Tanah Wadas, Jundullah Fawwas

oleh
oleh
FOTO : ISTIMEWA

“Kalau Kita Tidak Melawan, Lalu apa Yang Bisa Kita Tinggalkan Untuk Anak dan Cucu Kita Nanti.”

(-Warga Wadas-)

Wadas, desa ini indah sekali, pohon-pohon masih tinggi menjulang, tanahnya masih basah dan menumbuhkan pepohonan yang besar-besar, belum lagi dengan dari pohon-pohon itu banyak buah yang terdapat ditiap dahan-dahannya, mulai dari Durian sampai Kopi Khas Masyarakat Wadas semuanya ada disana, “Desa Ini tidak perlu negara lagi, toh sudah hidup kok desanya.” Ucap salah satu kawan “Bahkan disaat negara tidak ada, desa ini tetap ada.” Ditimpal kembali salah satu kawan yang ikut duduk dalam diskusi itu. Kita tidak lagi berlebih-lebihan untuk memuji desa ini, sendiri yang kita alami setelah sampai di desa yang beberapa hari lalu mengalami tindakan represif aparat itu.

Sayang-nya, desa ini dibuat gaduh dengan rencana pemerintah yang ingin mengambil batu Andesit yang resikonya bisa berdampak kelingkungan warga, rencana pemerintah ini membuat hubungan warga jadi tidak harmonis, kerukunan antara warga dibuat  berantakan hanya gegara rencana pemerintah. Pro dan Kontra membuat masyarakat jadi terpecah menjadi dua kubu, “Kami dulu harmonis banget mas, tapi setelah adanya agenda pemerintah untuk mengambil batu Andesit pada desa kami, imbasnya ke kehidupan kami sesame masyarakat.” Begitu kira-kira keluh seorang ibu yang menjadi korban dari salah satu agenda nasional pemerintah ini.

Selain pemerintah tangan-tangan aparat juga bermain dalam agenda yang katanya menjadi salah satu prioritas pemerintah yang menjabat saat ini, mereka yang katanya jadi pengayom justru brutal dalam menghadapi warga yang hanya mengandalkan dzikir dan doa saja, pentungan sepatu bahkan seragam mereka yang dipakai dari hasil masyarakat justru menjadi symbol memusuhi masyarakat, saya jadi teringat kisah yang dinukil dari buku “The Great Of Two Umars”  dalam buku ini membahas sosok  Umar yang perlu diteladani tiap pemipin.

Salah satu kisah yang ditulis dalam buku ini adalah sikap Umar bin Khattab terhadap tanah si kakek Yahudi, satu waktu datang seorang kakek yahudi mengadu atas nasib gubuknya terhadap Umar bin Khattab, rupanya tanah yang dia tempati ingin dimiliki oleh seorang sahabat yang bernama Amr bin Ash, jadi Amr bin Ash ini adalah Gubernur Mesir dimasa Umar bin Khattab menjadi Khalifah, Amr bin Ash yang kebetulan tinggal dalam sebuah Istana yang megah dan disamping Istana yang dia  tempati terdapat sebuah gubuk reyot yang hampir robih milik si kakek tua Yahudi, Amr ingin sekali membangun sebuah Masjid yang megah pada tanah itu, tetapi dia terkendala karena gubuk reyot si kakek tua itu masih ditempati oleh beliau.

Karena tahu gubuk itu masih ditempati oleh si kakek, si kakek kemudian dipanggil menghadap Amr bin Ash, sang gubernur kemudian menyampaikan maksud hati mengundang sang kakek ini dan meminta beliau untuk menjual tanah tersebut, tetapi sang kakek tetap kukuh tidak akan menjual tanah yang dimilikinya walaupun di tawari dengan bayaran tiga kali lipat, lagi-lagi sang kakek tetap tidak goyah. Amr bin Ash kemudian memaksa sang kakek “ Jika kubayar lima kali lipat, apakah engkau akan melepaskannya? Tanya amir. “Tidak,Tuan” tegas sang kakek. “Aku akan tetap tidak menjualnya, sebab hanya itu satu-satunya harta yang kumiliki.”  Apakah engkau tidak akan menyesal dengan keputusan ini? Nada ancaman itu keluar dari mulut seorang Gubernur Mesir saat itu. “Tidak” kakek itu ucap penuh mantap.

BACA JUGA :  MUI Maluku Minta Fraksi PKS Kawal Penolakan RUU HIP

Sebakdah meninggalkan Istana, aturan-pun dikeluarkan, sang Amir tetap ngotot ingin mengambil tanah itu dan kemudian dibangun sebuah masjid yang megah untuk kepentingan banyak umat dan membuat mereka nyaman dalam Ibadah, si kakek pasrah dengan keputusan itu. Tapi dia tidak berkecil hati justru dengan kejadian ini memantapkan hatinya untuk menemui sang khalifah, Umar bin Khattab. Dia bertanya setelah sampai disekitaran kota tempat sang Khalifah “Istana Khalifah dimana? Tanya-nya, kemudian ditunjukilah tempat sang khalifah, dia dibuat kaget, rupanya kehidupan gubernur dengan sang khalifah berbeda jauh, sang khalifah tinggal pada sebuah istana yang megah sementara sang khalifah  hanya tinggal pada halaman masjid Nabawi yang beralaskan pohon kurma.

Apa perlu-mu, datang jauh-jauh dari Mesir, menjumpaiku di Madinah? Tanya Umar bin Khattab, usai mengetahui sang tamu dari Mesir. Kemudian sang kakek tua memberitahu maksud kedatangannya, “maksudku, kesini hendak melaporkan, apa yang menimpahku. Gubuk yang ku-punya satu-satunya hendak dirobohkan Gubernur Amr bin Ash untuk mendirikan Masjid yang megah, padahal itu satu-satunya yang hartaku yang ku-punya.”

Mendengar peristiwa itu membuat sang Amir marah, “Amr bin Ash, begitu keterlaluan” kemudian dia perintahkan sang kakek yahudi mencari sepotong tulang, sang kakek bingung. Maksud hati ingin mencari keadilan tapi justru yang terjadi dia diperintahkan mencari tulang, tetapi tetap dia lakukan, setelah mendapatkan tulang itu, kemudian dia berikan kepada Umar bin Khattab, Umar kemudian memberikan garis lurus pada tulang itu sembari berpesan kepada sang yahudi : “Pulang-lah lalu berikan tulang ini kepada gubernur Mesir. Sang Yahudi kemudian menggugat, “Maaf Amir, aku datang kemari untuk mencari keadilan, tapi aku dibuat bingung dengan tulang yang tuan berikan yang tidak berharga ini” gugatnya, sang amir tidak marah tetapi justru tersenyum sembari berucap, “Wahai orang yang menuntut keadilan, sungguh pada tulang ini, ada keadilan yang engkau inginkan.” Tutup sang Amir.

BACA JUGA :  SKK Migas–KKKS Pamalu Bagikan JPS Untuk Tenaga Medis dan Jurnalis di Manokwari

Kemudian dengan hati yang kurang memuaskan, sang kakek itu tetap pulang membawa tulang yang sudah di garis-kan oleh Umar itu, sesampainya di Mesir, dia kemudian memberikan tulang itu kepada Amr bin Ash, sebakdah melihat tulang itu Amr bin Ash tetiba tubuhnya menggigil,wajahnya pucat penuh takut. Sontak lagi-lagi membuat sang yahudi ini kaget, tidak percaya “Apa-apa lagi ini” ucapnya dalam  hati. Sang gubernur kemudian memerintah bawahaanya untuk membongkar Masjid yang baru saja dibangun,”Bentar dulu ya amir, jangan dulu robohin masjid ini” ucap sang yahudi. “apa lagi?” Tanya sang gubernur, “terkait tulang itu, apa isi pesannya?” Tanya si yahudi, “jadi isi pesan dari tulang itu adalah ancaman dari sang khalifah.

“Hai, Amr bin Ash, ingatlah siapapun kamu sekarang dan betapa tinggi pangkat dan kekuasaanmu, suatu saat nanti kamu pasti berubah menjadi tulang yang busuk, karena itu bertindaklah adil seperti huruf alif yang lurus, adil ke atas dan adil ke bawah. Sebab jika kamu tidak bertindak demikian pedangku yang akan bertindak dan memenggal lehermu.”

Sang kakek yahudi kemudian terharu mendengar pesan itu di kemudian hari dia pun memilih untuk memeluk Islam.

Kisah ini perlu saya ambil sebagai contoh untuk para pemimpin kita saat ini, betapa pentingnya berlaku adil kepada masyarakat, sayang-nya dalam kisah Wadas dan Kisah si Yahudi ini mendapatkan kejadian yang sama tetapi berbeda nasibnya. Si yahudi satu tetapi dia mempunyai pemimpin yang bisa melihat dengan kacamata yang adil sehingga dia mendapatkan keadilan yang dia minta, berbeda dengan kisah teman-teman di Wadas, teman-teman di Wadas banyak tetapi karena pemipinnya tidak bisa melihat problem yang terjadi dengan kacamata yang adil, maka yang terjadi hari ini adalah jeritan-jeritan yang mereka dapatkan.

Kisah mereka semakin berbeda sebab Umar bin Khattab dan Amr bin Ash tidak sama seperti Joko Widodo dengan Ganjar Pranowo, padahal dulu ada orang yang menganggap Pak Jokowi mirip dengan Umar bin Khattab sebab dekat dengan rakyat, ya sama-sama dekat dengan rakyat tapi sikapnya berbeda, yang satu dekat untuk membantu sementara yang satu dekat untuk menyusahkan rakyatnya. Yang satu malam-malam membawa gandum untuk memberkannya kepada masyarakat yang belum makan yang satu lagi buat aturan malam-malam untuk mencekik rakyat.

Saya tutup tulisan ini dengan satu ucapan teman saat kami menjenguk teman-teman yang ada di Wadas, kata teman saya, “Wadas itu tanah surga, sebab disana tumbuh subur banyak hasil alam, jadi kalau ada yang menilai tanah Wadas tidak subur, rasanya dia perlu main-main ke tanah Wadas.”

Penulis : Santri Kalong, Toma Hijrah Maluku, Mahasiswa di Yogyakarta (***)

No More Posts Available.

No more pages to load.