Empat Catatan Jelang Sidang ke-41 MPLS GPM Oleh : Rudy Rahabeat, Pendeta GPM

oleh
oleh
Rudy Rahabeat, Pendeta GPM. FOTO : DOK. TERASMALUKU.COM

HARUKU-Sameth di Pulau Haruku. Mendung itu masih menggelayut. Rumah ibadah yang berdiri megah untuk sementara tak bisa digunakan. Gempa telah menggoyahkan pilarnya. Padahal belum berapa lama gedung itu diresmikan. Sebagian masyarakat mengungsi ke gunung. Tapi semangat mereka tetap membahana untuk menyambut iven tahunan gereja, Sidang Majelis Pekerja Lengkap Sinode (MPLS) Gereja Protestan Maluku (GPM). Esok, Minggu, (20/10/2019) di negeri kelahiran pahlawan nasional Mr Johanes Latuharhary itu, akan dilaksanakan persidangan yang dihadiri oleh wakil-wakil dari Klasis-Klasis di Maluku dan Maluku Utara. Berikut empat catatan kecil menyongsong iven teologis-historis itu.

Pertama, Haruku-Sameth dan Lease sebagai ikon sejarah. Tak terbantahkan lagi bahwa dari Lease lahir para pemimpin besar yang mewarnai jagat sejarah lokal maupun nasional. Tokoh-tokoh seperti Thomas Matulessy, Said Perintah, Anthony Rhebok, Philip Latuhamina, Martha Christina Tiahahu adalah beberapa dari yang utama melawan penjajah Belanda. Lalu A.J Patty tokoh nasionalis revolusioner asal negeri Ullath di pulau Saparua.

Di pulau Haruku sendiri nama Mr Johanes Latuharhary tak terbantahkan. Patungnya berdiri kokoh di negeri tersebut. Walikota Ambon saat ini, Richard Louhenapessy berasal dari pulau Haruku. Dengan menyebut nama-nama ini tidak hendak dihidupakan romantika masa lalu semata, melainkan hendak melecut semangat dan daya juang putra-putri Lease khususnya di Pulau Haruku, yang saat ini terdampak gempa bumi. Bahwa gempa dan goncangan apapun, mesti dihadapi dengan jiwa pemberani, manusia tangguh dan pejuang militan yang menerobos rintangan.

Kedua, rajutan solidaritas. Seorang sahabat menuturkan, beberapa hari lalu, speedboat dari negeri-negeri di pulau Saparua dan Nusa Laut merapat di pantai Haruku. Mereka datang dengan semangat saling membantu dan menopang. Berbagi beban dan harapan. Mereka mengerjakan apa saja yang bisa dikerjakan untuk menopang basudara di Haruku-Sameth menyambut iven gerejawi. Ada solidaritas yang membara di tiga pulau di Lease itu. “Bulu badan tabadiri melihat kehadiran mereka,” ungkap teman itu.

Saya lalu membayangkan kala dulu, para leluhur di Lease saling bahu membahu, berjuang mengusir penjajah. Api di Gunung Saniri menyala dan membakar semangat untuk mengenyahkan sang kolonialis. Kini, api Injil telah dan terus menyala membakar semangat orang-orang Lease melawan horror gempa bumi. Membangun harapan di tengah bencana. Kekuatan solidaritas Lease mesti diarahkan untuk melakukan hal-hal positif dan konstruktif.

Ketiga, belajar bersama gempa. Siapa yang menyangka gempa ini akan tiba. Tapi itu sudah nyata. Berlama-lama dalam rasa takut dan cemas tentu tidak bijaksana. Langkah yang tepat adalah mengambil hikmah dan belajar untuk terus berbenah. Menolong para pengungsi, tanggap darurat, trauma healing hingga menumbuhkan ketangguhan (resiliensi) masyarakat merupakan hal-hal yang penting yang harus dikerjakan bersama. Itu bukan hanya tugas pemerintah. Itu tugas kita semua, termasuk agama-agama, termasuk gereja-gereja.

Momentum ini perlu dikelola secara optimal. Supaya luka dan trauma tidak makin menganga. Ke depan gedung-gedung ibadah mesti dikonstruksi tahan gempa, masyarakat makin tenang dan trampil menyikapi gempa. Apalagi ilmu pngetahuan telah memberi tahu bahwa pulau-pulau kita rentan gempa dan bencana. Olehnya, perlu kolaborasi bersama. Membangun budaya tanggap bencana. Ini tentu bukan pekerjaan mudah. Sebuah proses konstruksi yang butuh waktu dan berkelanjutan. Serba melintas. Lintas pulau, lintas instansi, lintas ilmu dan lintas agama. Holistik.

Keempat, gempa perubahan. Haruku, Lease dan Maluku bahkan dunia tak terelakan dari perubahan mondial. Revolusi industri 4.0, era disrupsi dan era digital merupakan gempa perubahan yang menggoncang peradaban. Profesor Yuval Noah Harari sejarawan dari Universitas Ibrani Yerusalem menggambarkan gelombang-gelombang perubahan itu pada beberapa bukunya menjadi best-seller di antaranya, Homo Sapiens, Homo Deus dan 21 Lesson for the 21 Century. Intinya, Harari hendak mengingatkan dunia bahwa kita sedang memasuki sebuah guncangan besar. Atau dalam bahasa ilmuan Hungaria-Amerika, Karl Polanyi, transformasi besar (great transformation).

Tesis-tesis Harari tentu masih bisa diperdebatkan (debatable) tapi satu hal yang penting adalah bahwa perubahan itu sedang terus terjadi, merasuki seluruh dimensi hidup manusia dan dunia. Orang-orang Haruku di tempat pengungsian dapat terhubung dengan saudara-saudara mereka di negeri Belanda ketika media komunikasi berbasis internet terbuka. Berbagai kisah pilu di tempat pengungsian dapat segera dibaca di seluruh dunia ketika hal itu dihadirkan di fesbuk atau media online. Demikian pula, mimpi-mimpi anak-anak di Haruku tidak lagi soal cengkeh dan pala yang berbuah tetapi bagaimana suatu waktu mereka bisa tiba di negeri Belanda, Perancis, Kanada, Amerika, Kutub Utara bahkan di bulan. Semua ini menggambarkan dinamika perubahan yang terus terjadi, dan tak dapat ditahan.

Demikianlah empat catatan kecil yang dapat saya sajikan. Terlalu kecil untuk meringkas persoalan besar yang sedang dihadapi masyarakat terdampak gempa, dalam arti fisik maupun sosial. Tapi selalu berlaku rumus lama “barangsiapa setia pada perkara-perkara kecil, ia akan cakap menyelesaikan masalah-masalah besar”. Selamat bersidang di Haruku-Sameth. Selamat berbagi harapan dan kasih. Selalu ada pagi, setelah malam pergi berlalu. Tuhan memberkati.

No More Posts Available.

No more pages to load.