Lima Catatan Agama dan Kebangsaan Oleh : Rudy Rahabeat, Pendeta GPM

oleh
oleh
Rudy Rahabeat, Pendeta GPM

Pertama-tama saya menyampaikan “Proficiat”, selamat atas pembukaan program doktor Agama dan Kebangsaan pada Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM) Ambon (7 Agustus 2019). Ini tentu sebuah peristiwa sejarah, baik dalam arti institusi maupun konten program tersebut. UKIM untuk pertama kali menyelenggarakan program doktor sejak didirikan tahun 1985.

Demikian pula tema agama dan kebangsaan, rasanya baru pertama di dunia. Olehnya, sekali lagi selamat dan doa untuk komitmen merawat agama dan kebangsaan dalam ranah akademik dan publik. Dalam kaitan ini, perkenankan saya, sebagai alumni UKIM, dan juga jika berkenaan berminat mengajar di program tersebut, minimal untuk mata kuliah “Antropologi Negara dan Etnisitas”, menyertakan lima catatan ringan sebagai berikut:

Pertama, agama merupakan ikhwal abadi. Walau diramalkan akan ditinggalkan bahkan punah, ternyata agama tetap eksis bahkan makin berkibar. Agama tidak ditelan sekularisasi seperti diramalkan oleh Peter L Berger, sebuah ramalan yang kemudian direvisi ilmuan sosial kawakan yang wafat beberapa tahun lalu itu. Agama tetap menjadi energi abadi umat manusia yang menggerakan dinamika perubahan ke berbagai arah. Ini bukan berarti agama bebas kritik.

Justru, dalam mencermati fenomena kebangkitan agama-agama itu, perlu terus mengajukan pertanyaan paradigmatis tentang apa itu agama, mengapa agama dan untuk apa agama. Tesis klasik dari Emile Durkheim, tentang elemen-elemen fundamental agama tetap menarik untuk di telaah di era yang makin global dan digital ini. Agama bisa menjadi bencana seperti dibilang Charles Kimball dalam bukunya When Religion Become Evil, atau menjadi berkah, seperti antara lain dalam ungkapan rahmat bagi semesta ciptaan (rahmatan lil alamin).

 

Kedua, negara-bangsa (nation-state) sebagai produk modernitas. Debat teoritik tentang bangsa (nation) sudah sangat melimpah.  Mulai dari Ernest Rennan hingga Ben Anderson dan sebagainya, bahkan bisa dilacak hingga ke era Yunani purba, pada Plato misalnya, termasuk dari pemikir-pemikir Klasik Islam seperti Ibnu Khaldun, dan lainnya (baca, Khazanah Intelektual Islam, Nurcholish Madjid, 1984/2019). Wacana bangsa tak dapat dipisahkan dari negara.

BACA JUGA :  Bawaslu Maluku Kabulkan Gugatan HEBAT

Paling kurang, sejak 17 Agustus 1945, 74 tahun lalu Indonesia telah menjadi negara-bangsa, yang menautkan bangsa pada negara dan atau sebaliknya. Secara sederhana dapat dikatakan ada banyak bangsa seperti Aceh, Jawa, Maluku, Papua, dan seterusnya, tapi bangsa-bangsa itu bersepakat menjadi sebuah negara merdeka yakni Indonesia. Tentu penjelasan saya ini sangat sederhana. Sebab perdebatan historis dan teoritisnya tentu sangat rumit dan kompleks. Tapi poin saya, bahwa membicarakan kebangsaan tidak dapat dipisahkan dari isu negara atau kenegaraan bahkan kewarganegaraan (citizenship).

Ketiga, kehadiran Prof. Sumanto Al-Qurtuby. Nama ini makin dikenal di jagat maya maupun nyata. Ia bisa dicandra dari berbagai sisi. Ia seorang warga Nahdatul Ulama (NU), antropolog, ilmuan agama, pengajar pada King Faht Arab Saudi, penulis yang sangat produktif,  pegiat peradaban Nusantara, dan sebagainya. Tapi secara personal saya melihatnya sebagai seorang Muslim yang pernah belajar di perguruan tinggi Kristen di Salatiga (UKSW), bergaul rapat dengan kawan-kawan Kristen dari Ambon yang kini jadi pendeta, di antaranya Pendeta Daniel Wattimanela dan Pendeta Elifas Maspaitella.

Ia juga melakukan riset di Ambon untuk disertasinya di Boston University dibawah superfisor Prof Robert Heffner, dan ia juga murid dan sahabat dari Prof John Titaley, mantan rektor UKSW, yang kini menjadi ketua Program Doktor Agama dan Kebangsaan UKIM ini. Bung Manto akan hadir pada acara Launching program doktor tersebut, yang dibingkai dalam Seminar Nasional tanggal 7-8 Agustus 2019 di kampus UKIM Ambon. Kehadiran Bung Manto adalah kehadiran persahabatan, gagasan dan debat (teoritik) dalam bingkai agama dan kebangsaan.

Keempat, kehadiran John dan John. Yang saya maksud adalah Prof John Titaley dan Dr John Ruhulessin. Kedua John ini sama-sama merupakan orang Maluku, sama-sama belajar dan mengajar di UKSW Salatiga dan sama-sama menebarkan gagasan-gagasan yang provokatif dan progresif. Prof John Titaley, adalah seorang teolog Indonesia yang mendalami studi inter-area, kitab suci dan ideologi Pancasila. Studinya di Amerika dan pengalaman panjang mengelola dunia akademik merupakan harta yang sangat berharga. Bersyukur, ia pulang ke tanah pusakanya, Maluku untuk membagi pengetahuan dan pengalaman serta jaringannya kepada publik di Maluku termasuk di Indonesia pada umumnya.

BACA JUGA :  BPJS Kesehatan Gandeng Ombudsman Bahas Komitmen Pelayanan FKRTL

Demikian pula Dr John Ruhulessin, selain pernah menjadi Ketua Sinode GPM dua periode, tetapi ia juga adalah ilmuan yang cakap dan tajam di bidangnya, sosiologi agama. Disertasinya tentang Etika Publik tentu masih tetap relevan dan perlu diperdalam dalam studi-studi lanjutan, serta gagasan-gagasannya yang original dan reflektif, tentu merupakan energi terbarukan yang membuat program doktoral ini makin dinamis dan seksi.  Tentu kedua John ini yang adalah bagian dari jajaran pengajar, merupakan tim yang bisa saling melengkapi dalam memboboti konten program ini, dalam basis pengetahuannya (body of knowledge) maupun perangkat-perangkat analitiknya (tools of analysis).

 

Kelima, aktualitas dan prosepek program ini. Di tengah krisis yang dialami bangsa-bangsa, termasuk bangsa Indonesia saat ini, di tengah wajah agama-agama masa kini yang berwarna-warni, serta perubahan-perubahan mondial yang tak terelakan, maka kita membutuhkan acuan dan sandaran-sandaran berpikir dan refleksi yang fundamental dan komprehensif. Kondisi ini tidak bisa ditangani secara reaktif, politis dan insidental. Ia membutuhkan studi, analisis dan kajian yang mendalam dan utuh. Di sinilah kekuatan pemikiran, debat teoritik, konsep, gagasan dan logika perlu terus dihidupkan.

Dunia perguruan tinggi dipanggil untuk memberi kontribusi bagi problem keagamaan dan kebangsaan serta kebangsaan. Sebab seperti kata Einstein, apalah arti agama jika ia tidak bisa menjawab masalah peradaban di ziarah sejarahnya. Kita menaruh simpati dan harapan kepada semua energi bangsa ini, teristimewa pada program doktor Agama dan Kebangsaan, fajar baru yang terbit di ufuk timur Nusantara. Merdeka ! (RR).

No More Posts Available.

No more pages to load.