TERASMALUKU.COM,-AMBON- Manager Advokasi Sekretariat National Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA), Ervyn Kaffah menyampaikan salut atas pernyataan “perang” dari Gubernur Maluku Murad Ismail kepada Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Menurut Ervyn, kepala daerah mesti kritis terhadap kebijakan pemerintah pusat (Pempus) yang bisa berdampak luas pada nasib daerah.
Meski demikian, ia menilai hanya sebagian saja dari statement Gubernur Murad yang mudah ditindaklanjuti. Sebagian besar memerlukan perubahan UU dan regulasi teknis. Menurutnya langkah koordinasi dan diskusi dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dipandang lebih masuk akal untuk menemukan solusi.
BACA JUGA : Kebijakan Menteri Susi Merugikan Maluku, Gubernur Nyatakan “Perang”
Dalam siaran pers yang diterima Terasmaluku.com, Rabu (4/9/2019) Ervyn mengatakan skema penerimaan negara berkaitan dengan wewenang pengelolaan wilayah laut dimana untuk jarak >12 mil adalah wewenang Pempus, sementara daerah memiliki kewenangan <12 mil (dibagi antara Provinsi dan kab/kota), dan kedua, wewenang perijinan berkaitan dengan Gross tonase (GT) kapal penangkap maupun pengangkut ikan. Kedua hal tersebut diatur oleh UU nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
“Sehingga jika ingin ada perubahan skema kewenangan maka harus dilakukan revisi pembagian wewenang tersebut dalam UU. Dan hal itu cukup sulit dilakukan. Butuh effort (upaya) bersama dari sejumlah Pemda untuk melakukannya,” kata Ervyn.
Ervyn menjelaskan bahwa pendapatan negara dari sektor sumber daya alam (SDA) meliputi dua sumber. Yakni pajak dan pendapatan negara bukan pajak (PNBP). Dari penerimaan tersebut, daerah-daerah kemudian mendapatkan transfer dari pusat berupa DBH Pajak dan DBH SDA. Hal tersebut juga berlaku di sektor perikanan, dimana daerah mendapat DBH Pajak (PPh Badan dan PPh perseorangan) atas usaha di sektor perikanan, dan DBH SDA sektor perikanan.
BACA JUGA : Menteri Susi Ternyata Tidak Tepati Janji Kucurkan Rp 4 Triliun Untuk Maluku
Ervyn menegaskan tidak ada hubungannya antara kebijakan moratorium kapal asing dengan penerimaan negara. Bahkan, jika kebijakan moratorium itu efektif, jumlah penerimaan negara baik pajak maupun non pajak dipastikan meningkat. Kaitannya dengan pendapatan daerah, jelasnya, untuk DBH Pajak akan tergantung pada dimana perusahaan tersebut terdaftar.
Untuk PNBP, jika illegal fishing oleh kapal asing tak lagi berlangsung, maka kapal dalam negeri lah yang beroperasi, dan bisa meningkatkan PNBP, dan sebagai konsekwensinya bagian DBH perikanan untuk daerah akan meningkat pula.
Namun berbeda dengan sektor SDA lainnya, DBH sektor perikanan menurut UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah dibagi masing-masing 20% dari seluruh penerimaan PNBP perikanan untuk Pemerintah Pusat dan 80% untuk seluruh pemerintah kab/kota di provinsi bersangkutan. Sementara itu, Pemprov memang tidak kebagian jatah.
Jadi, kata Ervyn, menurut UU, Pemprov Maluku memang tidak dapat bagian DBH SDA perikanan. Namun seluruh Pemkab/kota di provinsi Maluku mendapat bagian. Ia menyebut bahwa untuk tahun 2019, secara keseluruhan Pemda di Maluku mendapat alokasi total DBH Perikanan sebesar Rp 10 miliar lebih, dengan rincian tiap pemkab memperoleh Rp 1 miliar kurang sedikit (Rp 983 juta). “Jadi, mungkin saja Pak Gubernur dibisiki informasi yang salah soal ini dari bawahannya,” katanya.
Ia menyarankan agar Gubernur Maluku berkoordinasi positif dan mendiskusikan dengan Menteri Susi mengenai upaya memperbesar jumlah tenaga kerja yang diserap oleh kapal perikanan di perairan sekitar Maluku, dan berharap pihak kementerian juga dapat memberikan solusi, karena apa yang dikeluhkan itu cukup logis bagi kepentingan daerah mensejahterakan masyarakatnya. “Jadi tak harus ribut-ribut,” tutur Ervyn.
Di luar itu, Ervyn mengatakan bahwa sesuai pembagian kewenangan yang diatur UU dan regulasi KKP, Pemprov dapat mengoptimalkan pendapatan asli daerah dari sektor perikanan dengan mereview kembali pengaturan retribusi daerah, antara lain: ijin usaha perikanan, ijin usaha penangkapan ikan, izin pengadaan kapal penangkap dan pengangkut ikan <30 GT untuk kapal dengan tenaga kerja lokal, dan ijin penangkapan ikan di wilayah laut <12 mil. Meski demikian ia mengatakan belum punya gambaran apakah hal tersebut sudah maksimal dikerjakan oleh Pemprov. (ADI)