Donci For Mama Oleh : Asghar Saleh, Budayawan Kie Raha

oleh

Saking hormatnya pada “mama” sebagai representase kebaikan perempuan yang tanpa cacat, perilaku perempuan Ambon yang tak sama dengan mama juga dibuatkan lagu. Satirenya sangat genit. Ada batas antara mama dan bukan mama. Gambaran mama yang memakai kabaya, suka berdendang sambil membujuk, tempat berkeluh kesah, rajin bekerja dan jadi bagian penting dari cinta Tuhan tak ditemukan dalam lagu yang dinyanyikan Corr Tetelepta ini.

oh yakomina elo elo
ale pung gaya ta ero ero
katong samua dapa tipu e
deng se pung rok pende
dapa lia paha e

oh yakomina elo elo
biking beta seng dapa sono
dimana mana orang carita se
su ana lima
tapi gaya ana muda e
(Nona Yakomina)

Eksistensi lagu-lagu Ambon yang begitu menghormati perempuan menjadi anti tesa jika diperhadapkan dengan fenomena musik kekinian yang banyak mengeksplorasi posisi perempuan sebagai entitas yang lemah. Dikte industri musik kita yang dimonopoli koorporasi besar seperrti Sony, BMG Music Entertainment, Warner Music Group dan EMI Group memang memaksa industri musik bermain pada bisnis yang “merendahkan” perempuan. Parahnya, kapitalisme model ini mendapat sambutan pasar yang signifikan.

Jadilah lagu popular didominasi tema-tema yang merendahkan itu. Perempuan adalah obyek yang menderita, jadi simbol seks, pasif dan tak punya kuasa. Sedangkan laki laki dinarasikan sebagai hero. Simak lagu” Madu Tiga”nya Ahmad Dhani, “Telat Tiga Bulan” punya Jamrud atau lagu lagu seperti Cinta Satu Malam, Hamil Duluan, Mobil Bergoyang, Wanita Lubang Buaya hingga Paling Suka 69 punya Julia Perez. Yang menyesakkan, sebagian besar lagu lagu ini dipopulerkan oleh penyanyi perempuan.

Benarlah kata Edgar Allan Poe, penyair sekaligus kritikus Amerika, “the death of beautiful woman is unquestionably, the most poetical topic in the world”.

Melalui lagu, orang Ambon sejatinya tengah merawat hegemoni perempuan sebagai sumber kehidupan. Mereka menolak upaya merendahkan perempuan. Tak juga berjuang secara atraktif menuntut kesetaraan karena posisi perempuan dalam kosmologi lokal dikonstruksikan lewat figur mama yang sejak dulu berkedudukan lebih tinggi. Mama adalah “moral fortess” yang terus dirawat dalam lagu dan ingatan. Ia istimewa dan tak tergantikan.

Sir Wiliam Golding, penulis kelahiran Inggris yang memenangkan Nobel Sastra tahun 1983 memberi sebuah provokasi hebat dengan menyebut, “Kupikir perempuan itu bodoh bila berlagak bahwa Ia setara dengan laki-laki. Perempuan jauh lebih hebat sejak dulu. Apapun yang kau berikan, Ia akan membuatnya jadi lebih besar. Kau beri Ia setetes mani, Ia akan memberimu bayi. Kau beri Ia bangunan, Ia akan memberimu rumah tangga. Jika Ia kau beri belanjaan, Ia akan membuatkan makanan. Jika kau beri Ia satu saja senyuman, Ia akan memberimu hatinya. Perempuan melipatgandakan dan membesarkan apa saja yang diberikan kepadanya. Jadi, kalau kau memberinya sampah, bersiaplah untuk menerima satu ton kotoran”.

Asghar Saleh, mukim di Ternate Maluku Utara

No More Posts Available.

No more pages to load.