Generasi 80an tentu familiar dengan lagu Sio Mama ciptaan Melky Goeslaw atau Donci For Mama yang dipopulerkan Broery Pesolima. Lalu dekade 90 dan seterusnya melahirkan lagu Mama ciptaan Jerry Sapteno yang dipopulerkan Loela Drakel. Ada juga lagu berjudul Pangku Mama, Inga Mama Pung Kata Kata, Mama Beta Rindu Lawang E, Karingat Mama, Mama Jantong Hati, Untuk Mama hingga Satu Tetes Aer Susu Mama yang hits bersama Doddie Latuharhary. Selain ini, ada banyak sekali lagu Ambon yang bercerita tentang “mama” sebagai episentrum peradaban. Simbol “mama” selalu sederhana namun sangat mempengaruhi memori hidup dan melintasi waktu. Ada pengakuan yang abadi.
deng kain sarung mama dukong beta e
tangan mama sapu sapu di kapala
manangis padede deng babanting
Mama sabar……
seng inga makan seng tidor
asal jaga mama pung sayang e
(Satu tetes Aer Susu Mama)
“Mama” adalah sumber utama kehidupan. Ia memainkan peran dan fungsi yang sangat aktif dalam merawat kehidupan. Rudi Rahabeat menyebut, peran seorang “mama” juga termanifestasi dalam penyebutan gandong atau kandung. Ada relasi keluarga dan sosial yang imajiner. Judit Tiwery, dosen pada Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STKAN) Ambon mengakui bahwa orang Maluku sangat menghayati identitas mereka yang terbangun atas tatanan naratif kehidupan melalui peran para leluhur (alifuru ina) sebagai “Ina” yang inklusif. Ina yang melahirkan dan memberi kehidupan tanpa pamrih.
sambil mama bakar sagu
mama manyanyi la buju buju
la sampe basar bagini
beta tra lupa mama e
(Sio Mama)
Figur “mama” juga ditahbiskan sebagai representasi Tuhan dalam kehidupan. Sakral dan dijaga. Banyak sekali lagu tentang “mama” yang berhubungan secara tegak lurus dengan kuasa Sang Pencipta. Ada penyerahan diri. Kadang lagu-lagu itu jadi sarana melepas beban hidup, rindu kampung halaman atau menjadi pengingat tentang pentingnya relasi kekeluargaan dalam frame “pela gandong”.
asal saja Tuhan sayang
kasih katorang umur panjang
sio mama……
katorang cinta dorang samua
(Donci For Mama)
Tradisi menjaga “mama” ini bahkan berdampak pula pada penempatan perempuan sebagai penguasa tunggal di rumah. Mama Nyora adalah gelar kebangsawanan yang menunjukan loyalitas dan kesetiaan. Hanya ada satu “mama”. Begitu juga biasnya pada kehidupan “nona-nona”. Mereka ikut dihormati dan ada kesan kuat tak akan disakiti. Mungkin karena kelak mereka akan jadi mama yang sumber kehidupan itu. Dalam lagu Parcuma misalnya yang dipopulerkan oleh Nanaku, ketidakpastian masa depan membuat laki-laki mengalah dan menyerahkan urusan hidupnya pada keputusan sang “nona”. Sebuah melodi gender yang jarang ditemukan dalam budaya di tempat lain.
“kalo ada yang mo maso minta. nona tarima saja. jang ale pikir beta lai”.
Dalam perspektif yang lebih milenial, jika hubungan cinta terpaksa berakhir, cara menyampaikannya juga dibuat seromantis mungkin. Tentunya lewat lagu. “seng usa…seng usa inga lai. katong pu cinta dolo dolo di jalan maso batu gong. Seng usa…seng usa manangis lain. ini memang katong pung jalan….”. (Seng Usa lai dari Doddie). Belum lagi pemujaan terhadap nona lewat” Caca Kerudung Biru” nya Helmy Sahetapy yang memabukkan itu atau “Cinta Sakota” punya Mitha Talahatu.
BACA SELANJUTNYA