Hari ini Facebook kembali mengingatkan saya melalui sebuah unggahan dua tahun silam, tentang salah satu desa transmigrasi di Maluku, yaitu Waihatu. Saya melupakan pandemi COVID-19 sejenak, dan kembali mengingat “sepetak Jawa” di Maluku. Tepat pada tanggal 14 April 2018, saya mengakhiri masa penelitian lapangan di Waihatu – kendati penelitian lapangan telah berakhir, namun saya tetap memantau isu-isu baru yang berkembang di sana. Penelitian yang dilakukan berfokus pada komunitas Waihatu, terkhususnya migran Jawa Islam. Tidak berlebihan apabila saya katakan bahwa migran Jawa Islam di Waihatu merupakan komunitas “tahan banting”, karena telah mengalami berbagai krisis sebagai orang asing di Maluku. Berbagai penolakan pada saat pertama kali tiba di Maluku sampai dengan stereotip kombatan Islam pasca konflik komunal 1999-2004, menjadi dasar pemberdayaan komunitas – imajinasi tentang kombatan agaknya tidak memiliki dasar yang kuat, karena migran Jawa Islam termasuk salah satu aktor yang turut menjaga stabilitas keamanan Kairatu Barat pada saat terjadi konflik komunal 1999 di Maluku.
Migran Jawa Islam di Waihatu tidak harus dicap sebagai pendatang di Maluku, tetapi harus dilihat sebagai masyarakat Maluku etnis Jawa. Migran Jawa Islam di Waihatu telah menempati Seram Barat sejak tahun 1973, dan mendirikan desa Waihatu pada tahun 1974. Penamaan Waihatu sendiri merupakan bukti nyata proses teritorialisasi kemalukuan dalam kebudayaan Jawa di kalangan migran Jawa Islam di Waihatu. Singkatnya, etimologi wai (air) dan hatu (batu) yang digunakan untuk menamai desa transmigrasi merupakan sebuah perwujudan teks ingatan bersama – migran Jawa Islam-Kristen dan masyarakat adat negri Hatusua dan Waisamu. Untuk itu, Waihatu sebagai teks ingatan tidak dapat dimaknai sebatas etimologi, namun juga sebagai akronim dari Waisamu dan Hatusua, serta secara teritorial (letaknya desa dekat kali Nala) dan filosofis (komitmen untuk mengubah nasib di tengah kerasnya kehidupan di Maluku).
Kendati migran Jawa Islam telah lama tinggal di Maluku, falsafah Jawa sebagaimana nrimo ing pandum, tepa salira, memayu hayuning bawana, seduluran salawase, maupun urip iku urup tidak hilang dari kehidupan mereka. Diakui sendiri oleh migran Jawa Islam generasi pertama bahwa, falsafah nrimo ing pandum justru mengalami transformasi makna di Maluku pada saat mereka dilanda krisis tahun 1974. Ketidaktersediaan lahan subur untuk digarap, subsidi dan logistik dari pemerintah yang mulai berkurang, mendorong migran Jawa Islam untuk harus mampu bertahan hidup. Nrimo ing pandum yang diartikan menerima tanpa penolakan mempengaruhi spiritualitas kolektif untuk tidak menolak pemberian sang Gusti (Tuhan), yaitu Waihatu, maka seyogyanya menjadi Maluku. Oleh sebabnya, migran Jawa Islam mempelajari dialek Melayu Ambon bahkan sampai cara “pukul sagu” maupun “cucu atap” sebagai sumber nafkah alternatif.
Maluku telah menjadi “rumah kedua” yang menginstegrasikan Islam kejawen dan santri dalam sebuah ruang sipil. Migran Jawa Islam yang datang dari latar belakang keislaman Jawa berbeda, kemudian membangun relasi sosial inklusif di Waihatu. Jika studi-studi tentang varian keislaman di Jawa menggambarkan sebuah hubungan disosiatif (lihat Geertz, Woodward, Ricklefs, Hefner), di Waihatu justru berbeda. Perjumpaan antaras kejawen, santri, dan pluralitas di Maluku membidani lahirnya varian Islam Jawa plural yang menekankan mistisme dalam corak teologi lokal. Salah satu contohnya adalah ritual sedekah bumi yang mistis, dianggap memiliki nilai teologis Islam sebagaimana ukhuwah basyariyah (kekerabatan antar manusia) melalui saling berbagai hasil panen, serta menandai sebuah penghormatan terhadap roh-roh leluhur Orang Maluku melalui pemberian sesaji.
Selain itu, solidaritas menjadi habitus migran Jawa Islam yang datang dari berbagai perdesaan di Jawa Tengah. Solidaritas keseharian sebagaimana berbagi hasil panen, gotong-royong, maupun saling mengunjungi rumah dilakukan secara intensif. Pada saat terjadi konflik komunal 1999, migran Jawa Islam berkontribusi untuk menjaga stabilitas keamanan di Kairatu Barat, tidak hanya keamanan relasi sosial, tetapi juga keamanan pangan dan membentuk market place di Waihatu. Tidak sampai di situ, migran Jawa Islam juga membentuk tim yang kemudian memperkenalkan jejaring sosial-multikultural dalam wajah ikrar bersama – bahkan mendahului pembentukan Tim 20 di Wayame. Migran Jawa Islam di Waihatu merupakan warga negara aktif (active citizenship) yang giat memelihara keberagaman di tengah konflik, bencana gempa bumi, bahkan pandemi COVID-19.
Panggung performansi keberagaman tidak hanya dimiliki oleh migran Jawa Islam generasi pertama dan kedua, tetapi juga generasi ketiga. Migran Jawa Islam generasi ketiga terlibat dalam kegiatan-kegiatan kekristenan GPM sebagaimana perayaan Natal, Paskah, maupun sidang jemaat. Dalam upaya meningkatkan status sosial, migran Jawa Islam generasi ketiga juga membentuk kesebelasan sepak bola Nala yang sebagian besar pemainnya adalah migran Jawa Islam. Kemudian memperkenalkan istilah Anak Jawa Asli Seram (AJAS) tidak hanya sebagai identitas, tetapi sebagai komunitas yang mengomersialkan Waihatu sebagai desa produktif – secara pertanian, industrial, dan hubungan antaragama-antaretnis. Tidak sampai di situ, peran sentral migran Jawa Islam generasi ketiga dalam mempertunjukan beragam kesenian di Indonesia, mendorong Bupati SBB untuk memberikan nama paguyuban Jawa Seram Barat (JASERBA) kepada komunitas seni tersebut.
Slametan desa yang dilakukan di Waihatu tidak hanya menjadi sebuah ritual, tetapi juga festivitas, yang kini disebut kirab budaya. Pada fase liminal, migran Jawa Islam akan meninggalkan varian Islam masing-masing di “panggung belakang”, untuk bersama-sama mempertunjukan kejawaan dalam konteks pluralitas di “panggung depan”. Dengan demikian, dalam kirab budaya akan ditemukan beragam performansi simbol-simbol sakral sebagaimana tumpengan, sesaji, wijikan, jaranan, dan lain sebagainya. Hal yang tidak kalah menarik adalah kehadiran papeda sebagai simbol solidaritas dan makan patita sebagai simbol perdamaian pada saat ritual tersebut berlangsung.
Sejauh pengetahuan saya yang serba terbatas, upaya menjelajahi keberagaman juga merupakan bagian dari diskursus pembangunan komunitas. Secara mikroskopis, saya kemudian melihat enam keberlanjutan pembangunan komunitas migran Jawa Islam di Waihatu; (1) solidaritas menjadi penting untuk merawat jejaring sosial-multikultural di Waihatu maupun Maluku (social sustainability); (2) konflik komunal 1999 mendorong migran Jawa Islam untuk menekuni dunia entrepreneur, selain sebagai petani, juga karena pluralitas mempengaruhi keberagaman sumber nafkah (economic sustainability); (3) migran Jawa Islam telah lama menghidupi ruang mistis kemalukuan, sehingga memberi manfaat untuk menjaga stabilitas alam (ecological sustainability); (4) kemunculan moderasi yang didasari falsafah Jawa dalam konteks pluralitas dirasakan kontributif bagi demokrasi aras desa (political sustainability); (5) kemampuan untuk menciptakan wilayah yang adaptif, stabil, dan harmonis (security sustainability), dan; (6) migran Jawa Islam masih dapat melakukan performansi nilai-nilai kebudayaan Jawa serta terbuka bagi kebudayaan lain (cultural sustainability). Sepetak Jawa di Maluku menggambarkan migran Jawa Islam yang menghidupi kejawaannya dalam kehidupan sebagai masyarakat Maluku.
Semoga pandemi COVID-19 cepat berakhir agar hasil penelitian ini dapat diuji.