TERASMALUKU.COM,-AMBON-Menteri Agama (Menag) RI, Lukman Hakim Saifuddin mengingatkan kepada semua pihak untuk tidak mempolitisasi agama, mempolitisasi rumah ibadah untuk kepentingan politik pasangan calon tertentu dalam momentum Pilkada 2018. Namun menurut Menag Lukman, agama harus digunakan untuk berpolitik. Nilai – nilai agama menjadi dasar bagi setiap orang melakukan aktivitas politik sehingga perbuatannya tidak bertentangan dengan agama serta nilai – nilai moral dan etika.
Yang tidak dibolehkan menurut Menag adalah mempolitisasi agama. Yakni menggunakan agama secara formal dan secara institusional, memperalat agama, agama dimanipulasi, dieksploitasi untuk kepentingan – kepentingan politik pragmatis semata. Pernyataan ini disampaikan Menag saat membuka Rapat Kerja Wilayah Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Maluku dan Silaturahmi dengan pimpinan lembaga keagamaan Maluku di Aula Maluku City Mall (MCM) Tantui, Kota Ambon, Senin (5/3).
BACA JUGA : Jelang Pilkada Maluku, Pimpinan Umat Beragama Deklarasi Cinta Damai
Menag Lukman mencontohkan, yang tidak boleh dilakukan adalah di rumah ibadah, masjid atau gereja, aktivitas peribadatan hanya digunakan untuk pendukung pasangan calon tertentu saja, sedangkan pendukung calon lainnya tidak boleh beribadah di rumah ibadah tersebut. Begitu juga rumah ibadah hanya untuk partai politik tertentu saja.
“Misalnya yang tidak boleh, di rumah ibadah saya mengatakan, mari bapak ibu sekalian, kita jadikan rumah ibadah ini hanya untuk pendukung pasangan calon kita saja misalnya, itu manipulasi. Karena rumah ibadah itu untuk semua (sesuai agama), tidak boleh diklaim rumah ibadah, masjid atau gereja hanya digunakan untuk peribadatan pendukung- pendukungan pasangan calon tertentu saja atau hanya untuk digunakan untuk partai A saja atau partai B saja. Ini namanya ekspliotasi agama, itu politik praktis pragmatis, ini yang disebut politisasi agama dan itu tidak boleh,” kata Menang.
Menag mengungkapkan, ia harus menyampaikan hal ini agar jangan sampai timbul di masyarakat seakan-akan agama mau dipisahkan dari politik. Yang dipisahkan itu menurut Menag adalah politisasi, manipulasi dan eksploitasi agama untuk politik pragmatis. “Namun nilai – nilai esensial, subtansial, nilai –nilai universal agama itu justru yang senantiasi menjadi pedoman, menjadi dasar serta menjadi acuan dalam berbagai aktivitas kita sebagai suatu bangsa yang religius apalagi berpolitik,” kata Menag.
Menurut Menag, politik itu mulia. Namun jika ada orang yang menilai politik itu buruk, menurut Menag, itu karena prilaku politik orang perorang yang membuat politik menjadi buruk di mata masyarakat. Ia menjelaskan, semua bangsa di dunia membutuhkan politik termasuk Indonesia. Dengan politik bisa mengatur orang banyak. “Karena tanpa politik kita tidak bisa hidup, kita orang banyak dan untuk mengatur kita semua itu dibutuhkan politik. Tidak ada negara dan bangsa yang hidup tanpa politik,” katanya.
Menurutnya, politisasi agama bukanlah dimaksukan untuk memisahkan agama dari aktivitas politik. Justru lanjut Menang, agama harus digunakan untuk beraktivitas politik, aktivitas politik harus bertumpu pada nilai – nilai agama. Agama harus menjadi dasar berpolitik, karena Indonesia negara yang religius bukan negara sekuler.
“Karena kalau berpolitik tanpa agama akan berpotensi kehilangan pegangan moral dan etika dan itu sangat berbahaya,” katanya. Yang tidak boleh menurut Menag ya itu tadi mempolitisasi agama, menggunakan agama secara formal dan secara institusional diperalat atau dimanipulasi, agama dieksploitasi untuk kepentingan – kepentingan politik pragmatis semata. (ADI)