TERASMALUKU.COM-,AMBON-Ledakan fitoplankton di Teluk Dalam Ambon dan surat edaran Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota sempat membuat panik warga yang hendak makan ikan. Meski begitu Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ambon memastikan luasan area ledakan tidak lagi sebesar pada hari pertama kedua ditemukan.
Kepala Pusat Penelitian Laut Dalam Ambon Dr. Augy Syahailatua kepada Terasmaluku.com di ruangnnya memastikan kondisi lokasi ledakan itu sudah jauh lebih kecil dari kali pertama ditemukan. “Awal ditemukan oleh tim yang rutin cek itu 31 hektar. Hari pertama kedua begitu, terakhir dicek lagi sudah lebih kecil luasannya. Mungkin sekitar setengahnya,” ungkapnya, Senin (14/1/2019).
Menurutnya penemuan oleh tim itu termasuk sebuah keberuntungan. Saat ada ledakan fitoplankton, tim sedang lakukan pengecekan di lokasi sekitar Lateri dan Paso. Mereka menemukan perubahan warna air laut yang kemudian diketahui sebagai sebuah ledakan perkembangan.
Kejadian itu berlangsung selama dua hari sejak ditemukan. Namu pada kali terakhir pengecekkan, jumlah serta luasannya makin menyempit. “Ledakan HAB (Harmful Algae Blooms) itu tidak terjadi di seluruh perairan Teluk Dalam Ambon,” jelasnya. Kasus HAB ini, lanjut Augy seperti bencana gempa bumi. Tidak ada yang tahu kapan pastinya fitoplankton itu berkembang pesat dalam jumlah yang banyak diperairan. Jumlah bisa berubah sewaktu-waktu. Namun dengan kemajuan ilmu pengetahuan, pihaknya dapat memprediksi waktu terjadi.
Yakni pada musim-musim peralihan dari panas ke hujan. Atau saat cuaca tiba-tiba panas usai hujan dan sebaliknya. Nutrisi yang terbawa air ke laut menjadi makanan para fitoplankton. Dalam jumlah yang besar, akan terjadi blooming seperti kejadian pada Kamis (11/1) itu.
Di lain sisi menanggapi surat edaran resmi yang dikelaurkan Dinas Lingkungan Hidup Kota Ambon Augy belum bisa memastikan jenis fitoplankton tersebut. “Sebagai langkah awal itu sudah baik dibuat surat edaran itu agar masyarakat lebih waspada. Tapi kami sedang cek ke laboratorium jenisnya,” terangnya.
Kepastian jenis fitoplankton itu untuk memberi kejelasan serta meredam ketakutan warga yang hendak makan ikan. Yakni apakah jenis itu termasuk yang bisa mematikan atau menimbulkan efek samping seperti gatal, mual dan pusing. Augy juga mengingatkan bahwa reaksi alergi dari jenis fitoplankton yang masuk ke tubuh manusia pun berbeda-beda. Itu bergantung dari imunitas tubuh sesorang. Namun untuk sementara waktu, warga di sekitar lokasi kejadian untuk tidak mencari dan mengkonsumsi biota atau ikan-ikan di situ.
Nova Malakauseya, warga Waiheru salah satu yang ikut panik dengan surat edaran itu. Sehari-hari adik dan ayahnya melaut mencari ikan dan kerang-kerang di tepi pantai. Ruamhnya berada persis di tepi pantai perairan Teluk Dalam Ambon. “Waktu dengan itu panik bingung lai sebab katong hari-hari bacari ikan buat makan. Kadang katong jual lai,” akunya saat ditemui wartawan.
Di depan rumahnya juga da beberapa bagan milik kelompok nelayan sekitar. Mereka pun terpaksa absen melaut untuk sementara waktu. Pemberitahuan dari DLH Kota Ambon itu membuat mereka waspada saat mengkonsumsi ikan. “Tapi ini kan su pernah terjadi. Tapi katong jaga-jaga saja, untuk seng makan ikan dari laut sini dulu,” singkatnya.
Menurut Nova nelayan sekitar sudah paham jika ada tanda-tanda alam berupa perubahan warna air laut. Mereka akang langsung membatasi aktifitas dan memakan ikand ari perairan di sekitar lokasi tersebut.
Hal serupa juga disampaikan pihak LIPI. Mereka meminta agar warga yang tinggal dekat laut atau nelayan agar segera memberitahu jika nantinya ada tanda-tanda serupa. seperti perubahan warna air hijau tua, kemerah-merahan dan coklat. Dengan begitu LIPI dapat segera turun dan memastikan kondisi perairan itu. (PRISKA BIRAHY)