GRAFIK orang terinfeksi di Provinsi Maluku bergerak naik sampai menembus tiga digit. Ini memang sudah diprediksi beberapa pekerja medis dari beberapa aspek baik kelengkapan fasilitas instalasi medis, secara internal, tetapi juga kesadaran masyarakat sebagai aspek pokok yang harus diperhatikan. Membentuk kesadaran masyarakat ini butuh edukasi atau literasi, tetapi juga regulasi yang mengikat, sebab kemampuan untuk memahami suatu imbauan atau mematuhi suatu anjuran dan hukum berbeda pada setiap orang. Ada bentuk ketaatan kultural tetapi sebagian lain ketaatan legalistik. Sudahlah. Itu tidak usah dibahas lebih lanjut. Kembali ke laptop!
Dalam masa pandemik covid-19 ini beragam strategi telah diterapkan. Ekspektasi masyarakat terhadap pemerintah dan secara khusus dokter dan paramedis sangat tinggi. Sebaliknya dokter dan para medis pun mengharapkan masyarakat cerdas dan waspada agar “jangan sakit”! Yah, walau sakit itu manusiawi, tetapi yang dimaksud adalah terinfeksi corona.
Belum ada vaksin. Corona bukan aib. Di rumah saja. Rajin cuci tangan di air mengalir. Pakai masker. makan makanan bergizi dan vitamin. Tingkatkan imun dan iman. Banyak kata kunci atau tagline yang tertulis, dikatakan, atau bergaung terus di telinga semua manusia di dunia dalam masa pandemik ini. Jangan takut. Jangan cemas. Jangan panik. Istilah itu menjadi semacam pengingatan untuk segera bangkit melawan covid-19.
Pada beberapa tayangan di media sosial ketika saudara-saudara yang terinfeksi dijemput ke rumah isolasi, tetangganya berdiri di jalan raya memberi dukungan. Ada yang memegang kertas bertuliskan: “Kamu cepat sembuh ya”, ada pula yang berteriak: “kami mendoakanmu”, “cepat kembali ya”. Tetapi ada pula sebagian orang dan masyarakat sekompleks yang mengerling ketika ada seorang saudara terinfeksi, dan ada yang berujung penolakan atau malah penghakiman dan dijauhi dari pergaulan.
Itulah mengapa kita perlu membangun kesadaran kolektif untuk memahami bahwa, bila vaksin covid-19 belum ditemukan, maka masyarakat yang harus menjadi “vaksin sosial” untuk menumbuhkan semangat mereka yang terinfeksi, sekaligus menggerakkan lingkungannya untuk segera berbenah menjadi kampung pemulihan (Community Healing/KP).
Coba anda bayangkan saja. Sudah? Anjuran “berdamai dengan covid-19” adalah suatu model teraphi sosio-psikologis yang baik. Saya memahami maknanya dalam defenisi KP itu. Artinya harus ada situasi sosial yang dibangun dalam komunitas agar kita saling menghormati, menjaga, memberi semangat dan mendukung agar covid-19 tidak menimbulkan efek yang memperparah relasi dan solidaritas sosial, apalagi rasa kemanusiaan. Sebab jika “berdamai dengan covid-19” dipahami dalam defenisi kekebalan sosial/kelompok (herd immunity), ditakutkan harus ada banyak orang yang terinfeksi terlebih dahulu agar mereka mempunyai kekebalan di dalam tubuhnya sendiri. Ini tidak boleh dibiarkan terjadi, sejauh kita belum memiliki vaksin dan belum divaksinasi, sebab corona adalah virus baru.
Saya mencoba dulu dengan dua aspek yang penting dalam membangun KP tadi. Pertama, MEMBANGUN SOLIDARITAS SOSIAL. Terinfeksi corona bukan aib. Ini bencana non-alam. Virus. Kita perlu menggunakan istilah yang menempatkan kita dan mereka yang terinfeksi secara sejajar. Mereka harus disebut “saudara” – sebab komunitas itu menunjuk pada “bersama, atau kebersamaan”. Istilah “saudara” menerangkan kita adalah bagian yang tidak terpisahkan. Mereka adalah individu yang tidak terlepas dari kita, dan kita adalah lingkungan kesosialannya. “Saudara” itu ada di dalam lingkungan hunian bersama kita. Sejak semula kita sudah berinteraksi, saling mendukung. Ini tidak boleh tereduksi hanya karena ada yang terinfeksi. Sebaliknya ikatan solidaritas itu harus lebih kuat dan semakin kuat dibangun. Caranya sederhana: “berilah perhatian dan motivasi yang kuat kepada saudara kita itu”.
Kedua, MEWUJUDKAN KONSENSUS BERSAMA. Apa bentuk consensus dalam KP? Menaati setiap norma, aturan, hukum sosial, hukum-hukum etika. Hari ini ada saudara kita yang terinfeksi. Mari kita gali konsensus sosial yang sudah mengakar di komunitas masing-masing. Konsensus sosial itu bisa berasal dari kebudayaan/kearifan lokal, tetapi juga dari ajaran-ajaran sosial agama. Saya yakin di sini kita tidak membangun dikotomi ajaran agama atau mendebatkan perbedaan sosial. Itu sudah harus selesai ketika kita mau menjadi KP. Apa bentuk konsensus itu bagi kita di Maluku? Ada beragam pranata sesuai kearifan lokal seperti masohi, badati, maano, hamaren, tubakal, nayawra, dlsb. Ada pula dalam bentuk ideologi seperti “potong di kuku rasa di daging”, “sagu salempeng dipatah dua”, “kalu makang isi jang lupa tulang buang akang par sudara”, “ale rasa beta rasa”. Konsensus-konsensus ini perlu diimplementasi dan menjadi bentuk “berdamai” dengan covid-19 berbasis masyarakat (community based/people centered approach).
Pada beberapa basis komunitas seperti di Batu Meja, Mardika, Waihaong, Rumahtiga, Poka dan Wayame, Kudamati, Halong, Lateri, Ternate, Kairatu, Piru, dlsb, selain ada banyak saudara yang terinfeksi, terdapat pula instalasi medis (RS) dan rumah-rumah isolasi. Ini saatnya kita membangun suasana kampung-kampung itu menjadi KP, agar saudara-saudara kita yang harus dirawat atau diisolasi, atau berada dalam daftar tracking, dan juga yang sudah pulih merasa benar-benar didukung, didoakan, disemangati sebab dengan begitu mereka akan bertindak sebagai pejuang (survivor) dalam menyembuhkan dirinya.
Komunitas penyembuh atau kampung pemulihan itu akan menjadi tempat di mana setiap orang terpulihkan dari bebannya (sakit dan trauma).