Realitas dan problematika masyarakat di wilayah pinggiran kadang luput dari sorotan dan perhatian. Sesungguhnya diperlukan kebijakan ekstra untuk menolong masyarakat yang terabaikan dalam waktu yang panjang. Catatan ini berdasarkan percakapan via telpon dengan seorang sahabat di Wahai ibukota kecamatan Seram Utara Maluku Tengah. Ada tiga catatan ditambah pikiran Semuel Aitonam, salah seorang putra Seram Utara yang berdiaspora di Jakarta. Berikut catatannya.
Pertama, masyarakat zona hijau. Di Wahai dan Seram Utara umumnya terkait pandemi kovid 19 dikategorikan zona hijau. Ini sebuah khabar baik. Walau begitu masyarakat tetap waspada. “Protokoler kovid tetap diperhatikan” kata rekan tersebut. Sambil menunggu “kovid berlalu” masyarakat makin intes mengolah dan menanami kebunnya dengan berbagai jenis tanaman. “Pangan melimpah di sini” kata rekan itu lagi. Ini juga khabar baik yang patut disyukuri. Bahwa di tengah pandemi masyarakat tidak pasrah pada keadaan namun terus berusaha untuk sehat dan produktif.
Kedua, masa depan masyarakat adat dan dampak kehadiran perkebunan kelapa sawit. Masyarakat masih terus berjuang agar hak-hak mereka atas tanah diakui oleh negara. Demikian pula ketika ada perusahan perkebunan kelapa sawit yang masuk maka apakah benar-benar membawa kemaslahatan bagi masyarakat atau malah menjadi bencana. Di sini butuh gerakan advokasi masyarakat adat dan masyarakat di sekitar area perkebunan kelapa sawit. Jaringan advokasi yang luas akan membantu masyarakat untuk tetap eksis dan dinamis dalam menghadapi dan mengelola berbagai perubahan pada berbagai sektor kehidupan.
Ketiga, makna dan parameter kebahagiaan. Saya meminta kepada rekan pendeta itu untuk menanyakan masyarakat setempat tentang apa yang mereka pahami dan maknai tentang kebahagiaan. Apakah itu semata soal memiliki kemajuan ekonomi (to have), akses infrastruktur yang tersedia seperti jalan dan gedung-gedung, akses pendidikan, dll. Ataukah mereka punya defenisi tersendiri yang tak dapat dipaksakan oleh parameter dari luar. Hal ini penting agar tiap orang yang ingin membawa perubahan dan perbaikan masyarakat tidak memaksakan sesuatu dari atas dan mengabaikan apalagi meremehkan suara-suara dari bawa yang mencoba mempertahankan eksistensi dan jati diri mereka (to be). Hal ini berkaitan dengan persoalan ontologis dan bukan semata soal teknis.
Terhadap tiga cataran ini Samuel Aitonam punya tanggapan analitik yang dapat saya sertakan sebagai berikut
Pertama, ada persoalan kultural (konsep² dan sistem budaya yang mulai rapuh dan ditinggalkan, terutama yang berhubungan dengan sistem pendidikan dasar) dan struktural (terjadi pergeseran/pengerdilan fungsi dan peranan pranata² adat/sosial), tapi juga ada persoalan² ekonomi politik yang berkelindan dengan persoalan hukum, terutama menyangkut hak kepemilikan tanah ulayat.
Semua persoalan ini semakin bertambah ruwet krn diperparah lagi dengan tingkat literasi yang rendah hampir di segala bidang
Kedua, dulu masyarakat berharap dengan masuknya program transmigrasi, Seram Utara akan menjadi salah satu sentra ekonomi baru yg akan membawa perubahan berarti bagi masyarakat, ternyata tidak. Begitu juga dengan sentra ekonomi perkebunan dan perikanan yang melibatkan perusahaan² multi-nasional. Kehadiran mereka malah menambah persoalan baru, karena penguasaan atas lahan² usaha semuanya dilakukan dengan memanipulasi kebodohan dan kemiskinan masyarakat.
Kuatnya struktur politik oligarki yg memanfaatkan kelemahan sistem politik demokrasi semakin menyuburkan praktek² kkn antara penguasa dan pengusaha. Celakanya institusi² yang semestinya berfungsi sebagai the gate keeper etik moral (politik dan keagamaan) justeru terkooptasi dalam pusaran praktek² KKN baik langsung ataupun tidak.
Demikian tiga catatan dan dua tanggapan yang dapat dielaborasi lebih lanjut oleh siapa saja, dengan tujuan menopang proses pemajuan masyarakat Seram Utara dan masyarakat pinggiran pada umumnya (RR)