Pemuda Multikultur di Ambon; Bangun Ekosistem Kreatif Hingga Runtuhkan Sekat Diskriminasi

oleh
Formasi awal komunitas Creative Value saat pemotretan di awal terbentuk di base camp, Waiheru. (ki-ka) Allan, Jhon, Olyv, Roland, Haickal, Boy, Suhail, Andre, Eko, Mahatir dan Setyawan. FOTO: Dok. pribadi

Liputan ini terselenggara atas dukungan:

 beasiswa liputan oleh SEJUK dan Internews

 

TERASMALUKU.COM,AMBON, – Bagi Valliant Ririhena, pria 26 tahun berdarah Tionghoa yang memikul marga asli Maluku, ada beberapa persoalan yang mengikuti karena identitas kesukuannya. Di Ambon meski tak terlalu kentara, stereotype kesukuan masih melekat.

Warna kulit, wajah, mata, perawakan dengan mudah orang bisa menebak identitas Valliant. Memang tidak sekentara warna kulitnya, namun pada beberapa komunitas hal ini sangat terasa. Pelabelan masih jadi penghalang anak muda. Meski ada sekumpulan anak muda lain yang berhasil menerobos sekat bernama diskriminasi.

Valliant atau lekat dengan panggilan Koh Allan. Dia menjadi satu-satunya orang dalam sebuah kelompok kreatif anak muda dengan penampakan fisik paling beda. Allan punya darah Tionghoa kental dari sang mama. Berada di anatara anak muda berkulit sawo matang sungguh hal langka di sini.

Setidaknya di Kota Ambon sangat jarang menemukan orang berkulit terang, bermata kecil berambut lurus macam Koh Allan bergabung dengan kelompok anak muda. Sudah jadi konsepsi bahwa ada pelabelan yang pakem dan seragam diakui nasional. Yakni orang etnis Tionghoa pasti punya toko, pemilik usaha, meneruskan usaha keluarga, berdagang, fokus sekolah atau dengan kata lain mengerjakan hal-hal yang mendatangkan cuan (dalam Bahasa Tiongkok artinya untung).

Nah, pria yang pernah menjadi koordinator projek sosial AIESEC (Association internationale des étudiants en sciences économiques et commerciales) saat ini berstatus pengangguran dan sedang menggarap banyak pekerjaan sampingan.  Sebagai anggota komunitas dia mungkin tidak terlalu menonjol dalam hal keahlian praktis seperti anggota lain. Misalnya, di komunitas CV ada 12 anak muda.

Valliant Ririhena, Jhon Laratmase, Andre Fakoubun, Olyvia Jasso, Suhail Bahaweres, Eko Saputra Poceratu, Haickal Reniurwarin, Boy David Minanlarat, Roland Tuanakota, Mahatir Mohammad, Setyawan Samad, dan Natalia Wika.

Mereka ada yang menjadi komedian, aktivis lingkungan, penyair, penulis, fotografer, videografer, pemilik usaha kaos, pemusik, rapper, event organizer dan lain lain.

Di tengah pandemi, mereka berhasil mendapat kerjasama lewat projek dengan lembaga pendidikan

Lain halnya dengan Koh Allan. “Kalau CV ada kegiatan pasti beta bantu bikin apa kek apa begitu,” jawaban singkat Allan saat ditanyai soal apa perasn besarnya di komunitas. Seperti saat Allan memainkan peran sebagai aktor utama.

Tapi soal hitung-hitungan, tak perlu diragukan. Dia seorang sarjana Ekonomi Akuntansi universitas negeri di Ambon. Keahlian dalam soal hitung-hitungan dan akurasi menjadi kelebihan yang tidak dimiliki anggota lain. Bisa jadi icu ada dalam DNA Koh Allan. Beruntung, kata Allan, dirinya suka membuka diri dan membaur. Tidak ada ekslusifitas yang dibangun.

Dari situ anggota lain pun melihat ada kelebihan Allan yang mungkin saja selama ini tidak dia tunjukkan di tempat lain kepada orang lain. Atau memang tidak ada kesempatan lantaran keburu dipandang eksklusif. Untuk itu Koh Allan punya kisah.

“Memang masih ada diskriminasi, apalagi beta Cina. Tapi itu kan tanggapan orang. Beta mau berteman mau cari keluarga,” lanjut Allan. Kehadiran dirinya di lingkungan anak muda di tengah pandemi macam ini memang terasa ganjil. Ini musim susah dan semua orang mencari kegiatan yang menghasilkan. Allan malah kerap terlihat nongkrong duduk serta menggarap video-video lucu bersama beberapa rekan lainnya di CV. Nah mereka ini adalah teman yang telah lama bersama Allan di berbagai komunitas. Lewat mereka-mereka inilah dirinya merasa benar-benar tak ada sekat. Mereka adalah para komedian.

Materi serius kerap digarap jadi kelakar agar mudah diterima. Contohnya ya si Allan sendiri. “Beta juga ikut stand up comedy. Sudah sering beta saat tampil orang seng tertawa karena seng lucu. Kayak aneh saja liat ada orang cina bawa komedi terus garing,” kenangnya.

Bahkan tak sedikit dalam berkomunitas dan pergaulan di Ambon dia mendapat cap atas tradisi yang melekat pada orang Tionghoa. “Ada yang bilang Cina itu apa-apa dijual. Beta seng talalu tanggapi karena beta kan separuh Cina, hehehe,” sebut Allan yang saat ini nyambi berbisnis parfum KW Super.

Dinamika berkomunitas di kota kecil macam Ambon sangat mudah ditebak. Usai konflik segregasi wilayah malah kian kental. Lingkungan tinggal masyarakat jadi sempit hanya pada area-area tertentu. Karena itu warna berkomunitas begitu homogen.

Namun dengan situasi ini, sekat-sekat ini malah lepas oleh sekumpulan anak muda ini. Yang mereka kejar adalah peluang untuk bertahan. Kekurangan anggota lain merupakan kelebihan yang mendatangkan rejeki. Seperti Koh Allan, boleh dibilang dia adalah rejeki untuk Jhon anggota tim CV. Jhon merupakan salah satu stand-up comedian terkenal asal Kota Ambon. Dia, banyak mendapat materi stand-up dari realitas hidup Allan. Ide itu lantas dia realisasikan dalam garapan ber-cuan bersama CV.

“Allan pung hidup ni banyak kasih inspirasi ke beta. Beta seng bercanda ke dia kalau di komunitas ini dia yang paling minoritas. Sudah putih, cakep, cina dan tidak punya apa-apa, hahaha, sama seperti beta,” celetuk Jhon Laratmase dengan selentingan lelucon sarkas yang khas.

Kepada wartawan comedian asal Ambon yang lolos SUCI kompasTV 2020 itu mengakui bahwa ragam komunitas sudah dia jajali. Hanya pelabelan terhadap beberapa suku masih berlangsung di lingkup anak muda. “Orang masih anggap beberapa suku itu rendah. Contoh beta dari Tenggara, masih ada orang yang anggap tar bae (jelek, baca). Tapi bukan itu, beta kas tunju beta keahlian. Barang kanapa kalau beta tenggara. Di kondisi ini katong seng bisa lihat begitu, semua susah,” seloroh pria asal Saumlaki Kabupaten Kepulauan Tanimbar (KKT).

Di musim penyebaran virus macam ini, hampir tidak pernah ada satupun job open mic bagi seorang komedian macam dia. Komedi adalah sebuah pekerjaan minor di sini, di Ambon. Apalagi bagi Jhon yang kalau kata netizen wajahnya belum masuk televisi. Pernah sekali kehadirannya di atas panggung tak mendapat lirikan penonton. Orang masih menilai dari siapa dia dan apa yang dia lakukan. Bisa dibayangkan sejak Maret hingga September produktifitas sebagai komedian terancam.

“Beta modal bacot. Stand-up comedian, sekarang seng ada acara yang orang bisa panggel beta open mic. La kalau beta sandiri seng bisa,” keluh Jhon. Memang dia punya komunitas sendiri. Komunitas stand up comedian. Tapi toh tidak menjanjikan apa-apa. Jhon berujar orang yang siap melucu itu punya mental baja, sebab mereka sudah siap saat tak ada yang tertawa atau balik badan. Tidak mudah tersinggung dan bahkan tidak pernah. Otaknya harus siap me-roasting balik candaan orang terhadapnya.

Hanya saja kehidupan belakangan ini bukan sebuah lelucon. Tak jarang materi komedi yang dia bawa bernafaas dark jokes yang jika dibagi tak sedikit penonton yang tersinggung.  Apalagi jika sudah masuk dengan stigma buruk kesukuan yang dia sentil dengan lelucon.  “Katong seng bisa sandiri, dan beta lihat dengan teman-teman semua pemikiran terbuka. Beta punya komunitas ada lagi tapi ini beda. Katong sangat beragam dan terbuka bahkan katong kekurangan bisa jadi bahan ejekan tapi dibawa asik,” tuturnya.

Jhon adalah salah satu anggota dari Creative Value (CV). Komunitas anak muda beranggotakan 12 jiwa. Mereka ini punya latar belakang yang akrobat. Sangat heterogen lengkap dengan agama, suku hingga latar belakang pekerjaan juga profesi. Ada yang berasal dari Kota Ambon, Kei, Tenggara, Seram, Lease, Tionghoa, Arab, Sunda,  Sulawesi, Kristen, Islam. PNS, komedian, pegawai honorer, penyair, videografer, Youtuber, pianis, musisi, pemilik hotel, pengangguran, mahasiswa.

Hickal Reniurwarin, youtuber 1 juta subscriber pun setali tiga uang dengan mereka. Se-asik apapun video-video prank bikinannya tak banyak menjanjikan di musim corona. Saat pulang ke Ambon motivasi terbesarnya adalah tetap berkarya dengan kolompok yang suportif. Dia punya logat Tual yang kental. Di Ambon masih ada segelintir orang membuat itu sebagai ejekan yang merendahkan orang-orang dari Tual.

Mereka justru menjadikan itu amunisi menghidupkan karya kreatifitas bersama. Terbukti bersama anggota CV, mereka kerap membikin video-video prank dengan logat Ambon dan Tual yang kental. Responnya kata Haickal, sangat luar biasa. Tak sedikit para follower-nya dari Sumatera dan Jogja yang kolabs dalam dialeg Tual dengan dia. Hitung-hitung promosi Maluku lewat Bahasa. “Kalau keluar dari rumah katong harus siap dengan apapun. Termasuk diskriminasi dan ejekan,” katanya.

Yang mereka tahu hanya berkarya. Aturan PSBB membatasi ruang gerak termasuk kreatifitas anak muda. Sebelum ada bencana global, berkarya sudah jadi kepuasan. Sekarang puas saja tak cukup. Soal ekonomi dan urusan perut tak boleh luput. Suhail Bahaweres, videografer yang bergabung di CV mengiyakan hal itu.

“Kerja sendiri memang bisa, tapi kalau garap bersama jauh lebih menguntungkan. Apalagi kondisi ini jarang orang acara dan minta bikin video,” terang pria berketurunan Arab itu. Sebagai bukti, sebuah video pendek tentang ‘Anxiety’ menceritakan dirinya dan seorang anggota lain CV, Boy David Minanlarat yang alami ganguan kecemasan. Video tersebut lantas menjadi pintu masuk bagi sejumlah tawaran kerjasama CV dengan perusahaan dan instansi.

Tak jarang dalam beberapa postingan di linimasa, karya-karya mereka mendulang pujian. Baik secara kelompok pun perorangan. Keberhasilan mereka meniadakan perbedaan dan fokus pada karya membuktikan anak muda Ambon mampu menembus batasan.

Eko Saputra Poceratu, penyair, menyebut CV adalah gambaran nusantara. “Bagi beta, CV adalah perwujudan toleransi manusia, dalam berbagai hal, sosial, budaya, agama, bahkan karya. CV membangun ruang bersama tanpa tembok yang selama ini selalu bangun oleh sudut pandang sempit dan dangkal,” aku penulis emerging di Makassar Writer’s festival 2018 yang baru saja menerbitkan buku Dosa Penyair.

Eko yang telah banyak menelurkan kritikan tentang hidup serta memainkan peran sebagai anak muda yang terus menjaga marwah keberagaman di Ambon punya penilaian tersendiri.  Baginya proses CV dilahirkan atas dasar, berkarya, bahu-membahu. Artinya, sekat-sekat semacam idelogi agama, idealisme, secara dewasa mampu ditafsir dengan baik.

“CV adalah rupa indonesia dalam rumah komunitas,” lanjut dia. Di Ambon ada banyak rupa komunitas. Namun berdasar observsi juga bergabung bersama segelintiri dari mereka komunitas bergerak berdasarkan kesamaan keahlian. Seperti yang sama-sama di bidang sastra, musisi, lingkungan atau atas hobi. Rerat umur mereka pun jauh lebih lama dibanding CV.

Di saat pandemi menerpa, kekuatan komunitas perlahan melemah. Masing-masing anggota memilih banting stir atau ‘bersolo’ karir. Pekerjaan komunitas nanti dulu. Sementara ada segelintir anak muda yang menyadari akan kekurangan mereka dan berupaya menjaga ekosistem kreatif tetap hidup. Pandemi meruntuhkan banyak sekat. Kecanggungan atas beda agama, suku dan usia malah dibalut manis dalam guyonan penembus batas.

Haickal dalam obrolan ringan di sebuah café di Ambon mengemukakan dirinya sempat tidak percaya diri dalam kelompok itu di awal. Mengingat masing-masing punya latar belakang personal yang dikenal. Tiap-tiap anak di CV memiliki rekam jejak aktivitas komunitas dan sosial yang konsisten sampai sekarang.

Sebut saja Olyvia Jasso perempuan berperawakan mungil tapi cekatan ini adalah founder The Mulung, komunitas peduli lingkungan yang rutin mengangkat sampah di kawasan Pulau Ambon. Perannya dalam edukasi warga soal sampah layak diakui. “Beta di sini bisa belajar banyak dari yang lain. Seng ada tu liat perbedaan. Katong anak muda harus optimis, orang harus kenal katong anak muda dengan skill bukan karena latar perbedaan,” celetuknya.

Ada juga Andrey Fakoubun yang kali pertama membentuk CV dan mengumpulkan anak-anak di rumahnya sebagai base camp. Keseharain Andre adalah pegawai honorer di instansi pemerintahan tingkat Provinsi Maluku. Dia lebih banyak memainkan peran dalam menajamkan ide-ide kreatif untuk diwujudkan serta mengarahkan anggota lain. “Katong lihat di sini adalah karya, anak-anak muda punya banyak ide. Dong sangat matang soal emosi sampai soal agama suku begitu malah jadi meteri jokes yang apik. Memang dark jokes tapi sudah sangat lepas seng ada batas-batas,” bebernya.

Pada suatu sore di base camp mereka tengah membahas isu-isu yang sedang viral di media sosial. Warganet menumpahkan kekesalan dan marah soal postingan body shaming dari seorang artis. Juga persoalan agama yang malah jadi runyam di kolom komentar. Dengan kompak mereka menertawakan komentar tersebut.  Jhon salah satu yang paling vokal soal bercanda lantas ‘nyeletuk’, “Santai saja, kalau dong hina ko agama, bikin jadi jokes saja, hahaha,”.

Eklin Amtor de Fretes, pendongeng damai bersama boneka Dodi

Lain halnya dengan komunitas CV, Eklin Amtor de Fretes si Dongeng Damai punya jalan sendiri dalam merawat keberagaman. Pria 29 tahun ini merupakan pendongeng asal Ambon. Dia mengaku isu-isu agama atau lintas iman merupakan jualan paling laris. Tapi soal merawat damai bukan sekadar beda agama. “Apa saja masuk. Soal jaga hutan, diskriminasi termasuk kerja-kerja di tengah wabah covid,” terangnya.

Berbicara soal damai, katanya anak muda Ambon cukup terkooptasi soal isu agama. Padahal pekerjan-pekerjaan damai adalah sesuatu yang universal. Bekerja di tengah situasi ini menjadi tantangan bagi anak muda di Ambon. “Salah satu hal yang bisa dilakukan yakni edukasi. Sesuatu yang ringan tidak berat, yakni lewat dongong. Kita membahasakan corona dengan dongeng. Akan lebih mudah dipahami dan asyik untuk disaksikan,” lanjut pria yang telah ditabiskan sebagai pendeta oleh Sinode Gereja Protestan Maluku.

Eklin yang setahun belakangan getol berdongeng ini memilih jalan dongeng sebagai  caranya merawat damai. Dalam ragam kesempatan bersama komunitasnya, JMP (Jalan Merawat Perdamaian) anak muda gesit ini mencoba metode yang lebih sederhana untuk menyerukan muatan-muatan penting keberagaman.

Memang dongeng erat dengan anak-anak. Apalagi dirnya punya media ajar yaitu boneka tangan yang selalu dibawa saat mendongeng. Namanya Dodi. Menurutnya perlu ada penyederhanaan materi agar dapat dinikmati semua kalangan.

“Saat mendongeng itu katong bisa menguba pola pikir. Beta mau coba hapus cerita-cerita konflik dan hal buruk dari kepala anak-anak melalui dongeng,” jelas pendiri komunitas JMP itu. Dia kerap kali melintas batas wilayah untuk mendongeng. Segregeasi wilayah di Ambon memisahkan ruang hidup warga Kristen dan Islam. Nah disitulah tempat masuk Eklin dan Dodi yang sudah mendongeng di lebih dari 100 titik di Maluku, membawa kabar pluralisme bagi yang muda hingga tua.

“Selain untuk anak-anak, secara tidak langsung juga saya ingin bilang kepada orang tua agar jangan menceritakan konflik kepada anak-anak. Mereka akan memasang sikap yang tidak baik kepada kelompok berbeda. Lebih baik ceritakan sesuatu yang lebih membangun karakter dan nilai keberagaman,” ucapnya.

Hasilnya, ada banyak sekali perjumpaan dalam ruang agama pun wilayah yang kini tak lagi punya sekat. Dalam berbagai kesempatan Eklin kerap kali mengajak anak-anak dari wilayah tinggal menyatu di lokasi dongeng. Dalam beberapa kali peliputan pun terlihat mereka semakin berbaur satu dengan yang lain.

Itulah harapan terbesar anak muda macam dirinya. Menjadikan Ambon tempat yang terbuka dan tak punya sekat. Bukan saja soal agama tapi soal suku dan budaya. Karya-karya besar dan berpengaruh mestinya lahir dari sini. Gerak-gerak kecil yang mereka lakukan dalam sekala komunitas, nyatanya dapat membawa dampak besar. Ambon yang disebut laboratorium perdamaian juga jadi tempat merawat keberagaman. Harapannya tak ada lagi pembeda, pemisah yang membuat anak muda mati gaya. Bersama harusnya lebih kuat. (PRISKA BIRAHY)