DALAM bukunya “La Trahison des Clercs” Julian Benda mengidentikan para intelektual dengan pendeta atau alim ulama (perhatikan kata “clercs atau clergy). Begitu luhurnya peran itu, sehingga mereka hampir menjadi seperti ‘manusia setengah dewa”, tetapi yang kemudian berkhianat. Buku yang ditulis dalam bahasa Pranci 1927, diterjemahkan ke bahasa Inggris 1975, bahasa Indonesia 1997 dengan judul “Pengkhianatan Kaum Cendekiawan” (Gramedia).
Kenapa mereka berkhianat? Karena mereka tidak tahan godaan, bukan soal godaan seks (walau itu bisa saja) tapi terlebih godaan politik kekuasaan. Istilah yang digunakan Benda “gairah-gairah” politik. Sekali lagi, dalam perjalanan sejarahnya, manusia setengah dewa ini tidak selamanya setia, mereka (juga) berkhianat.
Benda mendefenisikan para cendekiawan itu adalah orang-orang yang kegiatannya pada intinya bukanlah mengejar tujuan-tujuan yang praktis, tetapi yang mencari kegembiraannya dalam mengolah seni atau ilmu atau renungan metafisik- pendeknya dalam memiliki harta yang bukannya duniawi, dan berkata dengan caranya masing-masing; “Kerajaanku tidak di dunia ini”.
Defenisi ini pula yang dikutip Magnis Suseno ketika memberi pengantar buku Edward Said “Peran Intelektual” (Yayayan Obor Indonesia, 2014/1993). Magnis, kemudian bertanya, apa itu, seorang intelektual? Dan apa fungsinya dalam masyarakat? Filsuf yang pastor itu melanjutkan kalimatnya, “meskipun dua pertanyaan ini tidak mudah dijawab, akan tetapi tidak dapat disangkal bahwa dalam masyarakat Indonesia mereka yang dianggap termasuk intelektual itu mempunyai kedudukan yang istimewa.
KEDUDUKAN ISTIMEWA
Jika betul seorang intelektual memiliki kedudukan istimewa di masyarakat Indonesia, apa perannya saat ini, khususnya dalam konteks Pilkada serentak nanti? Apakah ia hanya akan menjadi pengamat yang berjarak, kritikus yang sengit, pendiam seribu bahasa atau malah menjadi bagian dari proses praktis politik? Ini tentu pertanyaan yang tidak mudah dijawab, tapi juga tak sulit untuk direnungkan.
Pilkada tentu bukan soal prosedural apalagi teknis semata. Pilkada juga merupakan sesuatu yang substansial. Dan sebagai yang demikian, ia membutuhkan analisa, kajian bahkan filsafat termasuk “pemihakan”. Dengan begitu, ia akan lebih bergizi dan bermutu serta menjamin demokrasi subtantif. Lagi-lagi, siapa yang mau mengambil peran ini? Apakah para intelektual? Bagaimana kalau mereka sudah “berkhianat”? Sekali lagi, ini tidak mudah. Kata Dilan “terlalu berat”.
Tapi karena mereka punya kedudukan istimewa, maka tak salah jika kita menaruh harapan. Harapan agar mereka bisa ambil peran, dan tidak diam saja. Sebab kata Broery “tak selamanya diam itu emas”. Namun peran yang bagaimana itu? Saya tak bisa menjawabnya, mari kita cari bersama jawabannya.
“Orang dapat mengatakan semua manusia adalah intelektual, tetapi tidak semua orang dalam masyarakat memiliki fungsi intelektual” ujar Said mengutip Antonio Gramsci, filsuf Italia yang keren itu. Lebih lanjut Said seperti dikutip Magnis berkata bahwa inti intelektual adalah “pencipta sebuah bahasa yang mengatakan yang benar kepada yang berkuasa”. Seorang intelektual mengatakan yang dianggapnya benar, entah sesuai atau tidak dengan kuasa-kuasa yang ada. Dosa paling besar seorang intelektual adalah apabila ia tahu apa yang seharusnya dikatakan, tetapi ia menghindar. Ia tidak pernah boleh mau mengabdi kepada mereka yang berkuasa.
Nah, teki-tekinya bisa sedikit terkuak jika kita bersepakat dengan pendapat Said di atas.
BELAJAR DARI SEJARAH
Daniel Dhakidae menulis buku tebal 790 halaman berjudul “Cendekiawan dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru” (Gramedia, 2003). Di buku ini, ilmuan sosial yang juga jurnalis senior Kompas ini memproblematisasikan peran intelektual Indonesia dalam arus sejarah, utamanya sejarah Orde Baru. Tentang kekuasaan ia mengatakan bahwa kekuasaan muncul dalam dua wajah sekaligus: yaitu wajah destruktif dan produktif. Kekuasaan membunuh jutaan orang, namun kekuasaan juga memproduksi modal, buruh dan bahasa.
Masih segar dalam ingatan tentang organisasi-organisasi berlabel cendekiawan, intelektual dan sarjana (scholar), seperti Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Persekutuan Intelegensia Kristen Indonesia (PIKI), Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA), dll. Dimana dan bagaimana peran mereka saat ini? Apa yang telah dikontribusikan bagi bangunan kebangsaan Indonesia dan peradaban dunia? Ini pertanyaan yang mau tidak mau, suka tidak suka, harus terus ditanyakan.
Sejarah akan mencatat apakah para “clercs” ini akan tetap setia pada panggilannya (fitrahnya) atau malah berkhianat, seperti judul buku Benda di atas. Satu hal yang pasti, orang bijak akan berjihad untuk tidak terantuk pada batu yang sama. Orang bijak akan belajar dari sejarah, sebab sejarah itu adalah guru kehidupan (historia magistra vitae)
Dalam konteks Pilkada serentak di Indonesia, ada seberkas harapan, agar para cendekiawan atau intelektual atau “scholar” dapat mengambil peran secara bijak dan cerdas dalam iven lima tahunan ini. Rasanya mereka tidak bisa duduk manis di menara gading saja, tetapi dapat memberi asupan bergizi bagi politik, demokrasi dan upaya-upaya menciptakan peradaban yang adil dan sejahtera. Jika tidak, sejarah bisa menghapus kelas ini dari lembaran perdebatan tentang ada atau tidak ada para “manusia setengah dewa itu”. Lalu, sayup terdengar syair sebuah lagu pop “antara ada dan tiada”. Selamat ber-ada ! (RR)