Museum Siwalima Gelar Diskusi Budaya Bapake Maluku, Ini Rekomendasinya

oleh
oleh
Museum Siwalima Provinsi Maluku, menggelar diskusi terpumpun bertema Budaya Bapake, di salah satu hotel di Kota Ambon, Selasa (14/12/21). FOTO : ISTIMEWA

TERASMALUKU.COM,-AMBON-Menutup akhir tahun 2021, Museum Siwalima Provinsi Maluku, menggelar diskusi terpumpun bertema Budaya Bapake, di salah satu hotel di Kota Ambon, Selasa (14/12/21).

Diskusi dibuka secara resmi oleh Plt Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Maluku, Insun Sangadji.  Dalam sambutannya, Sangadji menyatakan pentingnya diskusi ini untuk memahami secara mendalam cara berbusana atau cara bapake orang Maluku apalagi di era milenial yang bisa saja sudah tidak lagi dilakukan dengan benar oleh generasi masa kini.

‘’Semoga diskusi ini bisa menjadi kajian penting bagi nilai-nilai bapake orang Maluku, apalagi dengan menghadirkan para narasumber yang luar biasa, ’’ harapnya.

Diskusi yang menghadirkan tujuh pakar dengan latar belakang berbeda ini mengupas sub tema diskusi Membedah Budaya Bapake Busana Tradisional Maluku di Era Milenial.

Ke tujuh narasumber itu yakni Dr. Semmy Touwe, M.Pd, Ketua Prodi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Pattimura (Unpatti) yang mengupas sejarah perkembangan motif atau toune pada pakaian daerah Maluku Tengah.

Lantas ada Dra. F.Sahusilawane, M.H, budayawan Maluku yang menjelaskan tata krama bapake busana daerah orang Ambon.

Selanjutnya Prof.Dr. Hermien .L. Soselisa, MA dosen Prodi Sosiologi FISIP Unpatti, yang membahas tentang transformasi budaya bapake yang asli ke era milenials.

Sedangkan terkait regulasi atau aturan hukum yang menjadi dasar perkembangan budaya bapake di Maluku, dihadirkan Dr. Jemmy J. Pietersz, SH, MH pakar Hukum Tata Negara Unpatti.

Selanjutnya dari sisi perwakilan anak muda Maluku, hadir Audra T. Pattiasina, S.Pd, M.Pd, pendiri sekaligus ketua Komunitas Jujaro yang mengupas cara pandang kaum milenial memahami budaya bapake di era ini.

Dan yang tak kalah menarik hadir pelaku usaha sekaligus desainer Elfira Hehanussa yang juga pemilik Bgaya by Efie, yang membahas pemahaman desainer tentang budaya bapake dan bagaimana kreatifitas melahirkan karya-karya terbaik tanpa mengubah tatanan budaya bapake yang sudah ada.

Meski sangat dibutuhkan kehadirannya, namun Ketua DPRD Maluku, Lucky Watimury yang diharapkan kehadirannya untuk membahas ada tidaknya peraturan daerah tentang budaya bapake ini berhalangan hadir dalam diskusi ini.

Dipandu Insany Syahbarwaty Pimpinan Redaksi Ambonkita.com, diskusi dilaksanakan hampir tiga jam ini mengupas berbagai hal seputar bapake.

BACA JUGA :  Jelang Natal, Dinas Perhubungan Dan Kesehatan Ambon Periksa Kesehatan Gratis Sopir Angkot

Menurut Semmy Touwe dari hasil risetnya dia menemukan beragam motif atau symbol yang disebut toune dalam Bahasa lokal yang menunjukkan makna tertentu dari setiap bentuk dan symbol yang ada di busana Maluku dalam hal ini busana Maluku Tengah.

‘’Toune ini tidak sembarang digunakan, yang ada di trotoar jalan-jalan atau yang di berbagai sudut kota itu salah penggambaran motifnya, jadi taka da makna yang sacral lagi di sana,’’ tegas Touwe.

Bagi Touwe, pelukisan ulang motif di atas kain atau bahan apapun semestinya tetap mengikuti symbol yang sudah diwariskan turun temurun, karena memiliki nilai dan arti yang sakral.

‘’Jangan sembarangan mengubah motif tersebut, sebab setiap toune memiliki makna dan nilai sakralnya sendiri-sendiri,’’ paparnya.

Sementara budayawan Maluku F. Sahusilawane menjelaskan penggunaan busana tradisional harusnya disesuaikan dengan peruntukkannya, jangan sembarangan mengubah bentuk, pola atau memodifikasi busana yang sudah ada. Selain itu menurutnya penggunaan busana ini juga harus sesuai acara yang dituju.

‘’Tidak bisa busana untuk pernikahan dipakai untuk menari, atau dipakai sehari-hari, tidak bisa juga busana untuk anak gadis dipakai orang yang sudah menikah atau sebaliknya,’’ jelas Sahusilawane.

Hal senada disampaikan Prof Mien Soselissa, Sosiolog Unpatti ini memastikan budaya memang berkembang namun tataran nilai statsi dan ini yang menjadi dasar atau pijakan perubahan.

‘’Budaya memang dinamis mengikuti perkembangan jaman, tapi nilai-nilai tidak boleh berubah, sehingga mau sedinamis apapun perkembangannya, akar budaya akan tetap mempertahankan nilai, ini yang harus dipahami anak muda sekarang,’’ tegas Prof Mien.

Dia mengakui perubahan budaya terutama busana memang luar biasa cepat seiring perubahan jaman, selain adanya akulturasi budaya, namun cara bapake itu sudah baku sesuai aturan nilai yang ditetapkan leluhur Maluku. ‘’Ini yang harus dipertahankan,’’ harapnya.

Terkait regulasi, menurut pakar hukum tata negara, Jemmy Pietersz, harus dibedakan antara legasi untuk mengatur atau mengatur dan memaksa, jika hanya mengatur maka tata aturannya jelas pesan nilai harus sampai karena hal ini juga terlihat jelas pada undang-undang pemajuan budaya.

‘’Undang-undang nomor 5 tahun 2017 tentang pemajuan kebudayaan sudah merancang sedemikian rupa bagaimana budaya dapat berkembang namun dengan tata nilai yang dijaga, ini yang semestinya menjadi dasar dalam pembuatan perda atau regulasi apapun di tingkat lokal, terkait budaya bapake ini, apakah regulasi yang mengatur saja, atau mengatur dan memaksa,’’ tegas Jemmy.

BACA JUGA :  Menko Perekonomian Minta RS Tetap Siapkan Obat Meski Tidak Ada Pasien Covid-19

Dari sisi milenals, Audra Pattiasina yang mewakili komunitas Jujaro mengungkapkan sekaligus mengusulkan perlu adanya kurikulum di sekolah-sekolah untuk mengajarkan tata cara bapake busana tradisional yang benar dan jika ada yang coba melanggar hal tersebut baru buat regulasinya.

‘’Jangan salahkan anak-anak milenials, kita tidak menerima langsung warisan budaya bapake tersebut, tidak dari orang tua kita, juga tidak dari sekolah, sementara kita ada di situasi yang berubah, kita generasi digital yang secara global mengikuti perkembangan dunia,’’ jelas Audra.

Sementara menurut Efie Hehanussa sebagai pelaku industry dirinya berharap ada banyak referensi yang bisa dia gunakan sebagai dasar dalam mengolah kreatifitasnya sebab ada sejumlah distorsi jika tidak memahami dasar motif dan makna symbol.

‘’Dunia desain itu, dunia kreatif sehingga harus kita pahami betul pakem mana yang boleh dan tidak dalam penerapan atau aplikasi ke modifikasi, ini perlu diberi pemahaman yang dalam,’’ jelas pemilik desain batik dengan motif lokal Maluku ini.

Menutup diskusi ini, Jean Saya, Kepala Museum Siwalima, menegaskan hasil diskusi terpumpun ini akan dirancang sebagai rekomendasi untuk ditujukan ke pihak terkait agar dapat menindaklanjuti rekomendasi tersebut.

‘’Hasil rekomendasi adalah bagian penting dari diskusi ini karena semua informasi yang kami dapatkan dalam diskusi ini menjadi hal yang bisa kami terapkan di Museum Siwalima sekaligus menyampaikan kepada public tentang apa yang menjadi aturan baku dalam budaya bapake orang Maluku, ‘’ jelas Jean.

Pasca digelarnya diskusi ke enam narasumber menandatangani rekomendasi diantaranya berisi usulan kepada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota dan Provinsi untuk menyiapkan kurikulum muatan lokal di sekolah tentang Budaya Bapake dan tata busana tradisional yang baik.

Selain itu rekomendasi juga ditujukan kepada 11 kabupaten / kota di Maluku agar melakukan riset dan mengumpulkan semua symbol dan motif untuk memastikan hak cipta bisa didaftarkan sebagai pemilik sah warisan budaya tersebut. (***)

No More Posts Available.

No more pages to load.