Beriman Itu Tidak Pernah Selesai, Percakapan Awal Tahun Dengan Dr John Ruhulessin

oleh
oleh
Pdt John Ruhulessin

Mengawali tahun baru 2019 kita membutuhkan gagasan-gagasan segar dan bernas, untuk menggerakan tindakan-tindakan yang fungsional dan relevan. Rabu (2/1/2019) pagi saya berkesempatan melakukan percakapan via telepon dengan dosen Sosiologi Agama Fakultas Teologi UKIM Ambon, Dr John Ruhulessin. Berikut lima poin perspektifnya dalam memaknai tahun baru 2019.

Pertama, memasuki tahun 2019 yang disebut sebagai tahun politik ini, maka perspektif dan komitmen yang perlu diperkuat adalah komitmen kebangsaan. Bagaimana semua energi yang dimiliki warga bangsa dan disinergikan untuk kepentingan bersama, untuk kesejahteraan. Berbagai tendensi sektarianisme dan fanatisme tidak perlu dihadapi secara reaktif, melainkan terus memperkuat komitmen kebangsaan yang dibangun dalam kesadaran sejarah yang panjang. Bangsa ini dibangun dalam sejarah yang panjang dan berdarah-darah. Jangan khianati perjuangan para pendahulu dan cita-cita luhur bangsa yang telah disepakati bersama. Mari kita berjuang bersama-sama untuk kesejahteraan dan kemaslahatan bangsa ini.

Kedua, hidup beriman itu tidak pernah selesai dan tidak boleh berhenti. Hidup beriman itu merupakan sebuah ziarah, dan olehnya penuh dinamika pasang surut. Olehnya kita tidak boleh cepat puas dan berhenti pada satu capaian tertentu saja. Kita perlu terus sigap dan cekatan dalam merespons dinamika yang ada. Pikiran-pikiran teologis yang abstrak dan spekulatif bukan tidak diperlukan, tapi kita membutuhkan sebuah proposal yang lebih riil dan praktis serta konkrit. Kita juga perlu konsisten dalam meletakan visi dan tindakan, agar tidak meluber kemana-mana tanpa arah yang jelas. Visi kelembagaan menjadi penting dan itu merupakan visi bersama bukan visi orang per orang.

Ketiga, kecemasan-kecemasan kemanusiaan semakin meluas, dan membutuhkan tanggapan agama-agama yang sungguh-sungguh mendasar. Tidak sekedar reaktif dan tambal sulam. Perlu sebuah penyikapan yang komprehensif yang melibatkan seluruh energi yang dimiliki oleh agama-agama maupun bangsa. Persoalan kita bukan lagi pada soal berapa besar jumlah pemeluk agama, tetapi sejauhmana agama-agama memberi kemaslahatan bagi umat manusia. Itu yang lebih penting. Bukan formalisme beragama melainkan fungsionalisme agama dalam menjawab kecemasan-kecemasan kemanusiaan yang kian mekar dan meluas itu. Apalah arti agama itu jika ia menciderai kemanusiaan?

BACA JUGA :  Unidar Ambon Mulai Bangkit

Keempat, perlu memelihara sikap optimistik. Optimistik bukan berarti mengecilkan atau mengabaikan potensi tantangan atau ancaman. Justru optimisme adalah sikap mental positif dalam menghadapi tantangan yang kian multidimensional itu. Jika menggunakan diksi beragama, maka optimisme itu berarti pengharapan. Tanpa harapan kita akan kehilangan arah dan layu sebelum berkembang. Masalah-masalah yang dihadapi kian rumit. Tapi itulah kehidupan, tiada laut yang tidak bergelombang. Kita juga mesti mampu melihat berbagai kemajuan yang telah dicapai umat manusia, termasuk bangsa Indonesia. Jangan hanya melihat sisi-sisi negatif, dan mengabaikan capaian-capaian positif yang telah kita raih secara bersama.

Kelima, khusus dalam konteks Maluku di tahun 2019 maka ada peralihan kepemimpinan di level propinsi. Kita berterima kasih dan apresiasi kepada Gubernur dan Wakil Gubernur yang lama dan menyambut Gubernur dan wakil Gubernur yang baru yang terpilih secara legitim. Kita juga perlu memberi dukungan dan perspektif yang semuanya bertujuan untuk kesejahteraan bersama di Maluku. Kita letakan kesadaran bahwa sebuah masyarakat mesti dibangun dalam azas kolegialitas dan kolektif serta solidaritas. Teori sosiologi klasik Emile Durkheim tentang solidaritas organik dan solidaritas mekanik telah menegaskan hal itu. Bahkan teori-teori sosial terkini sudah melihat dimensi jaringan dan sistem sebagai hal yang terberi (taken for granted). Kondisi Maluku juga tak lepas dari kondisi bangsa dan dunia yang sedang menghidupi sebuah era yang disebut era digital ini. Kita perlu peka dan realistis.

Di ujung percakapan pagi ini, mantan Ketua Sinode GPM yang kini menjabat Ketua Palang Merah Indonesia (PMI) Wilayah Maluku dan Ketua 1 Sinode Gereja Protestan di Indonesia (GPI) juga Ketua PGIW Wilayah Maluku ini, menegaskan pentingnya sikap optimis dan rendah hati dari agama-agama dan bangsa ini. “Kita mesti lebih cool (sejuk) dan saling merangkul, bukan saling menafikan dan mengabaikan” pungkas penyuka mengail ikan ini. Selamat berkarya di tahun baru 2019. (Pewawancara: Rudy Rahabeat).

No More Posts Available.

No more pages to load.