Mengapa hoax sangat cepat menyebar? Atau mengapa orang poti (=terburu-buru) meneruskan kabar hoax? Jawabannya bervariasi, banyak, obyektif menurut pertimbangan tertentu, atau subyektif sesuai pengalaman yang (secara berbeda) dialami.
Berkaitan dengan bencana gempa Ambon-Lease-Seram, hoax sangat cepat menyebar. Ternyata bukan itu saja, melainkan hoax sangat cepat dipercayai sehingga respons atasnya pun cepat laksana kilat “sambar pohon kenari”.
1. Kita (masyarakat Maluku) secara literatif dibentuk oleh budaya “mendengar”. Dalam struktur adat, marinyo diserahi tugas menyampaikan berita (=titah) dari raja/saniri negeri kepada semua masyarakat. Ia akan berjalan ke titik-titik strategis di negerinya dan “bataria titah” (menyampaikan berita dengan cara berteriak). Struktur literatif itu sebenarnya membentuk kemampuan menyimak yang mendalam pada masyarakat Maluku. Sebab biasanya jika suara marinyo sudah terdengar, seisi rumah harus diam, tanpa suara, pasang telinga dan mendengar sambil langsung menyimak informasi itu, lalu saling berbagi informasi, bahkan sampai esok harinya. Dalam budaya literatif itu, si pembawa berita terpercaya. Pemilik pesan pun terpercaya. Jadi isi berita direspon secara positif, misalnya untuk masohi/kerja bersama di negeri.
Lalu mengapa kita, yang secara kultural terbentuk dengan kemampuan menyimak yang tinggi itu sekarang mengalami kedangkalan menyimak? Menghindari hal itu maka:
a. Teliti dengan benar siapa yang menyampaikan berita. Dalam zaman milenials ini, ada kebiasaan pengguna media sosial yaitu “yang penting posting, bukan posting yang penting”. Alhasil, begitu kita menerima berita, “saringan menyimak” kita sudah bocor, sehingga berita yang masuk “lolos tapisang” (tidak ditapis secara baik).
b. Semua orang panik. Ini benar. Tetapi tidak berarti kita meneruskan kepanikan kita kepada orang lain sambil membenarkan hoax yang kita terima. Semua orang ingin menyelamatkan diri. Ini positif tetapi jangan “poti” meneruskan hoax sebab bisa saja dampaknya vatal bagi penerima hoax yang kita kirim.
2. Penanggulangan kedaruratan sebagai SOP Penanggulangan Bencana tidak harus lebih integral. Walau bantuan sembako itu vital dan sangat penting, namun pihak berwewenang (aparatur pemerintahan) harus membentengi masyarakat setiap hari dengan informasi yang obyektif tentang kebencanaan. Sudah lebih dari 1000 kali gempa terjadi sejak 26 September 2019 sampai hari ini, selain informasi updating dari aplikasi BMKG yang dapat dipercaya, tetapi masyarakat memerlukan updating resmi setiap hari juga dari kehumasan atau Bimmas Pemerintah. Sebab ternyata jumlah berita hoax yang lebih banyak diteruskan di media sosial ketimbang penjelasan dan edukasi dari orang-orang dan lembaga yang berkompeten.
Selain aparatur pemerintah, semua jaringan organisasi soasial, kemanusiaan dan keagamaan dan kelompok-kelompok kreatif yang saat ini sedang membantu penanggulangan pengungsi harus memperbanyak publikasi kegiatannya. Saya paham ada mekanisme pertanggungjawaban sesuai SOP masing-masing lembaga, tetapi maksud saya dengan publikasi aktifitas penanggulangan bencana maka ada komparasi yang positif untuk melawan hoax. Sebab hoax lebih banyak menyerang mereka yang berada di lokasi terdampak dengan tidak ada kerusakan (areal kota Ambon).
Jika mereka melihat aktifitas trauma healing yang dijalankan di daerah terdampak dengan rusak berat, mungkin saja itu bisa menjadi alat penyaring hoax. Di atas semuanya, BERDOALAH! Hormat saya, Pdt. Elifas Tomix Maspaitella