Pulau-pulau adalah anugerah Sang Kuasa. Pulau-pulau adalah kisah tentang hidup dan perjuangan. Tentang tantangan dan peluang. Tentang nestapa dan tertawa. Tentang air mata dan mata air. Ijinkan saya berbagi empat cerita dari pulau-pulau di Kabupaten Maluku Barat Daya, di antaranya Moa, Lakor dan Sermata.
Pertama, Tiakur, ibukota yang sedang ranum. Ya, Tiakur. Berada di pulau Moa. Pulau penghasil kerbau Moa yang sohor itu. Berkendara pada malam hari, jangan tancap gas kuat-kuat. Pelan-pelan saja. Sebab tiba-tiba saja kerbau Moa lewat, bukan satu tapi lebih dari tiga. Supir yang mengantar kami bercerita pernah ada celaka karena pengendara tidak waspada. Saya juga pernah dengan cerita, entah fakta atau fiktif, bahwa kerbau-kerbau itu datang dari Australia melalui sebuah terowongan rahasia di dasar laut yang menghubungkan Australia dan pulau Moa.
Apapun ceritanya, kerbau Moa memang ada di sana sampai hari ini dan nanti. Para pedagang Bugis-Makassar sering datang membeli dan membawa kerbau-kerbau untuk niaga. Orang Moa juga punya siasat. Jika bertanya, berapa jumlah kerbau yang mereka miliki. Spontan mereka menjawab “sedikit saja”. Kata teman saya, jawaban ini ada kaitannya dengan pajak Belanda. Dulu, masih menurut cerita kawan saya, jika para pemilik kerbau mengatakan jumlah kerbau banyak, maka mereka akan kena pajak tinggi. Maka jawab yang paling keren adalah, “sedikit saja”.
Tentu saja, bicara tentang pulau Moa tidak hanya soal kerbau. Kota yang terus berbenah itu memiliki dinamika pembangunan yang intens. “Dulu di sini hutan belukar” ungkap Bapak John Leunupun, mantan Camat Moa. Saat kami bersua pagi hari ia tersenyum melihat Tiakur yang makin maju. Tapi sekali lagi, Moa bukan hanya Tiakur. Ada desa Klis yang belum punya jalan raya semulus Tiakur. Ada desa Tonwawan yang masih berjuang memperoleh akses internet yang memadai. Ada dinamika dan problematika di pulau Moa yang perlu terus disikapi dengan sigap dan bijak demi kesejahteraan masyararakat di pulau yang indah ini.
Kedua, Sermata dan Luang dua pulau bersaudara. Gereja Protestan Maluku membentuk satu Klasis yang diberi nama Luser, Luang Sermata. Klasis terdiri atas sepuluh jemaat. Dua jemaat di pulau Luang, yakni Luang Timur dan Luang Barat, sisanya di pulau Sermata.Ketua Klasis GPM Luang Sermata, Pdt Neles Mosse. Di jemaat Lelang yang berada di pulau Sermata ada madu yang paling manis. Madu yang diambil di pepohonan dan di balik karang. Pendeta Noce Latue yang pernah melayani di Lelang sering mempromosikan madu itu. Untuk tiba di pulau Sermata dari pulau Moa jika menggunakan jolor, transportasi lokal, memerlukan waktu sekira enam jam.
Jika menggunakan kapal Sabuk Nusantara jarak tempuh sekira sebelas jam, karena menyinggahi pulau Lakor juga. Desa-desa di Sermata butuh sentuhan pembangunan. Infrastruktur jalan dan telekomunikasi perlu terus ditingkatkan. Tentu saja, sarana transportasi laut akan terus dioptimalkan pemerintah. Di pulau Sermata ada Pelabuhan Mahaleta yang dapat disinggahi kapal. Tapi jika musim ombak, kapal tidak bisa sandar dan akan berlabuh di desa Lelang, yang merupakan pusat kecamatan Mdona Hyera.
Orang-orang Luang-Sermatang adalah pelaut pemberani. Walau ombak dan gelombang mereka tetap tegar. Bapak Eka Malioy dari Luang Timur misalnya tangkas bermain gelombang kencang saat kami bertolak dari Moa ke Sermata pada suatu subuh yang berangin. Pulau Luang juga memiliki jejak sejarah yang unik. Beberapa wilayah di Maluku memiliki hubungan sejarah dengan pulau Luang. Orang Kei misalnya, merunut salah satu asal usul leluhurnya berasal dari pulau Luang.
Ketiga, Bawang Merah dan Kambing Lakor. Doktor Rony Kunda alumni Universitas Gajah Mada Yogyakarta pernah meneliti tentang kambing Lakor. Salah satu temuannya, kambing lakor memiliki keunggulan tertentu. Alam dan lingkungan membentuk genetika kambing Lakor. Air dan rumput yang terbatas serta suhu tinggi, telah membentuk spesies kambing Lakor yang unik. Ini juga memberi pesan simbolik tentang daya juang masyarakat pulau-pulau. Meskipun ada tantangan dan keterbatasan, tetapi itu tidak membuat masyarakat pasrah tetapi terus berjuang untuk tetap eksis dan produktif.
Produk lainnya adalah Bawang Merah Lakor yang gurih. Saya membeli beberapa kilo untuk dibawa pulang ke rumah. Data BPS menyebutkan bahwa Lakor adalah nama sebuah kecamatan yang berada di Kabupaten Maluku Barat Daya, provinsi Maluku, Indonesia, dan ibukota kecamatan berada di desa Werwawan. Luas wilayah kecamatan ini sekitar 303,02 km² dan penduduk ditahun 2020 berjumlah 2.282 jiwa. Ada pelabuhan kapal di desa Werwawan dan berbagai upaya pembangunan terus diupayakan di pulau yang indah itu. Pulau ini merupakan bagian dari Klasis GPM Leti-Moa-Lakor dengan Ketua Klasisnya, Pdt Melky Timisela.
Keempat, merajut solidaritas antar pulau. Cerita tentang tiga pulau di antara pulau-pulau di Kabupaten Maluku Barat Daya merupakan cerita tentang dinamika dan problematika serta prospek masyarakat. Merujuk pada etnografi antroplog Branislaw Malinowski (1922), antara lain tentang “Kula Ring” di Trobriand Papua New Gini. Kula ring adalah sistem pertukaran ekonomi antar pulau yang bukan saja membawa manfaat ekonomi tetapi juga politik. Dengan adanya sistem ini maka masyarakat pulau-pulau terintegrasi dapat saling memberi dan menerima satu sama lain.
Tentu praktik perkawinan antar pulau juga merupakan intrumen integrasi masyarakat. Masyarakat di pulau-pulau di Kabupaten Maluku Barat Daya kiranya makin terintegrasi dan saling memperkuat, di topang oleh peran negara (pemerintah) yang signifikan, dan diikat pranata budaya setempat. Salah satunya adalah ungkapan “Kalwedo” yang bukan hanya sebuah sapaan pembuka percakapan, tetapi merupakan “ring penghubung” antar masyarakat pulau-pulau melalui bahasa atau ungkapan pemersatu.
Kiranya masyarakat di pulau-pulau makin sejahtera, seiring waktu yang kian berputar. Kiranya sumber daya alam dan sumber daya manusia makin diolah secara bijak, sehingga masyarakat tidak merana dan kehilangan arah. Ombak masalah pasti ada. Tidak ada lautan yang tidak bergelora, namun dengan adanya komitmen, kerja keras dan kerja cerdas serta solidaritas yang makin kuat maka ziarah pelayaran kehidupan di pulau-pulau tetap dinikmati sebagai anugerah. Kalwedo ! (RR)