JUDUL catatan singkat ini saya pilih sembari mengenang teolog feminis Indonesia Marriane Kattopo dengan salah satu bukunya yang fenomenal “Compassionate and Free” (Tersentuh dan Bebas). Tak ada jalan lain kita harus melangkah jika hendak tiba di tujuan. Dan salah satu tujuan itu adalah pembebasan dari aneka belenggu.
Saya bertemu dengan Peruati (Perempuan Berpendidikan Teologi di Indoensia) pertama kali tahun 2014, ketika saya menjadi partisipan dalam kegiatan Membaca Alkitab dengan Mata Baru yang diselenggarakan oleh BPD Peruati Maluku di Jemaat GPM Ema pulau Ambon. Tidak mungkin saya lupa, Mbak Anna Marsiana bersama dengan ina-ina (perempuan-perempuan) yang luar biasa dari Maluku mengajak saya dan semua partisipan masuk lebih dalam pada tiap teks Alkitab yang kami baca dan merasakan dengan sungguh-sungguh tiap kata dan kalimat yang tertulis pada teks suci itu. Satu teks yang membuat saya merasa seolah-seolah saya sedang berada di situ ketika membaca kisah Tamar, menantu Yehuda dalam Perjanjian Lama. Saya merasakan tokoh perempuan Tamar itu seperti bergerak dan melompat dari satu pyramid ke pyramid yang lainnya agar dia tetap survive sebagai perempuan dan sebagai manusia. Dan saya melihat saya dan perempuan lainnya ada di situ. Setiap hari kita seperti sedang melompat dari satu pyramid ke pyramid lainnya supaya kita bisa bertahan hidup dan bisa meneruskan kehidupan dengan baik.
Lalu saya berjumpa dengan realitas ketidakadilan yang dialami oleh perempuan dan anak perempuan dan alam ini. Suatu hari saya di datangi oleh seorang ibu. Pagi-pagi benar dia datang sambil menangis. Dia menangis di meja makan di rumah pastori. Saya bertanya ada apa?. Dia bilang saya cuma mau menangis. Saya diam dan dia terus menangis. Saya bertanya lagi, kenapa menangis. Dia diam sejenak memandang ke lantai dapur pastori. Katanya, “saya sakit. Sudah bertahun-tahun saya sakit. Dan tidak ada seorang yang tahu”. Saya tanya “sakit apa”? Dia memegang dadanya dengan gemetar. Lalu dia melanjutkan, “hati saya sakit”. Lalu dia sambil tertunduk mulai bercerita. “Sudah lama saya disuruh melacur oleh suami saya. Suami saya ancam saya jika saya tidak bawa pulang uang. Kalau saya tidak mau dia meneriaki saya lonte. Pagi ini dia marah saya dan maki saya. Karena semalam saya tidak mau me-lonte. Lalu saya datang ke sini. Saya cuma mau menangis di sini”. Cerita selanjutnya ada pada catatan pastoral saya (rahasia). Siapa yang mau menghapus air matanya? Bagaimana caranya menyembuhkan sakit hatinya yang sudah menahun?
Cerita ini hanya sepotong kecil dari sekian realitas ketidakadilan menahun yang dialami perempuan dan orang-orang yang seakan tidak punya kuasa atas diri mereka sendiri. Dan kita harus punya bekal dan energi yang cukup untuk menghadapinya. Bekal itu bisa pengetahuan dan ketrampilan, karena bicara saja tidak cukup.
Keterlibatan di Peruati menolong saya melihat realitas ini dengan lebih baik. Peruati seperti sebuah jendela yang terbuka, untuk melihat keluar lebih jauh dari titik di mana kita berada dan seperti sebuah pintu yang menghubungkan titik realitas kita dengan orang lain, dengan perempuan lain, dengan kemanusiaan yang sesungguhnya. Dan yang terus menerus membuat gelisah atas realitas yang dilihat dan dijumpai itu. Saya senang belajar dari perempuan-perempuan hebat dari seluruh Indonesia, dari beragam latar belakang bergereja. Mereka sangat dynamic dan seperti selalu mau terhubung satu dengan yang lain.
Saya membaca dari Group WA Peruati, saat yang seorang sedang bergumul dengan satu persoalan, mereka saling mengirimkan energi positif untuk saling menguatkan. Betapa Indanhnya.
Sejak tanggal 26 Oktober – 1 November 2019, Peruati akan berkongres di Jemaat Elim Naibonat, Kupang, Nusa Tenggara Timur dengan tema : Melangkah bersama menuju pembebasan dan transformasi, dan sub tema : Menjadikan nilia-nilai feminis kritis sebagai gaya hidup pribadi, berorganisasi, bergereja, berbangsa dan bernegara“. Tema dan sub tema ini menjadi satu tantangan tersendiri. Karena sesungguhnya perubahan/transfromasi di mulai dari diri sendiri. Sudah banyak orang yang bicara tentang ini dan itu. Ada banyak kajian dan hasil studi yang mendokumentasikan pikiran-pikiran yang baik, namun sayangnya dokumen-dokumen itu hidup sebagai tulisan-tulisan yang mati.
Selain memilih kepengurusan yang baru, kiranya melalui kongres ini kita tidak jenuh untuk bebicara, bekerja dan bergumul terhadap persoalan- persoalan kekerasan dalam rumah tangga, perbudakan seks, buruh migran, kemiskinan, penyerobotan lahan pertanian, in-absentia perempuan dalam dunia kerja dan di Parlemen, eksploitasi lingkungan dan sebagainya. Kita butuh banyak perempuan termasuk pada level kepemimpinan di gereja maupun di bangsa ini, untuk bicara dan bekerja mewujudkan keadilan dan perdamaian bagi semua. Kita butuh partner diskusi dan kerja yang sungguh-sungguh menyatakan keberpihakannya pada keadilan dan perdamaian. Karena kita tidak bisa sendiri. Seperti sebuah African Proverbs yang menginspirasi : If you want to go fast, go alone. If you want to go far, go together”.
Dan sebagai bagian dari pergumulan bersama dengan gereja-gereja di dunia, maka sekiranya pada hari kamis tanggal 31 Oktober 2019, jangan lupa menggunakan busana hitam sebagai tanda kita berdiri bersama dan merangkul para korban kekerasan yang sudah sakit menahun dalam derita mereka. Thursday in Black. Towards a world without rape and violence.
Sekalipun saya tidak mengikuti kongres ini, namun saya dapat merasakan kegembiraan dan spirit yang dihidupi oleh Peruati. Saya mengucapkan selamat melayani kepada Ibu Pendeta Merry Kolimon dan rekan-rekan pada kepemimpinan Sinode GMIT yang baru saja terpilih. Saya sebenarnya ingin sekali mendengar kajian tema Kongres Tema dan Sub Tema kongres yang akan disampaikan olehnya.
Dari Bossey-Swiss, saya mengirimkan energi positif untuk panitia, peserta dan BPN Peruati. Semoga Allah sumber kehidupan merahmati.”Tajam Menatap, Peka Merasakan, Berani Bertindak” Salam hangat.
Ruth Saiya, Pendeta Gereja Protestan Maluku, sedang mengikuti Study Oikumene di Bossey Institute Swiss.