Lima Catatan Di Akhir Juli Oleh : Rudy Rahabeat, Orang Tua Siswa

oleh
oleh
Rudy Rahabeat

31 hari berlalu di bulan ke tujuh. Tentu ada banyak peristiwa dan karya. Di antara yang banyak itu saya hendak menutup bulan Juli ini dengan lima catatan ringkas khususnyan berkaitan dengan dunia pendidikan di kekinian zaman.

Pertama, bulan Juli ini bukan saja anak-anak disibukan untuk segera masuk sekolah yang baru. Orang tua juga sibuk menyiapkan anak-anak termasuk menyesuaikan dengan kebijakan zonasi yang sudah diberlakukan sejak tiga atau dua tahun lalu. Ternyata kebijakan zonasi ini masih menuai polemik dan membuka diskusi baru. Ada yang sepakat dengan kebijakan ini dengan argumentasi demi pemerataan dan stimulasi untuk pengembangan mutu pelayanan pendidikan bagi anak bangsa di seluruh persada. Ada juga yang keberatan dengan alasan terjadinya konsentrasi pada suatu sekolah saja atau problem teknis administratif status tempat tinggal. Apapun itu kebijakan zonasi tetap dilakukan. Belum tahu jika ada pergantian Menteri Pendidikan yang baru apakah ada kebijakan baru lagi.

Kedua, lonjakan biaya pendidikan dan pungutan tambahan yang tidak jelas. Saat saya mengikuti rapat perdana dengan para guru dan orang tua murid tiba-tiba ada yang protes. “Mengapa siswa baru diminta beli kursi plastik lagi. Bukankah tahun lalu sudah pengadaan lalu kemana kursi-kursi itu? Lagian, apakah itu tanggungjawab orang tua atau pihak sekolah”? Demikian tanya seorang tua yang disambut suara-suara sumbang orang tua yang lain.

Tentu ini salah satu contoh saja. Sebab di awal masuk sekolah itu bisa muncul pungutan-pungutan aneh, termasuk untuk membeli huruf khusus untuk papan nama sekolah. Ini bukan berarti orang tua tidak mau mensupport sekolah tetapi kebijakan pungutan-pungutan itu mestilah realistis dan proporsional. Sebab tidak semua orang tua siswa berasal dari ekonomi mapan. Ada yang untuk makan dan ongkos transport ke sekolah saja sangat sulit. Maka jangan ditambah lagi dengan pungutan-pungutan aneh itu.

BACA JUGA :  Longboat Bermuatan 15 Orang Termasuk Satu Bayi dan 2 Anak Tenggelam di Laut Leksula, Seluruh Korban Selamat

Ketiga, masih ada kekerasan di sekolah. Saat saya tiba di sebuah sekolah ada seorang guru yang membentak muridnya dengan suara keras bahkan memukul siswa tersebut. Karena baru pertama ke sekolah tersebut saya enggan menegur guru tersebut. Tapi seyogyanya jangan demikian. Selain karena sang siswa bisa menuntut guru tersebut di pengadilan tetapi seorang guru yang baik seyogyanya ramah dan penuh kasih. Bukannya marah-marah dan penuh kekerasan.

Demikian pula kata-kata kasar dan intimidatif sebaiknya dihapus dari kamus guru-guru saat ini. Sebab kita sedang mencetak generasi yang berkarakter dan bermutu bukan generasi beringas dan mati rasa. Kita sedang berusaha menjadikan sekolah sebagai tempat yang nyaman dan aman dari tindak kekerasan apapun; fisik, psikis, termasuk kekerasan seksual.

Keempat, fasilitas di sekolah. Tempat yang pertama saya perhatikan di sekolah adalah toilet. Ini tempat yang sangat penting bagi siswa utamanya siswa sekolah dasar. Anak-anak musti nyaman dan senang saat aktivitas buang air kecil atau besar. Bukan rahasia umum lagi bahwa jaman dulu toilet-toilet itu bagai ruang hantu. Gelap, tidak ada air, bau pesing yang pekat bikin kepala pening. Adakah sekolah yang menyediakan toilet lebih dari tiga, bersih, air tersedia juga sabun dan antiseptik. Apakah ini terlalu mewah atau bisa disediakan oleh sekolah.

Apalagi jika kepala sekolah peka dan peduli dengan anak-anak. Atau sibuk mengurus dana BOS yang akhir-akhir membawa sebagian ke pengadilan dan penjara? Bagaimana pula dengan guru yang kerap datang terlambat padahal di dinding sekolah tertulis jelas “guru tiba 15 menit sebelum aktivitas sekolah dimulai”. Kenyataannya tidak seindah yang tertulis di papan atau dinding sekolah itu. Belum lagi soal kantin sehat dan godaan jualan di lingkungan sekolah.

BACA JUGA :  Cegah Konflik Sosial, Danrem Lakukan Komsos ke Warga

Kelima, mendamba sekolah yang ramah anak. Orang tua siapa yang tidak senang dan bangga jika sekolah makin hari makin maju dan kreatif. Pagi-pagi kepala sekolah sudah hadir memeriksa kelas-kelas. Guru-guru datang sebelum siswa tiba. Menyambut siswa dengan senyum dan jabat tangan ramah. Memberi semangat dan teladan kepada para siswa, walau mungkin di rumah para guru itu mereka juga sedang bergelut dengan sejumlah problematika.

Sungguh sebuah kebahagiaan jika nasib para guru tetap diperhatikan negara. Bukan saja soal gaji yang naik tapi juga prospek karier mereka. Demikian pula negara di level pusat dan daerah, misalnya melalui dinas pendidikan kabupaten/kota benar-benar melaksanakan fungsinya dengan prima dan bukan formalitas saja. Termasuk dukungan dari masyarakat dan orang tua. Jika ini terjadi maka harapan agar sekolah menjadi tempat penyemaian benih peradaban yang humanis dan tidak hanya slogan semata.

Kelima catatan ini tentu sangat subjektif. Tapi saya berusaha meringkas keterlibatan saya sepanjang bulan Juli ini mendampingi anak-anak saya masuk sekolah yang baru di SD dan SMP. Kalaupun ada catatan yang agak kritis dan pesimistik kiranya dapat menjadi stimulasi untuk berbenah bersama. Saya tetap optimistik. Sebab sebagaimana amanat konstitusi, harapan para penyelenggara pendidikan termasuk orang tua, kita semua mendambakan dunia pendidikan yang semakin maju dan inovatif serta membebaskan. Sebuah dunia yang menghasilkan generasi cerdas dan berkarakter serta berkomitmen kuat menciptakan tatanan dunia bersama yang adil, damai dan bahagia.

Selamat belajar dan mengajar para guru, para siswa, penyelenggara pendidikan dan orang tua serta masyarakat semua.

Selamat mengakhiri bulan Juli dan memasuki bulan Agustus, bulan kemerdekaan. Merdeka ! (RR)

No More Posts Available.

No more pages to load.