Peluang Pengembangan Wisata Religi di Maluku Oleh : Eko Sugiarto

oleh
oleh
Eko Sugiarto. FOTO : DOK. PRIBADI

Akhir Desember 2018, saya berkesempatan terlibat dalam pelatihan pemandu wisata bagi sopir taksi yang beroperasi di sekitar Bandara Pattimura Ambon (Terasmaluku.com, 27/12/2018). Di sela-sela acara yang difasilitasi oleh PT Angkasa Pura I Bandara Pattimura Ambon ini, saya sempat berbincang ringan dengan beberapa sopir taksi. Sangat menarik mendengar berbagai daya tarik wisata yang potensial dikembangkan di Ambon khususnya dan Maluku pada umumnya.

Salah satu yang kemudian menyita perhatian saya adalah terkait dengan semakin minimnya permainan tradisional Bambu Gila (atau masyarakat setempat menyebutnya Buluh Gila atau Bara Suwen) untuk disajikan kepada wisatawan sebagai sebuah daya tarik wisata. Salah seorang sopir yang cukup senior bercerita kepada saya bahwa dahulu dia sering mengantar wisatawan untuk menyaksikan permainan Bambu Gila. Namun, beberapa tahun terakhir menurut dia sudah jarang sekali tradisi unik yang sering dikaitkan hal mistis ini dia saksikan. Bahkan menurut dia, di salah satu daerah yang dulu dia ketahui ada beberapa pawang Bambu Gila, saat itu (akhir tahun 2018) tinggal dua orang pawang. Itu pun sudah jarang mengadakan permainan Bambu Gila.

Permainan tradisional Bambu Gila diyakini melibatkan roh para leluhur. Roh leluhur yang sengaja dipanggil oleh pawang dalam permainan ini akan memberikan kekuatan mistis kepada bambu yang digunakan sehingga batang bambu tersebut “menggila” atau terguncang. Semakin lama guncangan ini semakin kuat sehingga sulit untuk dikendalikan.

Ada dua jenis media yang dipakai untuk memanggil roh leluhur dalam permainan ini, yaitu kemenyan dan jahe. Situs web https://indonesia.go.id menyebutkan bahwa sebelum pertunjukan Bambu Gila dimulai, pawang akan membakar kemenyan yang diletakkan di dalam tempurung kelapa sembari membaca mantra dalam “bahasa tanah” (salah satu bahasa tradisional Maluku). Setelah itu, asap kemenyan diembuskan ke batang bambu yang akan digunakan. Jika menggunakan media jahe, jahe dikunyah oleh pawang sambil membacakan mantra kemudian disemburkan ke bambu.

Permainan dan/atau pertunjukan yang diyakini melibatkan roh semacam Bambu Gila bisa ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Tarian Salai Jin (Maluku Utara), Kecak dan Calon Arang (Bali), Jathilan (Jawa Tengah), dan Sigale-gale (Sumatera Utara) adalah untuk menyebut beberapa di antaranya. Permainan dan/atau pertunjukan tradisional yang melibatkan unsur magis ini ternyata menarik minat kalangan tertentu sehingga berpotensi dijadikan sebagai daya tarik wisata (di beberapa daerah yang disebutkan sebagai contoh di atas bahkan sudah menjadi daya tarik wisata). Permainan dan/atau pertunjukan semacam itu umumnya kita masukkan dalam kategori daya tarik wisata budaya, meskipun sebenarnya menurut saya jika ingin dimasukkan ke dalam kategori wisata religi juga bukan sebuah pilihan yang keliru.

Mungkin ada di antara pembaca yang kurang bersepakat ketika saya melontarkan wacana untuk masukkan permainan dan/atau pertunjukan tradisional yang diyakini melibatkan kekuatan magis ke dalam jenis wisata religi. Akan tetapi, jika kita tengok kembali definisi “wisata religi” dari kata per kata, saya memasukkan jenis wisata semacam ini menjadi bagian dari wisata religi bukan tanpa alasan.

BACA JUGA :  7 Rumah Warga Kapaha Ambon Terbakar

Istilah “wisata religi” terdiri atas dua kata, yaitu “wisata” dan “religi”. Secara umum, wisata didefinisikan sebagai kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi, atau tujuan lain dalam jangka waktu tertentu yang bersifat sementara atau tidak menetap dan diakhiri dengan kembali ke tempat asal (Kamus Istilah Pariwisata Indonesia, 2019). Sementara definisi religi adalah kepercayaan terhadap adanya kekuatan adikodrati (melebihi atau di luar kodrat alam) di atas manusia (Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kelima, 2016). Dengan demikian, “wisata religi” dapat didefinisikan sebagai kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu yang dikaitkan dengan kepercayaan terhadap kekuatan adikodrati untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi, atau tujuan lain dalam jangka waktu tertentu yang bersifat sementara atau tidak menetap dan diakhiri dengan kembali ke tempat asal.

Jika kita telusuri literatur, religi memang merupakan salah satu unsur kebudayaaan. Menurut Koentjaraningrat (2002), ada tujuh unsur kebudayaan yang dapat ditemukan pada semua bangsa di dunia, yaitu (1) bahasa; (2) sistem pengetahuan; (3) organisasi sosial; (4) sistem peralatan hidup dan teknologi; (5) sistem mata pencaharian hidup; (6) sistem religi; dan (7) kesenian. Setiap unsur kebudayaan tersebut terdiri atas subunsur yang merupakan sebuah entitas yang sangat kompleks.

Lebih lanjut Koentjaraningrat menyebutkan bahwa unsur religi dalam kebudayaan terdiri atas subunsur emosi keagamaan, subunsur sistem keyakinan, subunsur sistem upacara religi, dan subunsur umat yang menganut religi tersebut. Subunsur ini pun masih terlalu luas jika mesti dibahas satu per satu. Oleh karena itu, kita ambil salah satu subunsur sebagai contoh, yaitu sistem upacara religi.

Dalam sistem upacara religi, setidaknya ada empat aspek yang bisa dijadikan sebagai pusat perhatian (Koentjaraningrat, 2002), yaitu (1) tempat upacara dilakukan; (2) waktu pelaksanaan; (3) benda-benda dan alat-alat upacara; serta (4) orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara. Contoh aspek pertama adalah makam, candi, pura, kuil, gereja, masjid, surau, dan sebagainya. Contoh aspek kedua adalah hari-hari tertentu yang dianggap suci, hari-hari tertentu yang dianggap keramat atau sakral, saat-saat tertentu dalam sehari (pagi, siang, sore, tengah malam), dan sebagainya. Contoh aspek ketiga adalah arca-arca yang melambangkan dewa-dewa atau tokoh yang dihormati atau disakralkan, senjata atau benda pusaka, alat-alat bunyi-bunyian (lonceng, seruling, genderang, dan sebagainya). Contoh aspek keempat adalah pendeta, biksu, kiai, juru kunci, pawang, dukun, dan sebagainya.

Terkait dengan waktu pelaksanaan upacara religi, di Indonesia banyak sekali upacara yang biasa digelar. Upacara peringatan atau selamatan untuk seseorang, misalnya. Sejak dia masih dalam kandungan (biasanya usia tujuh bulan), saat dilahirkan (pada hari kelahiran), setelah beberapa hari dilahirkan (misal usia 35 hari), ulang tahun, khitanan, perkawinan, naik takhta atau penobatan kepala suku, bahkan sampai pada upacara yang terkait dengan kematian.

BACA JUGA :  BPJS Kesehatan Tetap Jamin Pelayanan Katarak, Rehabilitasi Medik Dan Bayi Baru Lahir Sehat

Sistem upacara religi dengan berbagai aspek yang disebutkan di atas dimiliki oleh hampir semua suku bangsa yang ada di Indonesia, termasuk tentunya yang ada di Maluku. Jika digali secara serius, sistem upacara religi dengan berbagai aspeknya tersebut berpotensi untuk dikembangkan sebagai sebuah daya tarik wisata.

Permainan dan/atau pertunjukan yang diyakini melibatkan roh semacam Bambu Gila selama ini dikelompokkan dalam wisata budaya karena memang termasuk ke dalam unsur kesenian sebagai salah satu unsur kebudayaan. Meskipun demikian, tidak ada salahnya jika kita masukkan jenis permainan dan/atau pertunjukan semacam ini ke dalam kelompok wisata religi karena permainan dan/atau pertunjukan semacam ini dipercaya melibatkan “kepercayaan terhadap adanya kekuatan adikodrati (melebihi atau di luar kodrat alam) di atas manusia”. Selain itu, untuk kepentingan kajian yang lebih fokus saya kira hal ini memungkinkan untuk dilakukan. Terlebih di Maluku sudah ada kampus yang membuka Program Studi Pariwisata Budaya dan Agama sehingga memasukkan permainan dan/atau pertunjukan yang diyakini melibatkan roh baik ke dalam kategori wisata budaya seperti yang dilakukan selama ini maupun memasukkannya ke dalam kategori wisata religi yang lebih khusus merupakan sebuah pilihan yang sangat memungkinkan untuk diambil.

Sebagai penutup untuk mengakhiri tulisan ini, izinkan saya mengutip sebagian isi artikel berjudul “Potensi Pariwisata Maluku dan Ketersediaan Sumber Daya Manusia” yang ditulis Yamres Pakniany (Terasmaluku.com, 7/2/2020). Dalam salah satu bagian, Pakniany menyebutkan bahwa upaya pengelolaan objek wisata di Maluku membutuhkan kesiapan sumber daya manusia (SDM) yang memadai sebab jika SDM Maluku tidak memadai dalam bidang pariwisata maka potensi wisata yang dimiliki tidak dapat dikelola dengan baik. Upaya untuk mempersiapkan SDM di bidang pariwisata antara lain diwujudkan oleh Institut Agama Kristen Negeri Ambon dengan membuka Program Studi Pariwisata Budaya dan Agama.

Menurut Pakniany, pembukaan prodi ini bertujuan mempersiapkan SDM yang mumpuni di bidang pariwisata yang diharapkan bisa memberi kontribusi terhadap pembangunan pariwisata di Maluku. Salah satu yang menarik dalam konteks tulisan ini menurut saya adalah kajian terhadap wisata religi menjadi bagian dari kurikulum program studi ini. Oleh karena itu, hal yang menurut saya mendesak dilakukan oleh berbagai pemangku kepentingan di bidang pariwisata di Maluku untuk mengembangkan wisata religi adalah berkolaborasi untuk melakukan aksi nyata. Minimal kajian tentang identifikasi dan inventarisasi potensi daya tarik wisata religi adalah sebagian yang bisa dilakukan. Syukur kalau sudah dilakukan. Potensi ada, institusi baik dari pemerintah maupun akademisi juga ada. Lantas mau tunggu apa lagi?***

 Penulis adalah dosen di Sekolah Tinggi Pariwisata Ambarrukmo Yogyakarta.

No More Posts Available.

No more pages to load.