TERASMALUKU.COM,-AMBON-Belajar tidak mengenal waktu dan usia. Sampai hayat masih dikandung badan, selama itu pula kita harus tetap berbagi lewat ilmu. Ada banyak anak yang kesulitan mengakses pendidikan yang baik, sebagian lagi dikucilkan karena kekurangan ekonomi, sisanya minder lantaran keterbatasan fisik mereka. Adakalanya orang tua tak sanggup mengurus mereka atau malu dengan fisik. Padahal pendidikan harusnya tak mengenal perbedaan. Kaum difabel pun berhak untuk belajar dan mendapat pendidikan yang layak.
Namun dibalik itu ada satu sosok yang terus berjuang agar anak- anak itu tetap sekolah. Simon Patipeilohy, bapak bagi anak-anak difabel ini hadir dengan segala keterbatasannya mengupayakan pendidikan dan hidup yang layak bagi anak anak asuhannya. Di rumah yang tak seberapa besar di daerah Pohon Mangga, Desa Rumah Tiga Kecamatan Teluk Ambon, Simon tinggal bersama 16 anak. Mereka semua terlahir dengan keterbatasan. Ada yang tuna grahita, tuna daksa dan tuna netra.
Di rumah yang berdekatan dengan pangkalan perahu itu, Simon mendedikasikan hidupnya untuk merawat anak anak. Sepintas memang biasa saja, pria separuh baya yang sederhana dan bersahaja. Namun begitu didekati anda akan menyadari, Simon atau yang akrab disapa bapa Mon itu adalah seorang tuna netra. Ya, seorang difabel yang merawat anak-anak difabel. Dibawah naungan Yayasan Pelita Kasih miliknya, Mon dan 16 anak asuhannya berkarya dalam keterbatasan mereka.
Bagi Mon, fisik bukanlah halangan untuk berbuat lebih baik dan membantu orang lain. “Beta seng bisa kasi tinggal dong bagitu. Dong ni sama deng beta tapi dong harus sekolah samua sampai abis,” kata Mon dengan nada haru saat ditemui Terasmaluku.com di tepi pantai dekat Kembatan Merah Putih (JMP), Kamis, 2 Mei 2018, bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional.
Sosoknya amat pas dijadikan role model orang yang memberi dalam Kekurangan. Akan sangat mudah bagi kita membantu orang lain saat berkecukupan. Hal sebaliknya terjadi manakala sedang susah atau berkekurangan. Mon satu yang membuktikan itu. Dia mendedikasikan dirinya untuk membantu sesama. Baginya pendidikan adalah hal utama. Kaum difabel akan lebih berdaya di masyarakat bila mereka punya bekal pendidikan yang cukup.
Karena itu, saat suasana Kota Ambon mulai kondusif, Mon bersama beberapa rekan dosen membuka Yayasan Pelita Kasih pada 2004. “Dolo anak anak ini di SLB Leliani 1 di Paso. Dong pindah karena kerusuhan. Abis itu dong orang tua seng mau Kasih pindah anak-anak lai lalu beta dengan beberapa teman katong buat yayasan saja,” jelas pria 68 tahun itu.
Mantan guru braille di Sekolah Luar Biasa (SLB) Leliani 1 itu sejatinya tak lahir sebagai tuna netra. Pada usia 4 tahun, Mon didiagnosa alami katarak pada mata kiri. Pada 1979 baru ada pengobatan mata di rumah sakit di Ambon. Itupun dokternya didatangkan dari Jawa. “Ya karena ada dokter dari luar jadi beta ikut (operasi) supaya mata bisa sembuh,” ungkapnya optimistis saat mengingat kejadian itu.
Nahas, bukannya mengangkat katarak di mata kiri, sang dokter malah membedah mata kanan yang kondisinya normal dan masih berfungsi dengan baik. Harapan bisa melihat sempurna pun pupus seketika. Mon dan delapan orang pasien lain harus pulang membawa rasa sakit yang harus ditahan selama dua tahun. “Beta manyasal e. Katong samua pulang deng mata salah operasi,” kenangnya. Selama dua tahun Mon yang aktif sebagai pengasuh Sekolah Minggu itu harus menahan sakit dan tekanan psikis atas kondisinya.
Setelah menunggu dua tahun, dirinya mendapat kabar sang dokter bakal datang lagi ke Ambon. Sontak sedikit harapan terbit untuk mengembalikan Kondisi mata seperti sedia kala. Namun tak dinyana, dokter yang bersedia bertanggungjawab itu malah mengangkat bola mata sebelah kanan. Jelas saja, keluhan sakit pada mata yang ditahan bertahun tahun itu hilang, seiring dengan hilangnya bola mata Mon. Tekanan batin dan kekecewaan seperti sudah tak ada artinya.
Sang dokter kembali ke Jawa meninggalkan sembilan pasien yang alami kebutaan permanen akibat ulahnya. Namun di situlah titik baliknya. Pria yang juga pandai bermain keyboard itu tak mau menyerah. Jalan lain terbuka untuknya yang saat itu tak bisa melihat lagi. Pada 1983, Yayasan Hellen Keller yang fokus pada pengembangan Tuna Netra masuk di Ambon. Dia salah satu peserta pelatihan brailer yang diadakan yayasan. Meski awalnya Mon hanya lulusan SD kemampuannya membaca huruf brailer di atas rata rata.
Dia sempat menawarkan diri pada beberapa instansi untuk bekerja, sayang lagi lagi fisiknya jadi penghalang. Lalu oleh saran kawan sejawatnya, dia diberangkatkan ke Jogja meneruskan sekolah kesetaraan SMP. “Waktu itu ada kepala kesejahteraan tuna netra datang bilang beta ke Jogja saja. Sekolah di Federasi Kesejahteraan Tuna Netra (FKTN) pada 1986,” sebutnya. Berbekal kemampuan mengajar dan membaca brailer yang handal, dia dipercaya untuk mengajar di SLB Leliani 1. Bahkan saat kerusuhan dan sekolah dipindah ke Paso Mon tetap dipercaya membimbing anak-anak.
Saat kondisi Ambon belum sepenuhnya pulih beberapa teman yang peduli dengan sepak terjangnya membimbing anak anak difabel menyarankan Mon untuk membuat yayasan. Tujuannya sederhana, agar anak anak mendalat perhatian penuh dan tidak meninggalkan bangku sekolah. “Beta seng bisa lia dong seng sekolah. Meski kurang, mereka harus sekolah. Itu yang menggerakan beta hati dan pikiran buat bikin yayasan,” ujarnya. Dari situlah cikal bakal terbentuknya yayasan.
Kini Yayasan Pelita Kasih yang dipegangnya juga memiliki sekolah Luar biasa. Yaitu SLB Pelita Kasih yang tak jauh dari panti asuhan. Mon mengakui di yayasan tersebut tidak memiliki donatur tetap dan besar. Untuk kebutuhan makan minum dan biaya transportasi sekolah diperoleh dari hasil penjualan korek api di gereja. Tiap minggu Mon dan anak anak panti ini datang ke gereja secara bergilir untuk bernyanyi. Dia melatih mereka untuk tidak malu, mundur dan menyerah.
Apapun keterbatasan mereka, itulah kelebihannya. Mereka tampil tidak dengan tangan kosong. Ada yang bermain keyboard, bernyanyi, bermain gitar juga membaca puisi. “Awalnya beta seng tahu, tapi bapa Mon ajar sampe bisa,” aku Deby Melai anak asuhan Mon yang pandai memainkan alat musik itu. Deby adalah seorang tuna netra. Butuh waktu setahun untuk menguasai alat musik itu plus belajar improvisasi bermusik. Usai tampil, mereka menjual korek api kepada jemaat. Hasilnya dipakai membeli kebutuhan sehari hari. “Katong nanti bali ikan sayur pake uang jual korek lalu nanti masak sendiri,” jelasnya yang baru selesai memasak itu.
Tak hanya Deby, anak anak asuhan Mon juga tal kalah mengukir prestasi. Ada Nyongker, alami kesulitan melihat jarak jauh yang jago menggambar. Ada pula Deny Pelamonia yang berkali kali menggondol pila dalam lomba sains dan teknologi. Mereka tampil mewakili SLB Pelita Kasih Desa Rumah Tiga hingga ke kancah nasional. Bagi Mon, pendidikan merupakan prioritas utama. Itulah kekuatan utama mereka kelak dan bisa hidup mandiri meski terlahir dengan keterbatasan. (BIR)