Mewujudkan Maluku Bisa Oleh : Rudy Rahabeat, Pendeta GPM  

oleh
oleh
Pendeta Rudy Rahabeat

KITA bersyukur Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku yang baru, Irjen Pol (Purn.) Drs Murad Ismail dan Drs Barnabas Orno telah dilantik oleh Presiden Joko Widodo di istana negara beberapa waktu lalu (24/4/19). Demikian pula pidato perdana Gubernur telah diucapkan di hadapan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Maluku (29/4/19), sekaligus menandai pelaksanaan tugas memimpin Maluku lima tahun ke depan. Ini sebuah momentum yang perlu disikapi dengan optimisme tanpa mengurangi sikap kritis dan kerendahan hati.

Melalui media konvensional dan media sosial pasca pelantikan Gubernur Maluku menyebutkan bahwa salah satu masalah yang akan menjadi prioritasnya adalah mengatasi kemiskinan. Ini memang masalah serius, bahkan sangat serius. Lawan dari kemiskinan adalah kesejahteraan. Dengan kata lain, ketika Maluku keluar dari penjara kemiskinan maka rakyatnya sejahtera. Dalam konteks ini frasa “biar miskin asal bahagia” benar-benar perlu ditelaah.

Kemiskinan menjadi salah satu akar masalah yang serius di Maluku. Ibadat sebuah pohon besar, maka jika akarnya tidak ditangani, maka pohon itu akan tumbuh lamban, bahkan bisa saja kering dan mati. Olehnya, segenap energi, potensi, komitmen dan kerja keras untuk mengatasi kemiskinan perlu disinergikan, dan ujungnya adalah mewujudkan kesejahteraan. Pertanyaannya apakah itu bisa?

MALUKU BISA

Maluku bisa adalah sebuah proklamasi sekaligus imaji. Sebagai sebuah proklamasi maka itu . menandai sebuah posisi diri dan komitmen untuk menggapai asa. Sebagai imaji, ia merupakan sebuah cita-cita yang mesti diwujudkan dalam tindakan nyata. Sebagai imaji ia bisa terwujudkan, bisa juga tertunda atau bahwa tak terwujudkan. Oleh sebab itu, perlu ada kerja nyata, kerja sama dan kerja ikhlas. Sebagai contoh, ketika Sukarno-Hatta memproklamirkan Indonesia Merdeka, maka langkah selanjutnya adalah tindakan untuk mempertahankan dan mengisi kemerdekaan itu. Dan proses itu terus berlanjut hingga saat ini, demi mewujudkan cita-cita luhur berbangsa dan bernegara yakni Indonesia sejahtera lahir dan bathin.

Maluku bisa karena Maluku kaya. Bukan saja kaya sumber daya alam, tetapi kaya sejarah dan warisan budaya. Tapi semua itu akan menjadi utopia, jika tidak dikelola dan digerakan untuk pertumbuhan ekonomi, peningkatan kualitas pendidikan dan pelayanan kesehatan, mengatasi pengangguran, merawat toleransi antar-agama, perdamaian, serta menjaga kelestarian lingkungan hidup. Bukan rahasia umum lagi, jika pelayanan kesehatan di Maluku, termasuk di Kota Ambon, misalnya sarana prasarana rumah sakit masih jauh dari ideal. Pasien mengeluh karena untuk jenis-jenis penyakit tertentu, seperti kanker, harus dirujuk di luar Maluku. Salah satu penyebabnya fasilitas alat kesehatan tidak memadai. Itu juga yang membuat ada dokter yang hijrah ke luar Maluku, bukan karena tidak mencintai negerinya, tapi karena fasilitas yang tersedia tidak memungkinkannya untuk bekerja secara professional. Ini tentu hanya sebuah contoh saja. Ada banyak contoh lain dengan ragam  variasi sebab akibatnya.

Maluku bisa merupakan sebuah optimisme untuk keluar dari keterpurukan. Hasil-hasil penelitian yang menunjukan keterpurukan di bidang pendidikan, kesehatan, teknologi, tentu menjadi tantangan untuk segera dibenahi dan dikembangkan. Optimisme itu menjadi sangat penting dan perlu. Ibarat seorang pelaut, ia harus berani berlayar walau ia tahu bahwa badai dan gelombang tak terelakan. Ia akan siap dan tangguh mengatasi semua itu dan membawa kapalnya keluar dari badai dan menuju labuhan yang teduh.

KULTURAL DAN STRUKTURAL

Membangun Maluku, hendaknya yang berporos pada nilai-nilai budaya Maluku. Ini bukan berarti menolak nilai-nilai budaya dari luar. Nilai-nilai budaya itu memang makin ditantang oleh arus perubahan mondial. Tapi itu bukan berarti kita tidak bisa menggali dan merevitalisasi budaya Maluku itu. Secara nasional kita telah mempunyai payung Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan 2017 dan Strategi Kebudayaan hasil Konggres Kebudayaan Indonesia tahun 2018 kemarin. Ini menjadi pintu masuk untuk menggali dan mengembangkan budaya daerah serta mensinergikan dengan budaya nasional dan global. Dengan begitu, kita tetap bisa menjaga identitas budaya daerah, sekaligus lentur dan dinamis dalam interaksi dengan budaya-budaya lainnya.

Bukan sebuah kebetulan jika Gubernur dan Wakil Gubernur saat ini menggunakan tagline “Baileo itu Katong” dalam masa kampanye yang lalu. Ada spirit budaya yang terkandung dari frasa tersebut. Baeleo adalah simbol budaya yang penting di Maluku. Pada Baeleo kita menemukan nilai-nilai persaudaraan, kebersamaan, dialog dan saling berbagi. Pada Baileo segala kepentingan dan visi bersama dibicarakan dan dirumuskan menjadi agenda dan program kerja untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Olehnya, Baileo mesti terus aktual dan fungsional sebagai perekat dan penggerak perubahan menuju transformasi masyarakat Maluku.

Satu hal lagi, selain masalah kultural kita juga mesti peka dan tanggap terhadap problem struktural. Hal ini berkaitan dengan relasi kuasa (power relation) pada tiap aras. Katakanlah bagaimana relasi dan komunikasi dengan pemerintah pusat untuk mengambil kebijakan dan keputusan politik yang berpihak pada masyarakat Maluku. Demikian pula relasi kuasa dengan para pengusaha dan pemodal yang hendak berinvestasi di Maluku. Relasi-relasi itu rentan dan bisa mendatangkan efek-efek tak terduga, yang dalam bahasa sosiolog Robert K. Merton dan dikembangkan oleh Anthony Giddens disebut sebagai “unintended consequences”, akibat-akibat yang tak diharapkan.

Kita ingin Maluku maju dan sejahtera, kita yakin Maluku bisa, namun yang perlu kita ingat bahwa untuk mewujudkannya, kita tidak bisa berjalan sendiri, kita perlu sahabat sehati, perlu kesungguhan dan kerendahan hati. Pagi ini saya membaca status seorang sahabat di fesbuk begini “Kalau pandai jangan menggurui, kalau tajam jangan melukai, kalau cepat jangan mendahului (Irjenpol Purn.Drs Murad Ismail)”. Selamat Hari Pendidikan Nasional 2019.

No More Posts Available.

No more pages to load.