TERASMALUKU.COM,-AMBON-Matahari terbit dari timur. Dari timur lahir insan-insan muda kreatif berbakat. Maluku tak hanya dikenal sebagai gudang para penyanyi yang menjejak keharuman prestasinya di bidang sastra. Dari timur kebangkitan para penulis penyair muda kian nampak. Pada kantong- kantong kecil di daerah mereka sudah membuktikan lewat karya-karya apik.
Dari pentas, panggung ke panggung hingga ke jalan pun karya sastra mereka yang kawin dengan seni itu mampu membawa pergerakan yang masif. Karya-karya mereka tentu tak bisa dipandang sebelah mata. Salah satu pembuktiannya yakni Eko Saputra Poceratu, anak Maluku yang menjadi satu dari 6 penulis asal Indonesia Timur yang terpilih pada Makassar International Writers Festival (MIWF) yang digelar di Kota Makassar, Sulawesi Selatan.
Tepat di Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2 Mei 2018, penyair muda ini menginjakkan kakinya pada event sastra internasional mewakli Maluku di hadapan puluhan orang. Pada Hardiknas, Selasa (2/5/2018) dicatat sebagai hari bersejarah baginya, kado ulang tahun ke 26. Untuk ada pada acara sekaliber MIWF tentu bukan karya dan perjuangan kebut semalam.
Karya-karya yang dalam, mengajak orang berpikir dan merenung juga menusuk dalam sekali tegukan pada kalimat-kalimat satir penuh kritik itu. Pada MIWF ini Penulis Novel Pelangi Biru itu menyiapkan puluhan puisi, diantaranya pusi dari Tanah Papua. Puisi yang lahir saat dirinya tinggal di Papua beberapa waktu lalu. “Beta kirim puisi tentang Papua. Beta angkat soal realitas masyarakatnya,” kata Pria yang baru kali pertama mengikuti acara tersebut kepada Terasmaluku.com, Kamis (2/5/2018) siang.
Jumlahnya ada 25 puisi. Ada banyak realitas di masyarakat, sebagian tertuang pada media masa, linimasa atau tulisan tulisan menyentil yang dibawakan dalam berbagai forum formal. Pendiri Bengkel Sastra Kintal Sapanggal di Karang Panjang ini coba meramunya dalam karya sastra puisi.
Diksi dan rima-rima yang keras menusuk diakuinya jadi ciri Khas dan keunggulan yang membuatnya terpilih dari ratusan karya pada pentas sastra itu. “Puisi beta samua bicara soal rakyat. Tema keras,” jelas pria yang karyanya masuk dalam Antologi Puisi The First Drop of Rain, Banjarbaru Festival itu.
Tema besar MIWF kali ini berbicara soal voice noise, dimana dia meyakini suara rakyat merupakan bagian dari voice noise yang selama ini terlalu gaduh namun kerap kali tak terdengar. Korupsi, ketidakadilan serta diskriminasi hukum di Tana Papua.
Baginya puisi-puisi yang dikandung dan lahir haruslah hidup. Ia seperti manusia. Puisi tidak hanya untuk estetika pendengaran dari rima-rima teratur. Namum ia haruslah bernyawa. Seperti pada karya Widji Thukul, yang mampu membawa pergerakan dan menyentil pemerintah hingga ke tulang.
Baginya anak Maluku punya potensi besar untuk melahirkan karya cerdas. Sayangnya dia menilai kendala-kendala teknis kerap meruntuhkan semangat para penyair atau penulis. “Katong banyak potensi tapi seng pung penerbit, punya konten kuat tapi kurang teknik,” ungkap alumnus Fakultas Teologi Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM) itu.
Selain Eko, beberapa penyair muda Maluku sudah lebih dulu menunjukkan sinarnya pada acara sastra ini. Tahun lalu, Morika B Tetelepta menjadi satu satunya peserta asal Ambon yang pada Ubud Writers and Readers Festival (UWRF). Pria yang juga musisi, rapper serta penulis lagu itu membawakan sekitar lima karya puisinya dan terpilih pada pentas sastra. Namanya tercatat sebagai 15 Emerging writer Nusantara yang ikut pada acara besar itu. Pada 2016, Chalvin Jems Palilaya juga menjadi emerging writer asal Ambon pada MIWF.(BIR)