Wujud pemeliharaan Tuhan dan Leluhur bagi negeri banyak tertuang dalam adat istiadat sebagai local wisdom masyarakat yang terus terlestarikan turun temurun hingga anak cucu.
Dalam adat terkandung nilai injili yang luar biasa dan tugas kita harus menguaknya ke permukaan sehingga menjadi nilai yang mengatur dan mengarahkan langgam hidup bersama.
Di Likat, kami memiliki adat Rhilin Nus. Beberapa tua adat menceritakan kepada saya dengan bebas terkait pemaknaan, nilai dan dampaknya bagi hidup orang-orang Likat. Dari sekian banyak cerita secara bebas saya dapat menyimpulkan bahwa adat ini adalah bentuk ungkapan syukur dan pemeliharaan bahkan tanda keselamatan bagi perjalanan anak cucu ketika memulai hidup di tahun baru.
Biasanya dalam adat ini, semua anggota masyarakat dari bayi hingga beruban WAJIB mengambil bagian dan masuk ke dalam alun-alun desa yang adalah pusat dan jantung desa untuk mensyukuri perjalanan hidup mereka yang penuh pergumulan, pengorbanan, tantangan dan persoalan-persoalan namun mereka harus terus menjalani hidup baru di atas negeri ini. Karena itu, lasimnya rhilin nus biasanya dilakukan diawal tahun, sebelum anak-anak negeri yang berkesempatan pulang kampung kembali ke merantau.
Mereka bertutur “kita harus bersyukur bahwa justru di tengah banyak hal yang dialami masyarakat, tetapi pemeliharaan Tuhan dan Leluhur selalu ada. Dan bersyukur atas keadaan yang telah dialami itu adalah cara orang-orang Likat mengungkapkannya dalam adat rhilin nus. Karena itu, selain ada doa adat yang dibawakan oleh ketua adat dari marga Sambono, sayapun diminta untuk membawakan doa kepada Tuhan yang lebih besar dari leluhur itu. Pengakuan ini sungguh sangat teologis bagi saya sebagai pendeta. Bahwa sekalipun mereka tetap merasakan peneliharaan Leluhur bagi anak cucu, tetapi sumber dari segala sesuatu adalah Tuhan Yang Besar itu.
Setelah kami bersiap di rumah adat, kami menuju alun-alun desa yang telah dipadati oleh ribuan masyarakat. sampai di pusat desa itu, ketua adat kemudian membawakan doa adat. Selesai berdoa ada seeokor binatang (babi) yang disembeli dengam cara di pukul, ditikam kemudian dipotong bagian telinganya. Darah yang keluar kemudian dicampur dengan makanan (nasi) yang telah didoakan sebagai simbol berkat itu. Setelah itu ada dua anak lelaki dan perempuan yang pertama kali memakan makanan itu, barulah seluruh masyarakat (kebanyakan anak-anak) bersamaan memakannnya. Biasanya orang berebut makanan itu hingga ludes.
Beberapa orang tua menjelaskan kepada saya bahwa kebanyakan anak-anak yang berebut makanan sebab mereka akan meneruskan keturunan dan beranak cucu bagi negeri ini. Memakan makanan tersebut dipercaya akan memberika keturunan yang banyak. Biasanya keluarga-keluarga yang belum memiliki anakpun terlibat merebut dan memakannya.
Sambil makan, ibu-ibu yang sudah siap dengan air kemiri maupun wijan memercik ke udara dan diarahkan kepada semua masyarakat supaya kenal. Hal ini dimaksudkan bahwa akan ada perlindungan dari segala macam musibah sia-sia, wabah penyakit maupun kesialan-kesialan. Semua masyarakat akan berjalan dalam keselamatan.
Setelah itu, semua masyarakat dilingkari dengan tali yang diambil sari pepohonan. Tua-tua adat akan memastikan semua masyarakat tepat berada dalam lingkaran tali tersebut. Berada di luar tali, akan membawa petaka dalam perjalanan hidup mereka. setelah kami memastikan semua masyarakat tepat berada di dalam tali, baru sebagai pendeta kami berdoa untuk pengampunan dan keselamatan hidup masyarakat serta meminta penyertaan Tuhan Yang Besar itu datang dari empat penjuru mata angin.
Biasanya anak-anak Likat di rantau akan memilih kembali setelah melakukan adat ini, supaya di tanah rantau mereka terjaga dalam keselamatan yang sama.
Sebagai pelayan, saya terus bersyukur menjadi bagian dari jejak-jejak adat yang injili di Likat. Bahkan ikut menjaga, merawat dan melestarikannya. Di atas tanah ini kami menikmati pertumbuhan injil yang terus mengakar dalam budaya setempat dan menjadi bagian dari berjalan bersama di Likat – Rumah Bersama.
Salam penuh kasih dari rumah bersama Maryo Lawalata