TERASMALUKU.COM,-AMBON-Sejak abad ke-16, rempah remph di Maluku menjadi magnet bagi bangsa barat. Hasil bumi itu memberi penghidupan dan kepastian masa depan. Segenggam pala saja mampu menyediakan tempat tinggal.
Maluku pun jadi satu satunya negeri dengan komiditas paling memikat pada abad itu meski kini kepastian itu tak sama lagi. Pala, cengkih, fuli, kopra hingga coklat terus dikirim berton ton ke Jawa. Hasil rempah tanah Maluku itu perlahan alami penurunan. Harga harga terjun bebas di pasaran. Kondisi yang paling mengenaskan yakni pada komoditas rempah cengkeh.
Catatan penjualan tahun lalu cengkeh berhasil menembus angka penjualan Rp 140.000 perkilogram. Sekarang harganya malah anjlok. “Cengkeh sekarang empat puluh dua ribu. Harga harga turun samua,” jelas Husein pengepul rempah di Pertokoan Ruko Batu Merah Kota Ambon, Senin (30/7/2018).
Menurutnya harga rempah rempah
dalam tiga bulan terakhir terus menurun. Jumlah rempah yang dibawa petani dan pemilik pohon pun sedikit. Itu lantaran cuaca serta masa panen yang kurang pas. Seram dan Buru merupakan dua pulau penghasil rempah terbesar di Maluku. Sebelum dikirim ke Jawa, rempah rempah itu diparkir di gudang pengepul hingga mencapai minimum pengiriman.
Proses penyimpanan juga memiliki waktu. Bila lewat waktu, rempah berpotensi rusak dan memengaruhi nilai jual. Nasib biji pala tak jauh beda. Harga normal Rp 70.000. Sekarang hanya Rp 50.000. “Kalau yang bertahan itu fuli. Harga stabil bahkan naik lagi,” imbuhnya.
Fuli atau bunga pala dijadikan salah satu bahan dasar kosmetik dn parfum. Minyak atsiri fuli jadi komoditas mahal dan diekspor hingga ke beberapa negara di Asia. Fuli yang matang saat dipetik punya waktu kadaluarsa yang cukup lama. Daya tahan yang cukup kuat itu menjadikan harga fuli stabil. Petani tak perlu takut fuli ditumbuhi jamur atau rusak.
Tiap bulan para pengepul itu rutin mengirimkan berton ton rempah ke Surabaya. Dari Surabaya barulah rempat itu diolah dan dikirim ke daerah hingga ke luar negeri untuk dijadikan produk kosmetik pun obat obatan. “Yang harga paling rendah itu kopra, sekarang cuma empat ribu lima ratus,” jelas pria yang akrab disapa Uceng ini.
Harga kopra sebelumnya Rp 12.000 sedangkan biji coklat di kisaran harga Rp 30.000. Lambat laun kondisi ini dirasa cukup memberatkan. Harga terus turun dan musim panen makin tak menentu. Belum lagi pajak yang tinggi terasa mencekik bagi para penjual. Yakni 10 persen perkilogram. Sementara para petani tetap sulit berjaya sebab mereka menunggu musim panen yang hanya dua atau tiga kali setahun. (BIR)