BEBERAPA hari yang lalu (6-8 November 2018) telah dilaksanakan Kongres Kebudayaan Maluku (KKM) ke-3 di Dobo, ibukota Kabupaten Kepulauan Aru. Dua tahun sebelumnya (2016) KKM ke-2 dilaksanakan di Namlea, Kabupaten Buru dan dua tahun sebelumnya lagi (2014) di dua kota yakni Kota Ambon dan Kota Saumlaki, ibukota Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Hasil dua KKM terekam dalam buku setebal hampir seribu halaman dengan judul “Menelusuri Identitas Kemalukuan” (LKDM, 2017).
Ada dinamika yang intens dalam perjalanan kebudayaan Maluku. Richard Chauvel, seorang peneliti Maluku asal Australia, dengan cermat melihat trend pergeseran kebudayaan Maluku, dan itu terkait dengan dinamika politik, utamanya politik nasional. Sejak bergulirnya otonomi daerah pasca tumbangnya Orde Baru, bangkit pula identitas-identitas lokal, yang berkelindan dengan kebijakan-kebijakan politik baru tersebut. Dimekarkannya sejumlah kabupaten baru di Maluku, sekaligus memicu mekarnya budaya dan identitas lokal yang selama ini tersamarkan, tenggelam bahkan didominasi oleh budaya tertentu. Hal ini mesti dicermati secara kritis dan apresiatif.
Kongres pertama di Saumlaki misalnya, mengapungkan berbagai identitas dan tradisi masyarakat Maluku Tenggara yang kaya sekaligus rentan. Kaya, karena terdapat beragam variasi budaya masyarakat yang mendiami beragam pulau. Kepulauan Tanimbar misalnya terdiri dari berbagai pula dan bahasa, serta memiliki berbagai tradisi dan kearifan lokal yang unik. Semua keragaman itu coba diikat dalam pranata “Duan-Lolat” yang merekatkan rumpun budaya tersebut. Maka ungkapan “bumi Duan-Lolat” menjadi sebuah icon untuk Kabupaten Maluku Tenggara Barat, yang saat ini akan berganti nama menjadi Kabupaten Kepulauan Tanimbar (KT). Rentan, karena terdapat krisis internal budaya lokal, dan pengaruh eksternal yang semakin intensif.
SUARA DARI KEPULAUAN ARU
Menarik bahwa KKM ke-3 mengambil tempat di Kota Dobo, Kabupaten Kepulauan Aru. Secara simbolik pilihan wilayah ini sekaligus memberi ruang dan kesempatan untuk mengeksplorasi kebudayaan Aru secara lebih optimal. Tentu saja, hal ini terkait dengan pilihan para narasumber dalam menyajikan topik tulisan atau penelitiannya. Ternyata, tidak semua tulisan memberi aksentuasi pada wilayah diselenggarakannya KKM. Walau demikian, bukan berarti tidak ada sama sekali tulisan tentang wilayah tersebut. Sebagai contoh ada tulisan tentang sejarah orang Tionghoa di Aru/Dobo.
Tema ini tentu sangat menarik karena menelusuri jejak sejarah migrasi, adaptasi dan asimilasi dengan warga asli, maupun dinamika sosial politik ekonomi yang mewarnai perjumpaan antar etnis tersebut. Fakta menunjukan, bahwa dua Bupati Kabupaten Kepulauan Aru memiliki latar belakang etnis Tionghoa. Fakta ini memberi undangan bagi para peneliti untuk melakukan kajian secara komprehensif terhadap hal tersebut. Tentu ini salah satu isu dan contoh saja.
Isu lain yang mengemuka di Aru adalah eksistensi masyarakat adat, hak ulayat, serta kelestarian alam kepulauan Aru. Gerakan Save Aru misalnya, merupakan sebentuk perlawanan masyarakat Aru dalam kerjasama jejaringan masyarakat sipil di aras nasional bahkan global, untuk menyelamatkan warisan alam dan budayanya agar tidak menjadi mangsa korporasi dan jaringan kapitalisme global. Aru sudah punya pengalaman sebelumnya, dengan industri Mutiara yang mendunia, tetapi ternyata tidak memberi manfaat signifikan terhadap masyarakat asli Aru.
POLITIK KEBUDAYAAN
Apresiasi patut diberikan kepada penyelenggara KKM yakni Lembaga Kebudayaan Daerah Maluku (LKDM) dalam kerjasama dengan pemerintah Kabupaten/Kota sebagai tuan dan nyonya rumah penyelenggara. Selain sebagai wadah menajamkan pemikiran, kajian terhadap berbagai problem kebudayaan dan kemasyarakat sekaligus berhimpunnya para akademisi dan peneliti, tetapi sekaligus memberi penekanan tentang pentingnya kebudayaan, sebagai hal yang mendasar dalam kehidupan masyarakat dan bangsa.
Negara sendiri telah memberi perhatian melalui Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan (UU Nomor 5 Tahun 2017). Selain itu dalam konstusi negara Indonesia antara lain menegaskan bahwa negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya (Pasal 32 ayat 1 UUD 1946). Hal ini berarti bahwa kesadaran negara tentang pentingnya pemajuan kebudayaan merupakan modal sosial yang penting. Pertanyaannya, bagaimana kondisinya aktualnya pada tataran implementasi?
Pemerintah Provinsi, para bupati dan walikota mesti memberi perhatian yang serius terhadap dinamika kebudayaan ini. Bukan saja melalui kebijakan keuangan yang mendukung iven-iven kebudayaan, termasuk KKM, tetapi secara konsisten dan berkesinambungan menjaga dan merawat budaya daerah, yang selanjutnya berkontribusi bagi kebudayaan nasional bahkan global.
Para lain pihak, para kaum intelektual, budayawan, tokoh agama, aktivis serta masyarakat pada umumnya, perlu terus bersinergi untuk menjadikan kebudayaan sebagai “panglima” dan bukan terseret dalam politik yang (kesannya) semakin tidak berbudaya. Sebuah politik yang berkebudayaan menjadi penting, supaya budaya politik yang tumbuh dan berkembang benar-benar mengarah pada tatanan peradaban yang humanis dan elegan. (RR)