SELAMAT Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2018. Kiranya pendidikan benar-benar mentransformasi masyarakat dan peradaban, mewujudkan salah satu tujuan nasional yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Pada kesempatan ini saya hendak berbagi informasi dan berefleksi tentang salah satu kegiatan yang berlangsung, Rabu 3 Mei 2018 di Kampus UKIM Ambon, yakni Seminar Internasional bertema “Agama dan Keadaban Publik” (Religion and Public Civilization). Acara ini merupakan sebentuk partisipasi dunia perguruan tinggi dalam ruang publik. Suatu tanggungjawab yang kadang bisa terabaikan ketika perguruan tinggi asyik dengan dirinya sendiri.
Agama-agama seperti disitir cendekiawan Nurcolish Madjid alias Cak Nur, mesti mampu memanusiakan manusia. “Nilai-nilai kemenanusiaan hendaknya diwujudkan menjadi kemanusiaan yang aktif, menjiwai kegiatan-kegiatan praktis manusia,” ungkap pendiri Universitas Paramadina itu. Agama-agama membawa misi kemanusiaan universal yakni membuat hidup menjadi bermakna, harkat dan derajat manusia dimuliakan. Jika tidak demikian, agama bisa berbalik menjadi bencana.
KALA AGAMA JADI BENCANA
Adalah Charles Kimball seorang ilmuan agama yang menyebutkan frasa “kala agama jadi bencana”. Hal ini merujuk pada berbagai peristiwa konflik dan perang yang bermotif keagamaan. Sejarah masa lalu dan masa kini, termasuk pada konflik Ambon 1999 menunjukan fenomena tersebut. Agama, termasuk ayat-ayat kitab suci berpotensi diselewengkan sedemikian rupa untuk kepentingan politik praktis.
Prof. Sumanto Alqurtuby dalam buku terbarunya “Islam & Kristen. Dinamika Pascakonflik dan Masa Depan Perdamaian di Ambon” (2018) menyebutkan bahwa peran agama dalam konflik Ambon sangat dominan, namun ironisnya paling sedikit dikaji. Orang terjebak mencari faktor-faktor lain di luar agama. Padahal, ibarat fenomena “Janus Face” (mitologi Yunani tentang dewa bermuka dua), maka agama bisa menjadi penyejuk tetapi bisa juga penyulut konflik. Olehnya, penggalian dan dinamisasi agama menjadi sangat penting, dengan ikhtiar mencari jawaban terhadap berbagai persoalan kemanusiaan saat ini seperti konflik, kekerasan, radikalisme, politisasi agama, dan berbagai krisis kemanusiaan lainnya.
Agama tidak akan pernah mati, walau pernah diramalkan akan padam perannya. Justru yang terjadi sebaliknya, fenomena kebangkitan agama-agama yang kian menggelora, bahkan terkadang sampai tumpah ruah. Maksudnya, agama tetap menjadi kiblat dan oase bagi manusia masa kini, yang terus dikepung oleh berbagai perubahan dan kemajuan. Agama menjadi tempat orang menemukan kedamaian dan suasana teduh, di tengah dunia yang makin gaduh dan kacau balau (tohuwabohu).
Persoalannya, apakah cepat berpuas diri bahkan menjadi egois?. Apakah para agamawan lalu lupa bahwa agama-agama juga perlu ditransformasi seiring perkembangan tersebut. Kitab Suci tidak berubah, ia sudah menjadi kanon. Yang berubah adalah masyarakat dan peradaban, sehingga agama-agama harus terus melakukan re-interpretasi kreatif dan kontekstual terhadap Kitab Suci yang tidak berubah itu. Hal ini penting, agar pesan-pesan universal agama akan tetap relevan sepanjang masa.
MENGGALI DARI TRADISI
Selain agama-agama, sumber keadaban publik juga terdapat pada tradisi-tradisi dan kearifan lokal yang diwariskan dari generasi ke generasi oleh para leluhur. Adalah Dr John Ruhulessin yang menggali salah satu tradisi di Maluku Tengah dan tiba pada kesimpulan bahwa “Pela” dapat berkontribusi dalam wacana etika publik. Bagi Ruhulessin, Pela sebagai koalisi lintas agama dan negeri, bukanlah artefak masa lalu, tetapi merupakan salah satu “sumber mata air” yang dapat menyejukan relasi agama-agama dan peradaban. Olehnya mantan Ketua Sinode Gereja Protestan Maluku (GPM) ini terus mewacanakan pentingnya menggali dan mentransformasi tradisi (lokal) untuk keadaban publik.
Pada sisi lain, Prof Dieter Bartels, seorang antropolog yang lebih dari 40 tahun meneliti Maluku, termasuk pranata Pela menyebutkan pentingnya sosialisasi nilai-nilai budaya lokal agar menjadi identitas sekaligus pengingat bagi masyarakat khususnya generasi muda tentang sejarah dan budaya mereka, sehingga tidak terasing dari budaya dan masyarakatnya sendiri. Penulis buku “Di Bawah Naungan Nunusaku” (2017) ini selain sangat mencintai Maluku tetapi juga sangat kuatir jika nilai-nilai budaya dan tradisi tergerus dan ditelan zaman. Prof Bartels, Prof Sumanto Alqurtuby, Dr John Ruhulessin adalah beberapa pembicara yang akan berbagi perspektif di forum seminar internasional yang akan dihelat Program Pascasarjana Teologi UKIM Ambon, Kamis 3 Mei 2018.
PENDIDIKAN YANG MEMBEBASKAN
Muara dari semua ikhtiar dan praksis pendidikan adalah pembebasan manusia dari kebodohan dan kepicikan. Pendidikan yang dibutuhkan bukan saja mencetak manusia-manusia cerdas secara intelektual tapi minus kecerdasan moral, emosional, spiritual dan ekologis. Pendidikan mestinya mencetak manusia paripurna, jasmani-rohani, personal-sosial.
Demikian pula potret buram pendididikan di tanah air, termasuk di Maluku, mesti menjadi pemicu untuk terus berbenah secara terus menerus. Ini tentu bukan perkara mudah. Selain factor sumber daya manusia, sarana prasarana tetapi yang tidak kalah penting adalah partisipasi seluruh komponen dalam masyarakat. Pendidikan dari dan untuk semua.
Adalah pedagog Paulo Freire asal Brasil yang mencermati “pendidikan kaum tertindas” dan merekomendasikan pentingnya pendidikan pembebasan. Pendidikan yang membawa keluar manusia dari kegelapan menuju terang pikir, budi dan nurani. Pendidikan yang merata dan adil bagi semua. Mudah dijangkau dan tidak terasing dari masyarakat umum.
Semoga melalui momentum Hari Pendidikan Nasional dan Seminar Internasional UKIM esok, wajah pendidikan dan peradaban di tanah air dan Maluku pada khususnya makin berseri. Dan dunia pendidikan turut memberi kontribusi signifikan bagi keadaban publik. Agar ia tak sebatas imajinasi apalagi fiktif tapi fiksi yang menyuburkan imajinasi menuju “telos” (tujuan) yakni masyarakat dan bangsa yang cerdas dan beradab. Semoga (RR)