MALAM ini, Jumat 29 November, Kota Ambon masih ramai. Dari ketinggian Puncak Batu Merah, di Hotel Santika Premiere kami bercakap-cakap dengan salah seorang narasumber Konperensi Musik Pasifik yang berlangsung dua hari di Kota Ambon (28-29 November 2019). Dikelilingi para mantan muridnya di Seminari Langgur Tual, percakapan berlangsung santai diselingi tawa. 30 tahun yang lalu, itu datang ke ibukota Maluku Tenggara itu sebagai seorang frater dan guru eksakta.
Kini ia menemukan para muridnya sudah menjadi pastor dan dosen di antaranya Pastor Cornelis Seralarat, Pastor Andy Sanyakit, dan Joseph “Otje” Ufie, dosen di FISIP Unpatti dan IAIN Ambon. Saya sendiri merupakan mantan mahasiswanya di program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Turut bersama dalam diskusi meja bundar ini Prof Johan, guru besar ISI Yogyakarta, yang juga merupakan narasumber pada konferensi Musik Pasifik yang digelar di kota Ambon, yang belum lama ini oleh UNESCO ditetapkan sebagai City of Music. Berikut tiga catatan ringkas atas percakapan yang berlangsung kurang lebih tiga jam bersama doktor sejarah dari Pontificia Universita Gregoriana Roma dan penulis beberapa buku, termasuk novel berlatar Maluku “Hilangnya Halaman Rumahku” (2013).
Pertama, Ambon sebagai melting pot musik. Jika menelusuri sejarah Ambon maka kota ini merupakan tempat pembauran (melting pot) berbagai bangsa dan suku bangsa. Selain kehadiran bangsa-bangsa Eropa seperti Portugis, Spanyol, Belanda dan Inggris, Ambon juga merupakan bandar perdagangan yang disinggahi para pedagang dari Arab, Tionghoa, Persia, termasuk Nusantara seperti Jawa, Padang, Bugis, Makassar dan sebagainya.
Fakta sejarah ini turut membentuk struktur sosial budaya termasuk musik di Ambon dan Maluku pada umumnya. Oleh sebab itu, selain musik tradisi atau “asli” Maluku, maka pengaruh berbagai bangsa lainnya merupakan realitas yang saling memerkaya eksistensi budaya, termasuk musik di Ambon/Maluku. Tinggal soal bagaimana musik-musik tersebut dieksplorasi, dikembangkan dan dirawat dengan baik sehingga tetap eksis dan bermanfaat bagi masyarakat Ambon dan publik yang luas.
Kedua, perlunya terus menopang upaya-upaya penataan infrastruktur, komunitas dan industri musik serta pengembangan musik yang holistik. Di era global saat ini, pengembangan industri musik yang berkelindan dengan pariwisata dan prospek ekonomi merupakan hal yang tak terelakan. Walau begitu, pengembangan komunitas musik perlu terus ditingkatkan. Masyarakat mesti menjadi pelaku musik dan musik tetap eksis di tengah-tengah masyarakat.
Di samping itu, selain aspek performatif musik, tapi pendidikan musik dan kajian-kajian lintas disiplin perlu terus dioptimalkan. Dalam kaitan ini para ilmuan sosial seperti sosiolog, sejarawan, antropolog bahkan filsuf mesti dapat berkontribusi dan berkolaborasi untuk melakukan riset dan kajian yang komperhensif sehingga pada tingkat gagasan dan konsep city of music itu benar-benar memiliki pijakan epistemologik, historik, sosiologis, antropologis dan seterusnya. Sebagai contoh, gagasan tentang “Mith, Magic and Music” merupakan tiga hal penting dalam membicarakan musik secara utuh. Musik bukan perkara teknis dan performa semata. Musik itu memiliki episteme, punya roh dan konteks sosial budayanya. Olehnya perlu elaborasi yang holistik dan fundamental.
Ketiga, pengembangan musik Pasifik. Ada yang bertanya apa yang khas dan beda antara musik Pasifik dan wilayah-wilayah kontinental misalnya? Berdasarkan pengalaman dan pengamatan selama studi di Italia, ia melihat adanya perbedaan antara musik Barat dengan di luarnya. Filsafat dan cara berpikir Barat menaruh jarak tegas alam dan rasionalitas, demikian pula dalam soal musik. Di sisi lain, masyarakat di Pasifik melihat alam dan manusia dalam sebuah harmoni dan tak terpisahkan. Oleh sebab itu, irama lautan teduh, musik yang berciri pulau-pulau kecil merupakan kekhasan yang perlu dieksplorasi lebih jauh.
Selain itu, dalam rangka membangun kultur musik yang kuat, maka pendidikan musik merupakan hal yang penting. Sejalan dengan koleganya Prof Johan, ia menyarankan dibukanya sekolah menengah kejuruan di bidang musik. Dengan begitu, sejak dini sudah diajarkan hal-hal mendasar yang yang berkaitan dengan musik sehingga dapat terus dikembangkan. Ia melihat adanya ruang-ruang eksplorasi musik Pasifik yang perlu terus dikaji lebih meluas dan mendalam. “Ini butuh waktu, dan butuh kolaborasi semua pihak” ungkapnya.
Malam makin turun. Tak terasa sudah lebih tiga jam percakapan guru murid berlangsung dengan akrab. Esok pagi ia akan kembali ke Yogyakarta. Sembari mengapresiasi Walikota Ambon, Richard Louhenapessy yang mendukung penuh kebangkitan musik di Ambon, ia menyampaikan terima kasih kepada Ambon Music Office (AMO) serta panitia Konperensi Musik Pasifik di antaranya Ronny Loppies dan Rence Alfons yang telah mengundangnya bersama para narasumber lainnya untuk berkolaborasi dalam konferensi bersejarah ini.
Sayup terdengar di sebuah kafe yang bersebelahan dengan hotel tempatnya menginap senandung lagu “Kota Ambon, ibu negeri tanah Maluku”. Selamat kembali ke Yogyakarta romo. Ada suara gamelan dan gending, pun musisi jalanan terus beraksi di Malioboro dan seterusnya. Maturnuwun ! Tabea ! (Rudy Rahabeat).