapi maraknya pemberitaan yang menuding Dinas Nakertrans Buru mengambil tanah warga Desa Batlale untuk program transmigrasi. Menurut dia, kenyataan di lapangan tidak ada warga yang kehilangan tanah adat. Tanah adat di daerah itu turun temurun milik Soa FUA, termasuk lahan yang ditempati warga Batlale juga milik Soa FUA, dan sudah diikhlaskan kepada warga disana.
Kemudian di tahun 2005 telah dihibahkan 260 hektare untuk dijadikan pemukiman transmigrasi. Ia menyatakan,pemukiman transmigrasi itu 50 persen dari Pulau Jawa dan 50 persen warga lokal, termasuk beberapa kepala keluarga asal Batlale. Selama menempati lahan transmigran yang awalnya bernama Karamat itu, pemerintah belum pernah mencetak sawah irigasi terhadap warga disana.
Selama lahan sawah belum pernah dicetak terjadi perluasan Desa Batlale yang memakan lahan untuk persawahan seluas 3, 5 hektare yang kini sudah ada bangunan beberapa rumah warga dan juga satu unit rumah ibadah.
Perluasan desa tersebut tidak bermasalah, ada persetujuan serta diketahui pelaksana Raja Petuanan Lisela, Arief Hentihu dan juga Camat Air Buaya, Nyong Hentihu. Menurut Tukuboya, isu penggusuran warga Batlale mulai hangat setelah masuknya proyek pencetakan sawah baru di lahan pertanian milik eks transmigran asal Pulau Jawa maupun transmigran lokal.
“Ada yang menyampaikan ke warga kalau pemukiman mereka akan diratakan untuk program transmigran. Padahal faktanya bukan seperti itu. Tidak pernah ada rencana mendatangkan transmigran baru disana, apalagi sampai mengorbankan warga Batlale,”kata Tukuboya.
Menurutnya, sebelum ada program pencetakan sawah di 2016, ada kurang lebih enam persil tanah yang sedianya dijadikan sawah irigasi, saat masih diterlantarkan, dan telah ditanami tanaman umur pendek, seperti ketelah pohon dan jagung oleh enam warga Batlale. Bahkan ada beberapa pohon kelapa juga ditanami.
Menurut dia, karena dari perencanaan awal, lahan tersebut dijadikan sawah irigasi maka dengan sendirinya saat program cetak sawah dilakukan tahun ini, lahan tersebut juga ikut dicetak menjadi sawah bersama lahan lainnya milik warga eks transmigran. Nantinya, setelah dicetak menjadi sawah, lahan sawah itu tetap menjadi milik warga yang sebelumnya telah berkebun termasuk enam warga Batlale itu.
“Tapi saat kami turun di lapangan, ternyata sudah ada profokasi luar biasa. Ada yang menghasut warga Batlale kalau pemukiman mereka akan digusur dan dijadikan lahan transmigrasi. Padahal Dinas Nakertrans tak punya agenda membangun pemukiman trans di sana, apalagi sampai menggusur rumah warga,”kata Tukuboya. Kebun rakyat di belakang Desa Batlale yang terdapat tanaman umur panjang dan berjejer memanjang di sisi lembah, tak masuk dalam agenda pencetakan sawah.Proyek cetak sawah itu dikendalikan Kodim 1506 Namlea bekerjasama dengan Dinas Pertanian. ADI