TERASMALUKU.COM,-AMBON–Proses panjang para petani di kebun membuat harga sayuran organik lebih mahal dari pada sayuran biasa di pasar tradisional. Hal itu linier dengan pendapatan para petani organik ini. Tapi untuk bisa mendapat label organik jauh lebih berat dibanding bekerja di kebun. Tak sedikit dari mereka yang kesulitan di pemasaran lantaran waktu kedaluarsa sertifikas organik habis.
Nasrudin, petani buah salak asal Telaga Kodok Kota Ambon, Kabupaten Maluku Tengah pulang dengan tangan kosong. Sekarung buah salak yang dibawa dari kebun itu ludes diburu warga kota pada Amboina Farmers Market pada Sabtu (15/12/2018). Salak-salak itu merupakan salak organik.
Daging buah paduan manis kecut, besar, garing dan berair jadi keunggulannya. Pengunjung pasar juga lebih lega dan leluasa membeli hasil kebun Nasrudin. Dia tak sekadar berjualan, sesekali dia berikan penjelasan bagi calon pembeli yang bertanya.
Jumlah salak yang dibawa itu tidak sebarapa. Pasalnya sebagian besar salak di kebun telah habis dipesan orang untuk natal dan tahun baru kemarin. “Beta terpaksa ambil saja ini. Salak yang di kebun itu pesanan orang buat natal sampai tahun baru,” aku pria 45 tahun itu.
Nasrudin telah puluhan tahun jadi petani. Di rumahnya, lahan bertanam sebagian besar rusak akibat pestisida dan pupuk kimia lain. Kepada Terasmaluku.com bulan lalu dia menyebut dulu lahan-lahan di Talaga Kodok dipakai petani bertanam dengan metode yang keras.
Penggunaan pupuk kimia dalam jumlah banyak dan panjang membikin kualitas tanah, udara dan lingkungan sekitar kebun rusak. Namun Nasrudin berhasil mengubah lahan kritis di Talaga Kodok itu sebagai lahan bertanam salak. Hasilnya, manis sekali. Buah buah salak asal tempat tinggalnya tak sampai ke pasar. Ia habis lebih dulu diborong pembeli yang datang ke kebun.
Untuk memaksimalkan kualitas tanaman, dia dan beberapa petani organik di Pulau Ambon sempat mengikuti pertemuan dengan dinas pertanian pada 2013. Tujuannya untuk mengupayakan sertifiksi organik bagi petani. “Kita dikumpul buat dapat sertifikasi. Jadi tidak bisa hanya organik begitu, harus ada pembuktian lewat sertifikasi lembaga khusus,” akunya.
Kala itu, mereka difasilitasi oleh Dinas Pertanian Provinsi Maluku untuk mendatangkan petugas sertifikasi Lembaga Sertifikasi Organik (LSO). Ada belasan petani yang ikut sertifikasi itu. Selain Nasrudin ada juga Erwin Solisa, petani sayur organik asal Dusun Air Low Kecamatan Nusaniwe Kota Ambon.
Ada juga petani lain dari beberapa lokasi berbeda di dalam Pulau Ambon. Dari belasan peserta, hanya empat orang petani yang lolos uji dari LSO. Produk pangan mereka dinyatakan aman dan sesuai dengan strandar tanaman pangan organik oleh lembaga yang merupakan bagian komite akreditasi nasional (KAN) itu.

Ada serangkaian pemeriksaan yang dilakukan petugas di kebun para petani. Stelah hasil keluar, mereka lalu menerima sertifikat dari lembaga itu. Namun dengan batas waktu selama lima tahun. Sama halnya dengen Test of English as a Foreign LanguagE (TOEFL). yang punya batas kedaluarsa. Setelah itu para petani ini harus memperpanjang sertifikasi kembali. “Kalau tidak, label organik itu tidak bisa dipake. Walau memang katong punya tanaman itu sudah organik,” lajutnya.
Erwin saat ditemui di kebunnya, Rabu (9/1/2019) membenarkan hal itu. Dia termasuk dalam kelompok petani yang berhasil lolos sertifikasi LSO. Dia juga menambah kualitas produknya dengan mengikuti pengujian dan pembuktian keamanan tanaman pangan pada lembaga resmi lain. Seperti PRIMA 3 dari Dinas Ketahanan Pangan Provinsi Maluku. “Beta juga ke Balai POM untuk tes. Semua aman, jadi orang seng perlu ragu atau takut makan,” ucapnya.
Untuk mendapat lembar-lembar itu petugas turun ke lapangan dan memeriksa berbagai aspek. Mulai dari media tanam, bibit, air, udara, riwayat tanah, lingkungan sekitar hingga segala perkakas. Itu untuk memastikan tidak ada unsur lain yang mengugurkan kualitas tanaman organik mereka.
Nah, setelah mengantongi ‘SIM’ organik, barulah mereka bisa lebih leluasa menjual produk di pasar. Sebab pemilik toko atau gerai juga punya standar khusus untuk memasukan produk-produk alam ke toko mereka. Untuk sayur dan buah organik, petani perlu menyertakan sertifikat. Ada sebuah kepercayaan yang diberikan produsen pada konsumen yang mengonsumsi produk alam itu.
Sayangnya Nasrudin, Erwin juga petani organik lain dalam kesulitan. Setifikasi organik yang diperoleh pada 2013 telah habis masa berlaku pada 2017 lalu. Itu artinya mereka harus tes ulang agar bisa mendapat yang baru.
Lain halnya dengan Abdurahman Renwarin, petani pepaya organik asal Desa Tial Maluku Tengah belum pernah mengikuti sertifikasi organik sama sekali. Di desanya, terdapat banyak petani buah pepaya. Man begitu dia disapa, memilih bertanah pepaya secara organik. Dia yang telah menjadi penyuluh pertanian selama 22 tahun yakin dengan keputusan untuk lakukan hal yang terbaik. “Dan beta seng mau makan sayur atau buah yang lain, karena beta tahu bagaimana perlakukan terhadap tanaman dengan bahan kimia,” bebernya kepada wartawan di rumahnya di Gang Saniani Desa Tial.
Man menyayangkan usahanya ini belum tersertifikasi organik dengan baik. Meski dia istri dan seorang rekan lain benar-benar menerapkan cara tanam organik. Semisal pupuk dari kotoran sapi yang dilepas liar di hutan. Atau juga wadah penyiraman khusus agar tidak terkontaminasi residu plastic atau logam. Tapi Man yang baru beralih menanam pepaya setahun ini sudah punya pembeli tetap. Seperti para penjual rujak Natsepa.
Biaya Sertifikasi Organik Mahal
Lalau apa susahnya perpanjang sertifikasi organik yang baru. Dinas Pertanian Provinsi Maluku awalnya yang mendatangkan petugas LSO ke Ambon. Sekali mendatangkan petugas anggaran yang dikeluarkan sekitar Rp 100 juta untuk belasan petani.
“Itu sekali datang saja puluh juta. Karena itu katong (dinas pertanian) langsung ajak beberapa petani sekaligus. Kalau tidak mahal sekali,” ucap Hero Louhenapessy, Kepala Seksi Pembenihan dan Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikulturan Desember lalu kepada Terasmaluku di ruangannya. Ada alokasi anggaran untuk biaya transportasi sampai administrasi yang harus ditanggung pemerintah.

Sertifikasi itu merupakan bagian dari penganggaran khusus dinas kepada petani organik. Katanya, ada pengajuan anggaran khusus bagi petani organik agar tersertifikasi secara resmi. Menurutnya ada tiga orang yang didatangkan untuk proses tersebut. “Kami bayar dua kali. Sekali itu sekitar tiga puluh juta lalu setelah selesai bayar lagi untuk dapat sertifikat,” lanjut dia.
Para petani sejatinya telah minta secara langsung agar dinas dapat membantu mereka. Tahun ini pihaknya pun telah ajukan rencana anggaran untuk itu. Sayangnya belum ada kabar apakah usulan bidangnya itu diterima. Besar kemungkinan, lanjut Hero tidak ada program sertifikasi lagi.
Dengan nominal tersebut, sudah pasti petanilah yang merintih. Untuk sekali tes mereka harus merogoh kocek lebih dalam dari lubang tanam sayuran organik. Dinas pertanian sempat mengusulkan agar para petani membentuk kelompok lalu secara kolektif mendanai sertifikasi. Bisa juga dengan mengambil sertifikasi lokal milik Dinas Ketahanan Pangan Provinsi Maluku, Prima. Seperti yang dilakukan oleh Erwin itu. (PRISKA BIRAHY)