Kemerdekaan adalah momen penting dalam sejarah sebuah bangsa. Kemerdekaan tidak hanya berarti pembebasan dan kelepasan dari sebuah bentuk penjajahan (kolonialisme dan imperialisme) tetapi juga menandai sebuah perjalanan baru menyongsong kehidupan yang lebih baik. Oleh sebab itu, spirit kemerdekaan harus memberi dorongan kepada setiap warga negara agar berbenah diri dan melakukan hal-hal terbaik dalam kehidupan ini.
Menjelang perayaan hari kemerdekaan Indonesia yang ke-75 tahun pada tanggal 17 Agustus 2020 ini, timbul sebuah pertanyaan reflektif tentang kehidupan bangsa ini sepanjang 74 tahun kemerdekaan: apakah bangsa Indonesia telah benar-benar merdeka? Mungkin ini hanyalah sebuah pertanyaan sederhana. Namun apabila kita menelisik lebih dalam, pertanyaan ini seharusnya menjadi refleksi diri bersama kepada semua warga negara tentang peran kita dalam mengisi kemerdekaan ini. Pertanyaan ini menuntun kita pula untuk mempertanyakan sejauh mana pemaknaan kita terhadap kemerdekaan itu dan apa saja bentuk-bentuk kongkritnya dalam kehidupan berbangsa.
Saya selalu berpikir begini bahwa kita selama ini memaknai kemerdekaan itu sebatas pembebasan dari penjajahan kolonial sejak zaman Belanda sampai Jepang, sehingga perayaan-perayaan HUT kemerdekaan setiap 17 Agustus sejak tahun 1945 itu adalah sebuah ekpresi ungkapan syukur, karena bangsa-bangsa asing telah meninggalkan Indonesia untuk merdeka dan mandiri. Sedang wujud nyata dari kemerdekaan itu tidak benar-benar termaknai dan termanifestasikan dalam kehidupan dan menjadi karakter bangsa Indonesia. Bagi saya, bangsa Indonesia belum benar-benar merdeka terlepas dari kepergian bangsa asing. Kita sesungguhnya masih terjajah di tengah-tengah negara ini. Ada beberapa cacatan reflektif yang dapat disebutkan berkaitan dengan hal ini, antara lain:
- Rasisme
Isu dan tindakan rasis begitu kental terjadi dalam kehidupan masyarakat di berbagai daerah. Umumnya perbuatan-perbuatan rasis menyasar salah satu suku (ras) tertentu, atau kelompok masyarakat tertentu. Tindakan-tindakan rasisme ini dimulai dari sebatas kata-kata sampai kepada sikap dan perbuatan anarkis. Contohnya adalah tindakan-tindakan bully dan persekusi dalam masyarakat.
- Korupsi dan Nepotisme
Korupsi dan nepotisme bukanlah barang baru dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Sejak zaman orde baru tindakan korupsi dan nepotisme telah terjadi dan terus memuncak di era demokrasi. Hal ini, terjadi secara masif hampir dalam semua tingkatan masyarakat. Parahnya bahwa tindakan korupsi dan nepotisme justru banyak terjadi di kalangan pejabat publik (anggota DPR, Kepala Daerah, Kepala Dinas, PNS dan lainnya). Korupsi telah menjadi dewa supaya orang cepat kaya. Sedang nepotisme marak dilakukan terutama di dunia kerja. Hampir setiap hari, kasus korupsi dan nepotisme menghiasi rubrik dan headline berita dari berbagai lembaga cetak dan penyiaran di negara ini.
- Penindasan terhadap Perempuan dan Anak
Kita tentu masih ingat bersama kasus kawin tangkap di Sumba NTT. Selain itu, berbagai tindak perkosaan terhadap perempuan (dari anak-remaja-dewasa sampai lansia), pelecehan seksual terhadap balita, pembunuhan dan penelantaran anak, KDRT, Woman Traficking, Children Traficking dan sebagainya. Tak ada satu hari pun berlalu tanpa mendengar adanya penindasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia.
- Perampasan Tanah dan hak-hak Ulayat Masyarakat Adat
Di daerah-daerah tertentu di Indonesia, masyarakat adat teracam kehilangan tanah dan hak ulayat. Banyak perusahaan yang bertindak sewenang-wenang untuk merampas secara paksa atas nama modernisasi hak-hak masyarakat adat. Identitas-identitas budaya terdegradasi oleh keegoisan dari pejabat publik dan kalangan pengusaha. Banyak masyarakat adat di Indonesia yang harus merelakan tanahnya sebagai lahan perkebunan dan pabrik-pabrik.
- Ketimpangan dalam bidang Politik, Hukum, Ekonomi, Pendidikan dan Kesehatan
Bukan rahasia lagi kalau kalangan rakyat kecil belum merasakan kesamaan dan kesederajatan perlakukan dalam bidang hukum, politik, ekonomi, pendidikan dan kesehatan di Indonesia. Selama ini, rakyat kecil selalu diperlakukan tidak adil, hidup dalam kemiskinan, tidak memiliki jaminan kesehatan yang memadai, tidak memiliki kebebasan berpolitik bahkan tidak mendapatkan hak pendidikan yang cukup. Memang benar, berbagai upaya telah dilakukan pemerintah seperti memberikan KIS, BPJS, Bansos dll. Namun tetap saja, semua ini masih jauh dari kata cukup pada rakyat.
- Intoleransi beragama
Sebagai negara demokrasi, Pancasila dan UUD 1945 memberikan jaminan terhadap kebebasan beragama dan praktik toleransi yang erat dalam masyarakat. Faktanya adalah bahwa banyak masyarakat yang merasakan ketidaknyaman dan ketidakbebasan untuk beragama dan menyatakan keyakinannya. Berbagai kasus pelarangan pembangunan rumah-rumah ibadah, pengrusakan tempat-tempat ibadah, ketidaan izin beribadah, politisasi simbol-simbol keagamaan seperti yang terbaru adalah kontroversi logo HUT RI ke-75 yang berbentuk salib. Semuanya ini memperlihatkan bahwa kita masih berkutat dalam dunia intoleransi beragama yang kuat.
- Ekploitasi dan pencemaran lingkungan
Pengerukan kekayaan alam secara membabi buta dibarengi dengan tindakan pencemaran alam dan lingkungan hidup terus terjadi dalam masyarakat. Ekploitasi dan polusi tanah, air dan udara menjadi pemandangan sehari-hari yang terus terjadi di semua daerah terutama di perkotaan.
Hal-hal di atas sesungguhnya memperlihatkan bahwa menjelang 75 tahun kemerdekaan RI, justru negara kita belum merasakan kemerdekaan itu. Sebagian besar masyarakat terus hidup dalam penjajahan dan praktek-praktek kolonialisme dan imperialisme yang terselubung berbentuk tindakan-tindakan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Karena itulah kesadaran akan pluralisme dan kemajemukan bangsa ini mesti termaktub dalam diri pribadi amsing-masing warga negara agar kemerdekaan yang dicita-citakan itu benar-benar bisa diwujudkan suatu saat nanti. Mari berbenah dan mari menjadi Indonesia.
Selamat menyambut HUT RI ke-75 pada 17 Agustus tahun 2020. Merdeka.