MULAI esok, 8 sampai 13 November 2019 akan berlangsung Sidang Raya ke-17 Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) di Sumba Nusa Tenggara Timur. Ada beragam catatan dan informasi yang menyebar di dunia maya melalui media sosial. Ada beragam sudut pandang dan harapan terkait iven lima tahunan yang akan memilih pengurus yang baru untuk lima tahun ke depan. Berikut ini empat catatan ringan yang disertakan, semoga tidak menambah daftar masalah dan pergumulan gereja-gereja dalam panggilannya di bumi Indonesia yang bhineka tunggal ika ini.
Pertama, torehan sejarah pada figur perempuan. Tak dapat dinafikan bahwa sejak PGI berdiri 25 Mei 1950, baru pernah terjadi dalam sejarah, terpilih Ketua Umum PGI periode 2014-2019 seorang perempuan, Pdt Dr Henriette Lebang-Hutabarat. Ia menjadi pucuk pimpinan PGI. Ia hadir pada momen-momen strategis bergereja dan berbangsa. Duduk dan berdiri setara dengan kaum laki-laki. Ini bukan sebuah kebetulan belaka. Walau ini bukan otomatis menghilangkan stigma dan posisi terpinggir kaum perempuan di jagad ini, tapi ini sebuah fakta sejarah yang mesti memberi optimisme tentang peran dan kontribusi perempuan dalam kepemimpinan gereja-gereja di aras nasional, termasuk di ruang publik.
Saya tentu tidak berkompeten menilai prestasi kepemimpinan perempuan ini, selain ini akan dibahas pada forum Sidang Raya kali ini, tetapi saya hanya hendak menegaskan bahwa keberadaan perempuan dalam hidup menggereja patut diperhatikan dengan serius. Hal ini terkait pula dengan fakta bahwa posisi dan keberadaan perempuan hingga saat ini masih cukup terpuruk dan membutuhkan upaya ekstra untuk membuat perempuan makin setara dengan laki-laki di ruang keagamaan maupun ruang publik. Pertemuan Perempuan jelang Sidang Raya (PPrG) tentu telah mengidentifikasi dan mengagendakan apa saja yang mesti dilakukan gereja agar perjuangan untuk keadilan gender dan kemitraan laki-laki dan perempuan makin tertingkatkan dan fungsional di gereja maupun masyarakat, bangsa dan dunia.
Kedua, teolog dari Timur. Iven Sidang Raya PGI yang berlangsung di Sumba tak terpisahkan dari sosok Pdt Dr Andreas Anangguru Yewangoe, seorang putra Sumba yang pernah menjadi Ketua Umum PGI dua periode. Pdt Yewangoe saat ini merupakan ketua Badan Pertimbangan PGI dan tetap menjadi tenaga pengajar serta anggota Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Ijinkan saya mengapresiasi sosok Pdt Yewangoe sebagai seorang teolog dari Timur yang memiliki peran dan kontribusi bagi ilmu teologi, bagi gereja-gereja dan masyarakat, bangsa dan negara. Ia memberi sebuah pengertian (begrif) tentang kekuatan orang-orang Timur yang memberi warna dan arah kehidupan bersama sebagai gereja-gereja di Indonesia dan bangsa Indonesia.
Dari tanah Sumba lahir seorang pemikir dan pemimpin yang visioner dan konsisten dalam merawat oikumene dan paham kebangsaan. Pilihan lokasi Sidang Raya di tanah Sumba saya maknai sebagai sebentuk apresiasi dan terima kasih kepada seorang putra Sumba yang telah memberi hidup dan karyanya bagi kepentingan kemanusiaan dan kebangsaan. Tak berlebihan jika pada momen sidang raya ini diberi sebuah “award” kepada pria 74 tahun, anak seorang guru (Anangguru) kelahiran Mamboru Sumba Barat ini.
Ketiga, kepercayaan Marapu. Bicara Sumba tak bisa dipisahkan dari Marapu. Marapu adalah sebuah agama atau kepercayaan lokal yang dianut oleh masyarakat di pulau Sumba. Lebih dari setengah penduduk Sumba memeluk agama ini. Agama ini memiliki kepercayaan pemujaan kepada nenek moyang dan leluhur. Pemeluk agama Marapu percaya bahwa kehidupan di dunia hanya sementara dan bahwa setelah akhir zaman mereka akan hidup kekal di dunia roh, yaitu surga Marapu yang dikenal sebagai Prai Marapu. Demikian keterangan Wikipedia. Marapu merupakan bagian dari kekayaan Indonesia dalam hal kepercayaan dan tradisi. Seperti disitir oleh Prof Al Makin salah satu problem terkait aliran kepercayaan atau agama suku ini adalah problem kesetaraan dengan agama-agama lain.
Pertanyaan spesifik di sini adalah, bagaimana pandangan dan sikap agama Kristen terhadap eksistensi Marapu tersebut. Hal ini terkait dengan paradigma misi gereja, penginjilan dan problem proseletisme (pengalihan agama). Bagaimana gereja-gereja memberi kontribusi terhadap eksistensi Marapu, Kaharingan, Sunda Wiwitan, Parmalim dan agama-agama suku pada umumnya di Indonesia tentu merupakan salah satu agenda yang patut diseriusi, menindakalanjuti Seminar Agama-Agama (SAA) PGI 2019 di tepi danau Toba bertemakan Agama dan Masyarakat Adat”.
Keempat, tenun kebangsaan. Sumba terkenal antara lain dengan kain tenunnya. Sebagaimana kain tenun yang merupakan rajutan benang aneka warna, maka salah satu isu krusial pada momen Sidang Raya PGI terkait erat dengan masa depan kebangsaan Indonesia yang bhineka tunggal ika. Gereja-gereja harus tegas dan jelas memosisikan diri dihadapan mimbar kebangsaan. Sejak berdiri 1950 PGI bukan saja memiliki visi misi oikumenis melainkan juga kebangsaan. Oleh sebab itu, dalam konteks bangsa yang kian dinamis dan kompleks ini, gereja-gereja harus berani dan bijak menyatakan suara dan tindakan profetiknya. Gereja-gereja terus membarui teologi dan paradigma misinya di tengah konteks kebangsaan dan perubahan mondial. Gereja-gereja kiranya terus mengembangkan teologi dan eklesiologi nasional yang relevan bukan saja bagi gereja-gereja tetapi juga bagi masyarakat, bangsa dan kemanusiaan serta keutuhan ciptaan.
Demikianlah empat catatan kecil yang beta sertakan dalam mensyukuri pelaksanaan iven gerejawi Sidang Raya ke-17 PGI di pulau Sumba Nusa Tenggara Timur. Selamat Bersidang. Tuhan memberkati kita semua (RR).