BERITA meninggalnya empat orang warga komunitas Mausu Ane di pedalaman Pulau Seram, tepatnya di wilayah Kecamatan Seram Utara Timur Kobi Kabupaten Maluku Tengah (Malteng) akibat bencana kelaparan (27/7/2018), selain menimbulkan simpati yang dalam, tetapi butuh juga solusi yang holistik.
Di tengah wacana dan langkah Pemerintah Daerah Kabupaten Malteng merelokasi warga Suku Muasu Ane, ada perspektif yang patut di simak. Ditemui di ruang kerjanya, Ketua Departemen Antropologi Universitas Indonesia (UI) Dr Tony Rudyansjah menekankan perlunya riset etnografi yang mendalam, sebelum mengambil langkah kebijakan terhadap masyarakat di mana pun berada. Selain itu, pemerintah dan masyarakat sipil harus bersinergi dengan pendekatan yang komprehensif.
Kontributor Terasmaluku.com, Rudy Rahabeat, yang juga mahasiswa pascasarjana Antropologi UI mewawancarai Dr Rudyansjah di sela-sela kesibukannya. Berikut petikannya:
Rudy Rahabeat (RR): Menurut Pak Tony, apa yang perlu dilakukan terkait rencana relokasi masyarakat Mausu Ane di pedalaman Seram Maluku Tengah?
Dr Tony Rudyansjah (TR) : Menurut saya, diperlukan riset etnografi yang mendalam untuk memahami kondisi masyarakat yang sebenarnya. Kita tidak bisa menggunakan apalagi memaksakan sudut pandang kita terhadap masyarakat tempatan. Meski mungkin tujuan kita baik, tapi sebuah studi yang holistik dan mendalam tetap perlu dilakukan. Tujuannya, agar dapat memahami eksistensi masyarakat tersebut dalam sudut pandang dan dunia mereka.
RR: Apa urgensi pentingnya riset etnografi itu?
TR : Ada banyak kasus di mana kita berpikir dengan kerangka pikir modernitas tentang masyarakat yang kita kategorikan sebagai tradisional. Entah sadar atau tidak, kita kerap menyederhanakan duduk perkaranya. Misalnya ikhwal relokasi. Itu bukan sekedar memindahkan orang atau komunitas dari satu tempat ke tempat yang lain. Budaya itu tumbuh, berkembang, diasah dan diasuh dalam lingkungan tertentu. Bisa saja yang mereka butuhkan bukan lokasi yang baru. Bisa saja mereka butuh kepastian tentang hak-hak mereka yang sudah dimiliki turun temurun atau mungkin ada perasaan-perasaan kekecewaan yang terpendam dari mereka yang perlu diselami dengan baik. Lagi-lagi, studi etnografi menjadi penting dan urgen. Selain itu, defenisi tentang kehidupan yang baik dan kebahagian (well-being and happiness) perlu dibaca dari sudut pandang masyarakat setempat.
RR: Apa yang mesti dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat sipil untuk menolong masyarakat Mausu Ane?
TR : Pemerintah perlu bijaksana dalam merespons persoalan masyarakat Mausu Ane. Ada banyak studi etnografi di berbagai wilayah di Indonesia tentang gagalnya proyek relokasi atau pembangunan yang salah sasaran. Misalnya di Kalimantan dengan “rumah panjang” dan di Papua dengan “rumah bulat”nya. Butuh suatu pendekatan yang holistik. Pada lain sisi, kawan-kawan aktor masyarakat sipil harus terus bersinergi. Mereka perlu lebih peka terhadap kondisi masyarakat setempat. Mereka perlu memperlengkapi diri dengan ilmu-ilmu sosial dan hasil-hasil riset terkait.
Dengan begitu cara pandang mereka tidak parsial, tapi komprehensif dan sistematis dalam melihat sebuah masyarakat. Tekad dan komitmen untuk memberdayakan masyarakat mesti diasah dengan analisis-analisis secara saintifik. Saya berharap saudara-saudara kita masyarakat Mausu Ane di pulau Seram dapat mengatasi persoalan dengan kearifan yang mereka miliki. Tugas negara dan aktor non-negara adalah memfasilitasi dan memahami ruang batin dan ruang sosial mereka. Dengan begitu, kita dapat membangun hidup bersama yang lebih damai dan bahagia.