YANG lebih penting adalah bagaimana pemilihan Presiden dan Parlemen 2019 bisa berlangsung dengan cara-cara yang beradab tinggi dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Kalau kita tidak bisa berpolitik secara anggun, terhormat dan bermartabat, apa bedanya dengan bangsa-bangsa penjajah yang menggunakan cara-cara kekerasan dan pemaksaan? Pernyataan sekaligus pertanyaan ini disampaikan Profesor Ariel Heryanto, di laman fecebooknya, 29 April 2018. Dan guru besar di Monash University Australia ini tidak sedang bercanda.
Pilkada langsung semakin dekat. Itu bisa diibaratkan hari yang kian malam atau pagi. Kala hari telah senja, orang-orang bergegas pulang ke rumah. Yang mandi di pantai, segera naik ke darat, mandi air tawar, ganti pakaian dan naik angkutan (pribadi atau umum). Pulang ke rumah. Para pedagang di pasar segera membetulkan meja dagangan, membersihkan sampah-sampah dan bersegera pulang. Para pegawai merapihkan kertas-kertas, membetulkan alis dan bedak (bagi perempuan) dan segera mengambil tas, lalu meninggalkan tumpukan arsip dan agenda tersisa di kantor. Pulang ke rumah, pulang ke kedamaian yang dicari tiap insan.
Bagaimana kalau Pilkada kita analogikan sebagai gerakan pulang ke rumah. Sebuah rumah yang aman dan damai. Rumah yang bukan sekedar bangunan tetapi suasana yang akrab dan karib. Di sana ada canda tawa, saling berbagi dan saling menguatkan. Di sana tak ada persoalan yang tak bisa diselesaikan, tak ada amarah yang tak bisa dipadamkan. Karena kasih dan kebaikan mengalahkan semuanya.
Cinta (Maluku) Di Atas Segalanya
Jangan pernah lupa berdoa untuk Pilkada damai Maluku. Itu yang kerap saya ingatkan dan saya lakukan. Lalu saya menjadi sadar bahwa tidak cukup hanya berdoa. Harus ada upaya-upaya bersama yang dilakukan dengan sadar dan tulus untuk membuat segala sesuatu menjadi lebih baik. Jangan menyebarkan khabar bohong (hoax). Jangan melakukan kekerasan terhadap siapapun yang ikut dalam arak-arakan kampanye, menahan diri untuk tidak membuat kesimpulan-kesimpulan prematur.
Percayalah bahwa ketiga pasangan peserta Pilkada adalah putra-putra Maluku terbaik (walau belum ada Putri Maluku yang menjadi kandidat). Om Said, Om Andre, Om Murad, Om Abas, Om Herman, Om Dullah, mereka adalah orang tua dan saudara kita. Mereka bukan musuh, mereka adalah bagian utuh diri kita sendiri. Ingat pepatah orang tua: ale rasa beta rasa, potong di kuku rasa di daging. Jangan bangun tembok atau benteng, hanya karena beda suku dan agama serta kepentingan politik. Bangun jembatan yang mempersatukan kita dalam keragaman. Sebab kita tidak mungkin hidup sendiri. Bahkan jika satu di antara mereka terpilih secara sah, kita tak mungkin lari meninggalkan rumah kita, kecuali kita sudah meniatkan sejak lama. Kita harus menerima kemenangan dan kekalahan dengan ikhlas.
Tegakan mekanisme demokrasi. Perkuat pengawasan dan kontrol sosial. Gugah KPUD agar mereka bekerja secara professional, tidak memihak dan penuh loyalitas. Demikian juga Badan Pengawasa atau Panitia Pengawas Pemilu. Ketuklah hati nurani mereka, beri dukungan, jangan cercaan dan kritik tanpa solusi. Mereka juga manusia seperti kita, mereka juga masih punya hati nurani. Ciptakan suasana kebatinan yang saling pengertian, bukan hal-hal yang menakutkan apalagi horor sosial. Seperti analogi senja menuju malam. Memang kegelapan itu sering mencemaskan dan menakutkan. Sering bikin gelisah dan susah tidur. Tapi yakinlah esok fajar mereka, matahari bersinar dan hidup berseri.
Semuanya Demi Kemaslahatan (Maluku)
Jika anda mencinta negeri ini, jangan buat negeri ini menangis. Jika anda sayang negeri ini, jangan buat negeri ini bersedih. Buatlah Maluku berseri, Maluku bangkit dan maju meraih masa depan. Maluku bersinar di tengah kegelapan, tangguh di tengah tantangan, tegar di tengah badai. Jangan pernah mengaku sebagai orang Maluku jika tidak mau berkorban bagi daerah ini. Siapun yang mencintai tanah ini, ia patut diberi apresiasi. Jangan tanya ia agama apa, suku mana, kampung mana, dan sebagainya. Tanyakan cintanya dan komitmen yang tulus untuk negeri ini.
Apalah artinya seseorang dengan sejumlah gelar dan kekayaan, kalau kemudian ia hanya menguatamakan kelompoknya sendiri, dan mengabaikan orang-orang kecil, lemah dan marginal? Bukanlah politik adalah seni menata masyarakat untuk kebaikan dan kesejahteraan bersama? Bukankah Pemilu hanyalah mekanisme yang diniatkan untuk mencari orang terbaik untuk mengusahakan kesejahteraan bersama. Pemilu bukan tujuan tapi instrument saja. Pilkada bukan terminal akhir, tapi justru terminal awal untuk keberangkatan kita semua menuju Maluku yang damai dan sejahtera.
Tantangan yang terbentang di depan tidak ringan. Satu agama tak bisa menyelesaikan sendiri. Demikian pula satu suku bangsa, satu partai politik atau satu organisasi massa. Syaratnya adalah kebersamaan dan kerjasama. Saling sinergis dan kolaborasi melintasi batas-batas wilayah dan gengsi sosial. Semua kelebihan dan keuninikan potensi hendaknya dimuarakan demi kebaikan bersama. Bukankah itu yang didambakan oleh kita semua? Oleh para leluhur kita, oleh orang-orang di kampong dan pulau-pulau, bahkan oleh generasi yang akan datang. Seperti kata pembuka di atas,; jika kita tidak bisa berpolitik dengan anggun, sesungguhnya kita sedang kembali ke jaman batu. Tidak bukan?. (Rudy Rahabeat, Pemerhati Sosial-Budaya)