Menunggu Eksistensi UU Minol “Kesejahteraan atau Kemiskinan” Oleh : Imanuel R. Balak, S.H

oleh
oleh
Imanuel R. Balak, S.H. FOTO : DOK.PRIBADI

Pada prinsipnya negara republic Indonesia adalah salah satu negara yang menganut paham Negara Kesejahteraan (Walfare staate) oleh karena itu Pemerintah melalui berbagai bentuk kebijakannya diharapkan mampu menjamin dan memberikan kesejahteraan terhadap warganya. Secara historis konsep negara Kesejahteraan  Walfare staate ini dikembangkan di eropa pada abad ke 18 (1748-1732) dan dipelopori oleh seorang filsuf Inggris yaitu Jeremi Bentham. Menurut Bentham, Pemerintah sebagai wakil Negara harus mampu membuat kebijakan yang membahagiakan warganya. Pada esensinya konsep Kesejahteraan menitikberatkan pada tiga prinsip dasar yaitu Prinsip Kesamaan Kesempatan (Equality of opportunity), Pemerataan Pendapatan (Equatiable distribution of wealth), dan Tanggungjawab Publik (Publik Responsibility). Jika kita kupas lebih jauh terkait Konsep Walfare staat ini akan sangat Panjang pembahasan kita, sehingga penulis hanya menggunakan pandangan secara umum sebagai acuan kita memahami konsep ini.

Konsep Walfare staate  yang kemudian diadopsi di Indonesia dapat kita lihat prinsip dasarnya pada UUD 1945 dan Pancasila. Dalam bagian Penbukaan alinia keempat dengan jelas merumuskan tujuan Negara yaitu bahwa Untuk Memajukan Kesejahteraan Umum, Mencerdaskan Kehidupan Bangsa, dan Ikut melaksanakan Ketertiban Dunia. Sedangkan didalam Pancasila sendiri Konsep Kesejahteraan itu bisa kita lihat dari sila ke lima yang berbunyi “Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia”. Dengan demikian maka Pemerintah memiliki tanggungjawab besar terhadap kesejahteraan, kemakmuran serta berperilaku adil terhadap rakyatnya.

Dalam substansi Pembukaan itu lalu kemudian diturunkan dalam bentuk norma. Dalam norma hokum Dasar (Staat Fundamental norms) Negara Republik Indonesia sendiri sebagaimana dituangkan dalam Dalam UUD 1945 Pasal 18B menyatakan “Negara Mengakui dan menghormati kesatuan – kesatuan masyarakat hokum adat beserta hak – hak tradisionalnya, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang – Undang”. Jo Pasal 28H yang berbunyi “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh layanan kesehatan”. Demikianlah redaksi norma dalam UUD 1945 yang dapat kita maknai sejalan dengan konsep Negara kesejahteraan (Walfare staate).

EKSISTENSI RUU MINOL.

Dalam beberapa pekan terakhir ini, kita temukan hal baru dalam sejarah perundang – undangan Indonesia, yaitu adanya Rancangan Undang – Undang Tentang Larangan Minuman Beralkohol atau biasanya dikenal dengan singkatan (RUU MINOL). Inisiatif untuk dibentuknya RUU MINOL ini diusulkan oleh tiga fraksi di DPR RI yang terdiri dari PPP, PKS dan GERINDRA, tentu sebuah apresiasi kepada tiga fraksi tersebut dan Pemangku Kebijakan lainnya yang punya inisiatif untuk hal ini. Namun demikian sekiranya harus menjadi perhatian serius bagi kita selaku warga negara maupun warga masyarakat, karena lahirnya UU ini apabila dinormakan nanti, tentu memiliki dampak bagi kehidupan social masyarakat, dengan demikian maka hal ini perlu kita pahami secara komprehensif.

Perlu kita ketahui bersama bahwa salah satu jenis minuman tradisional yang termakthub secara eksplisit dalam Penjelasan RUU Minol ialah minmuman tradisional Maluku yang dalam masyarakat Maluku dikenal dengan nama SOPI. Sopi itu sendiri pada dasarnya salah satu minuman jenis alcohol yang biasanya digunakan untuk upacara – upacara adat oleh masyarakat Maluku sehingga hal itu lalu kemudian menjadi sebuah kebiasaan yang sudah ada sejak Negara Indonesia tercinta ini belum ada, alias belum lahir. Ini tentu merupakan budaya yang tidak bisa dihilangkan lagi dalam perkembangan masyarakat adat Maluku. Seiring berjalannya waktu, sopi pun mengalami perkembangan dalam hal penggunaannya, dimana yang awalnya diperuntukan untuk Upacara adat, namun kemudian sopi mengalami pergeseran bukan hanya untuk acara adat, akan tetapi untuk acara – acara biasa, seperti contoh dalam istilah orang Maluku adalah dikenal dengan kalimat “Kasih Panas Poro” atau dalam Bahasa Indonesianya adalah “Kasih Panas Perut/Panasin Perut”. Dengan demikian maka satu hal yang perlu kita ketahui bahwa, apabila RUU ini menjadi Norma maka dapat dipastikan peredaran sopi akan segera hilang musnah ditelaan angin. Orang akan mengenal sopi pada saat upacara adat saja, itupun kemungkinan penggunaannya akan sangat realtif terbatas.

BACA JUGA :  Wakil Bupati SBT Sebut Banjir Sabuai Hanya Dibesarkan Media

Jika ditinjau dari segi ekonomi, sangat jelas dituangkan dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat (1, 2, 3 dan 4) tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial. Sedangkan kehidupan realitas masyarakat Maluku hari ini, Sopi itu sendiri, bukan hanya untuk kepentingan Upacara Adat saja, akan tetapi sopi ini merupakan salah satu instrument penting peningkatan ekonomi masyarakat dengan kata lain salah satu sumber pendapatan masyarakat, oleh karenanya apabila hal ini dilarang oleh suatu produk hokum yang sekarang seperti RUU ini maka akan menjadi suatu permasalahan serius bagi siklus ekonomi masyarakat Maluku. Untuk mengatasi hal itu terjadi, maka sudah menjadi barang tentu ini adalah tanggungjawab absolut Pemerintah untuk warganya.

Oleh karena itu bagi penulis adalah, suatu produk hokum yang baik, mestinya harus mempu mnejawab kebutuhan serta perkembangan kehidupan sosial masyarakat itu sendiri. Disisi lain suatu produk hokum itu lahir secara konstitusional apabila terjadi kefakuman hokum (Recht facum), dan/atau sesuatu yang bersifat urgensi maka menjadi tanggungjawab pemangku kebuijakan untuk menutupi kekosongan itu. Dalam kondisi hari ini tidak ada yang Namanya terjadi kefakuman hokum di bidang Minuman Alkohol, karena secara hokum hal itu ada jelas tertuang dalam norma hokum pidana kita yaitu pada pasal 300 jo 492 KUHP Jo Peraturan Menteri Perdagangan No. 25 Tahun 2019 tentang perubahan Keenam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/M-DAG/4/2014 Tentang Pengendalian dan Pengawasan Terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol.

Dimaknai dari konsep Walfare staat suatu produk hokum yang baik, paling tidak dapat memberikan progress atau menncerminkan kesejahteraan dalam masyarakat, dan bukan untuk mematikan usaha kecil masyarakat. Dengan adanya RUU Larangan Minuman Beralkohol (Minol) ini bagi penulis, ini bukan memberikan dampak kesejahteraan bagi masyarakat, tetapi akan menimbulkan kematian ekonomi secara masif disisi dalam masyarakat tertentu, seperti salah satunya Maluku.

Sebenarnya solusi yang paling tepat untuk para pemangku kebijakan jika membutuhkan norma hokum secara specialis untuk Minol ini, ialah buatkan saja Perda masing – masing Daerah untuk mengatur lebih detil Peredaran, Penggunaan serta Pengawasan dan Penegakan hokum terhadap Minol ini, karena pada dasarnya Daerah – daerah inilah yang kemudian paling memahami seacar riil kondisi kehidupan masyarakatnya. Ada beberapa arguemntasi yang dikemukakan pada konsideran RRU Minol ini salah satunya yakni untuk mencegah terjadinya tawuran, yang pada esensinya mengganggu ketertiban umum masyarakat, penulis berpendapat bahwa terhadap argumentasi ini tidak dapat dibenarkan secara komprehensif dikarenakan berbicara soal tawuran dan lain – lain  yang pada intinya akan menimbulkan akibat pidana sehingga hasil akhirnya pelaku akan diproeses secara pidana itu sudah masuk pada kompetensi Hukum Pidana (Straf Recht) Indonesia. Oleha karena itu argumentasi ini bagi penulis sangatlah premature.

BACA JUGA :  Survei LSN : Elektabilitas Prabowo Kokoh Duduki Puncak Teratas Sebesar 40,9% Ketimbang Ganjar dan Anies

Berikut penulis coba memberikan contoh dalam dalam tulisan ini agar dapat menjadi acuan serta pandangan kita bersama dalam menyikapi RUU ini. Misalnya dalam rumusan pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana. Dalam rumusan pasal teresebut mensyaratkan tiga hal penting, yaitu Pertama, Pelaku ketika memutuskan kehendak untuk melakukan perbuatan, dengan keadaan tenang (Bukan Mabuk), Kedua, Ada tenggang waktu tertentu antara memutuskan kehendak dan melakukan perbuatan (Bukan Mabuk), yang Ketiga Pelaksanaan perbuatan itu dilakukan dengan keadaan tenang (Bukan Mabuk) hal tersebut dalam konteks teori kita kenal dengan “Dolus Premeditatus”. Kenapa ini perlu menjadi contoh, artinya penulis ingin katakan bahwa dalam TIndak Pidana Pembunuhan berencana sekalipun Pengharu eksternal seperti Alkohol itu sama sekali tidak disinggung atau jauh dari rumusan delik, sehingga tidak dapat dibenarkan jika motivasi tawuran dan kekisruan itu seola hanya datang karena dilatarbelakangi dengan Minuman beralkohol. Penulis ingin menyampaikan sekali lagi apresiasi kepada pemangku kebijakan dalam menyikapi Minol ini, namun harus dpiertimbangkan juga secara matang, shingga rancangan UU ini apabila dinormakan, dapat meberikan dampak positif dan kejehateraan bagi masyarakat. Jangan samapi kesannya lahirnya UU ini nanti menimbullkan angka kemiskinan semakin tinggi.

Dengan melihat contoh tersebut diatas maka, konsep kejahatan atau kekisruan yang banyak terjadi saat ini sejatinya bukan hanya datang dari pengharu minuman alkohol, akan tetapi sebenarnya hal itu merpukan sesuatu yang sudah ada sejak lahir dan merupakan sifat alamiah dalam diri seseorang. Lagi pula ketika terjadi suatu persoalan yang mengacu pada ranah hokum pidana, maka bentuk pertanggungjawaban pidananya (Criminal responsibility) bersifat Individual Responsibility artinya bahwa pertanggungjawaban pidana itu dapat dimintakan secara individu. Sekiranya sudah sangat jelas norma Hukum Pidana Yang Berlaku saat ini (Ius Constitutum). Yang perlu penulis tambahkan  juga adalah terkait dengan sanksi Pidana. Dalam pasal RUU ini menganut sanksi pidana maksimal 2 Tahun, pertanyaannya adalah apakah logis jika seseorang mabuk lalu kemudian dipidana dengan pidana penjara, perlu kita ketahui Bersama bahwasanya ajaraan kesalahan yang dianut di hokum pidana Indonesia adalah kesalahan dalam bentuk Diskriptif Normative dan bukan kesalahan dalam bentuk Deskriptif Sosiologis. Sementara itu konsep Pidana itu sendiri saat ini bukan lagi diartikan sebagai ajang balas dendam atas perbuatan pelaku kejahatan.

Mengakhiri tulisan yang tidak bermakna ini, penulis mengusulkan dua hal kepada para pemangku kebijakan khususnya Legislatif, Eksekutif serta pemangku kebijakan lainnya terkait RUU Minol ini, antara lain, Pertama, Oleh karena beberapa aturan tentang Minumuan keras sudah ada, maka dibutkan saja Perda masing – masing Daerah untuk mengatur lebih detil tentang hal ini. Kedua, apabila RUU ini dinormakan, maka harus bisa mencerminkan Keadilan serta mampu melindungi hak – hak tradisional masyarakat adat di Wilayah NKRI ini.

Penulis : Mahasiswa Magister Hukum Litigasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

 

No More Posts Available.

No more pages to load.