DINAMIKA demokrasi politik Indonesia kembali berlangsung, mendekati pemilu serentak mulai dari Pilpres, Pileg tahun 2019 sebagai bagian dari pesta demokrasi telah memasuki masa kampanye. Masa kampanye adalah ajang untuk setiap elit politik untuk bekerja demi memperoleh simpati dan perhatian dari rakyat. Namun realitas yang terjadi malah sebaliknya, sindir-menyindir, berbalas istilah yang kemudian meramaikan ruang publik kita. Sehingga hilang makna dari kampanye itu sendiri. Rakyatpun dibuat bingung dan sedikit hilang kepercayaan diri terhadap para elit.
Baru-baru ini atau saat ini publik hanya dan sedang disuguhkan pada istilah-istilah yang tidak subtantif serta dapat memecah belah kebersamaan sebagai suatu bangsa, mestinya dengan memasuki atmosfer kampanye ini yang harus dikomsumsi publik adalah visi, misi dan programnya tiap pasangan. Tapi hal ini belum juga terlihat. Ini menunjukan politik kita masih berada pada ruang-ruang perdebatan yang sifat tidak ilmiah, karena istilah-istilah yang dibangun adalah politikus sontoloyo dan genderuwo, tampang Boyolali.
Ruang publik kita masih kosong dan belum diisi dengan sebenarnya. Ruang publik kita harusnya diisi dengan adu gagasan, adu visi dan misi serta program kerja ke depan. Berdasarkan data yang dirilis oleh Litbang Kompas melalui survey dengan pertanyaan “Apakah anda tahu Visi dan Misi dari kedua pasangan pilpres 2019?”. Hasilnya, untuk Visi dan Misi (Jokowi-Ma’aruf) 84,2 % tidak tahu, 15,8% tahu. Sedangkan, untuk Visi dan Misi (Prabowo-Sandi) 87,7% tidak tahu, 11,6% tahu, 0,7% tidak jawab.
Sebuah Istilah
Narasi dan dinamika politik bangsa ini sedang mengalami penurunan nilai, lebih parahnya lagi narasi dan dinamika itu dibuat oleh para elit politik yang kemudian dikomsumsi publik sebagai bahan informasi dari perkembangan pemilu di tahun 2019. Para elit saling menyindir antara satu dengan yang lain dengan istilah-istilah belum pernah didengar oleh publik sebelumnya, dengan istilah yang sangat tidak subtantif dan hanya mencari sensasi.
Pertama, politikus sontoloyo dan genderuwo. Istilah ini dikeluarkan oleh Jokowi saat berpidato disela-sela lawatannya ke masyarakat, untuk pernyataan sontoloyo dikeluarkan Jokowi dalam rangka acara pembagian sertifikat tanah di Kebayoran Lama, Jakarta, Selasa (23/10/2018).
Katanya, sekarang ini sedang banyak politisi yang suka menyebar berita atau informasi yang tidak benar (bohong, hoax) dan juga ada politisi yang suka menakut-nakuti masyarakat. Karena sesuai dengan defenisi dari kedua istilah ini menurut KBBI, sontoloyo artinya konyol, tidak beres, bodoh (dipakai sebagai kata makian). Ada tersisip makna kekesalan bagi yang mengucapkannya, itu berarti pada saat mengeluarkan kata ini (baca: sontoloyo) Jokowi sedang kesal dan marah. Sedangkan genderuwo yang artinya hantu yang konon serupa manusia yang tinggi besar dan berbulu tebal.
Kedua, tampang Boyolali. Istilah ini dikeluarkan oleh Prabowo saat melakukan hal yang sama, berpidato dalam acara peresmian Badan Kantor Pemenangan Prabowo-Sandi di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, Selasa (30/10/2018). Adapun bunyi pidatonya sebagai berikut:
“…Dan saya yakin kalian nggak pernah masuk hotel-hotel tersebut, betul? (Betul, sahut hadirin yang ada di acara tersebut). Mungkin kalian diusir, tampang kalian tidak tampang orang kaya, tampang kalian ya tampang orang Boyolali ini.” Kata ini dikeluarkan oleh Prabowo sebagai bentuk keprihatinan terhadap kondisi masyarakat.
Jadi dapat digaris bawahi istilah-istilah ini, dimana 1) Politikus sontoloyo merupakan politisi yang suka menyebarkan berita atau informasi bohong. 2) Politisi genderuwo adalah politisi yang suka menakut-nakuti rakyat. 3) Tampang Boyolai adalah tampang orang lemah.
Pertanyaan kemudian, apa pangkalnya para elite politik kita baik dikubu Jokowi-Ma’aruf maupun dikubu Prabowo-Sandi saling mengeluarkan istilah-istilah semacam ini. Hemat saya adalah, beginilah konsekuensi dari pertarungan head to head yang hanya berhadap-hadapan antara dua kubu saja.
Politik Berkualitas
Kalau ingin dikatakan, politik bangsa ini sedang berada pada yang namanya politik yang kering dengan gagasan. Padahal kalau kita cermati dengan cara seksama politik itu adalah ilmu yang tentunya sarat akan nilai. Politik menurut Roger F. Soltau adalah ilmu yang mempelajari negara, tujuan-tujuan negara, dan lembaga-lembaga yang akan melaksanakan tujuan itu. Jadi sudah seharusnya politik itu memiliki kualitas yang baik.
Politik yang berkualitas tidak boleh kering akan ide dan gagasan, artinya dalam momentum pilpres ini harusnya para elit muncul dan hadir ke publik dengan ide dan gagasan yang dibangun agar publik juga mendapatkan pengetahuan, kecerdasan, bukan sebaliknya. Para elit politik tidak seharusnya hadir ke publik untuk mencari sensasi tapi jauh dari itu adalah bagaimana publik dicerdaskan dengan narasi politik yang dibangun. Karena pada prinsipnya politik berkualitas itu adalah adu ide dan juga gagasan.
Selain itu juga, politik berkualitas akan tercipta apabila cara berpolitik yang tidak baik dihilangkan misalnya, perilaku politik uang (money politik) karena hasilnya akan melahirkan pemimpin yang korup, semangat politik identitas (SARA) karena hasilnya akan menghasil konflik antar sesama anak bangsa. Dan ini membutuhkan kesadaran dari para elit itu sendiri agar jalannya pesta demokrasi atau pemilu ini dapat berjalan dengan aman dan damai.
Langkah Strategis
Lalu apa yang harus dilakukan? Sekali lagi, ruang publik yang masih kosong ini harus diisi dengan perang dan adu gagasan bukan adu sentimen atau yang lain. Caranya adalah, Pertama: KPU sebagai penyelenggara pemilu secepatnya harus menyediakan ruang ini. Kedua: KPU harusnya bekerja sama dengan kampus-kampus, lembaga penelitian dan semacamnya untuk membuka ruang perdebatan itu (baca: gagasan). Kampus harus menjadi tempat untuk menguji visi misi dan gagasan dari para calon pemimpin rakyat. Ketiga, setiap paslon pilpres haruslah menyiapkam tim kampanye yang mempunyai kapasitas yang baik untuk mengartikulasikan gagasan, visi dan misi mereka. Supaya politik kita tidak dinilai sebagai politik abal-abal.
Terakhir yang ingin disampaikan bahwa Pertama, istilah yang sudah dikeluarkan baik oleh Jokowi maupun Prabowo ini adalah bentuk kebenaran yang ingin sampaikan tapi kebenaran itu tidak disampaikan secara utuh. Kedua, mengenai munculnya istilah politikus sontoloyo dan genderuwo atau tampang Boyolali ini sama sekali tidak meningkat kualitas politik kita, tapi malah sebaliknya mengalami penurunan kualitas. (Penulis adalah Mahasiswa UNIDAR Ambon)