Dari Dialog GP Ansor Maluku,Pintu Masuk Menghancurkan Indonesia Adalah Agama

oleh
oleh

AMBON-Kekayaan Indonesia yang berlimpah, menjadi magnet yang menarik perhatian bangsa-bangsa besar di dunia. Peperangan di era modern dewasa ini bukan lagi soal pertempuran ideologi, tapi lebih pada perebutan sumber daya alam dan mineral. Indonesia adalah target selanjutnya. Indonesia dalam pusaran global, ini terungkap dalam dialog kebangsaan sesi 2 yang mengangkat tema “Ikhtiar Bersama Menghadapi Krisis Kebangsaan”. Kegiatan yang melibatkan organisasi massa (Ormas), organisasi kepemudaan (OKP), lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan lembaga mahasiswa itu digelar Gerakan Pemuda (GP) Ansor Wilayah Maluku di Hotel Amboina, Rabu (22/2) sore.

Menyikapi fenomena sosial di masyarakat yang seakan sedang mengalami krisis kebangsaan akibat menajamnya sentimen SARA, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Gereja Protestan Maluku (GPM), Pdt. Jacky Manuputty mengajak kita agar bisa melihat lebih jauh, tidak sekedar menangkap fenomena di permukaan. ”Indonesia masih berada kuat di bawah cengkeraman imperialisme modern. Banyak negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan China berkepentingan untuk menguasai nature resources yang kita miliki,” ujarnya.

Menurutnya, saat ini tanpa sadar masyarakat Indonesia  sedang dirongrong oleh asing. Banyak cara yang dilakukan asing untuk memecah belah karakter kebangsaan masyarakat Indonesia. Salah satu pintu masuknya adalah melalui agama. Indonesia menjadi target untuk dipecahkan menjadi beberapa negara, dan triger untuk memecah-belah Indonesia banyak sekali melalui “perang saudara” karena keberagama kita cukup kompleks, yang berasal dari banyak entitas primodial. “Pintu masuk yang paling sensitif untuk memecah-belah persatuan Indonesia adalah membangun kebencian atas nama agama,” tegasnya.

Menariknya, kata Manuputty, masalah Freeport saat ini bisa juga menjadi pemicunya. Dimulai saat era Soekarno tahun 1961 yang merevisi kontrak pengelolaan minyak dan tambang-tambang asing di Indonesia, termasuk menasionalisasi aset-aset asing. Tak lama setelah itu, pemerintahan Soekarno tumbang dengan peristiwa PKI tahun 1965.

BACA JUGA :  Platinum Cineplex, Bioskop Terbaru Hadir Di Ambon

Keterlibatan CIA pun tercium setelah 25 tahun kemudian dokumen-dokumen operasinya dibuka buat publik. Saat Soeharto berkuasa, Freeport menjadi perusahaan asing pertama yang kontraknya ditandatangani oleh Soeharto. Perusahaan Freeport Sulphur pada 7 April 1967 menandatangani kontrak kerja dengan pemerintah Indonesia. Sejak saat itu, Indonesia menjadi negara yang sangat tergantung terhadap AS. Untuk membangun konstruksi pertambangan emasnya di Papua, Freeport menggandeng Bechtel, perusahaan AS yang banyak mempekerjakan pentolan CIA. Direktur CIA John McCone memiliki saham di Bechtel, sedangkan mantan Direktur CIA Richard Helms bekerja sebagai konsultannya tahun 1978.

Keinginan Pemerintah Indonesia dibawah pemerintahan Jokowi memutus kontrak dengan Freeport buat diserahkan hak pengelolaan tambang emas di Papua itu ke perusahaan China Resources Limited, sepertinya memberikan gambaran global kepada masyarakat, Indonesia saat ini menjadi rebutan dua raksasa dunia yakni AS dan China. Belum lagi banyak sumberdaya mineral dan energi milik Indonesia yang belum dikelola seperti Blok Masela yang memiliki cadangan gas abadi di Maluku. Ini belum termasuk sekitar 13 blok gas di wilayah Maluku. ”China bukan lagi negara komunis murni, sebab China saat ini jauh lebih kapitalis dari AS. Fenomena ini juga bisa menjadi bagian dari kondisi bangsa hari ini,” ujarnya.

Direktur Lembaga Antar Iman Maluku Dr. Abidin Wakano yang juga menjadi narasumber dialog kebangsaan berujar, Indonesia tidak bisa dipisahkan dari kemajamukan, sebab negara ini terbentuk dari entitas-entitas primodial yang berbeda suku bangsa, yang kemudian bersatu menjadi satu negara. “Kita sangat heterogen, sangat multigen. Kemajemukan kita adalah keniscahyaan bagi negara ini,” kata Abidin yang juga Wakil Ketua Tanfidz NU Wilayah Maluku.

Melihat fenomena sosial akhir-akhir ini, dia sangat menyayangkan pertarungan di ranah politik semakin menajamkan sentimen SARA. ”Pertarungan di wilayah politik, tapi yang terluka adalah kebhinekaan kita. Yang mengalami pendarahan dari pertarungan politik justru ranah sosial, agama dan budaya kita,” katanya menyesalkan. Ia mencontohkan, hancurnya negara-negara di dataran Arab yang dikenal dengan Arab Spring, mulai muncul tahun 2011, berawal dari Tunisia kemudian meluas ke Mesir dan kini melanda ke beberapa negara Arab seperti Libya, Mesir, Sudan, Suriah hingga Yaman.

BACA JUGA :  Walikota Ungkap Alasannya Memilih Agus Ririmasse Jadi Sekkot Ambon

Arab Spring terjadi, selain karena adanya konspirasi dan campur-tangan negara-negara luar yang berkepentingan dengan sumberdaya minyak, juga karena tuntutan perubahan politik dan tidak adanya nasionalisme mereka sehingga mudah dihancurkan. ”Kita di Indonesia lebih beragam kebudayaan, etnis dan agama, tapi Pancasila menjadi titik temu dari semua perbedaan itu. Yang paling penting adalah bagaimana menumbuhkan semangat nasionalisme dan cinta tanah air. Konsep dasar NU sendiri adalah cinta tanah air adalah bagian dari iman,” ajaknya. (IAN)

No More Posts Available.

No more pages to load.