RUU TPKS untuk Maluku Yang Lebih Baik, Sebuah Catatan Reflektif Perempuan Maluku di Hari Pengesahan RUU TPKS

oleh
oleh
aktifis perempuan Lusi Peilouw. FOTO : ISTIMEWA

Sebuah sejarah terukir dalam kehidupan Bangsa Indonesia hari ini, 12 April 2022. Akhirnya Indonesia memiliki Undang-undang khusus untuk korban Kekerasan Seksual dan untuk Indonesia yang lebih bermartabat tanpa kejahatan kemanusiaan ini.

Hari ini pun, adalah hari yang ditunggu dengan penuh harap oleh ribuan korban yang sebelumnya tidak bisa mendapatkan keadilan karena adanya ruang kosong dalam bangunan hukum di negara kita, korban yang laporannya tidak ditangani dengan baik pada institusi-institusi penegak hukum. Juga, tentu merupakan hari yang membahagiakan bagi para pendamping korban, aktivis, jurnalis, akademisi dan masyarakat luas yang selama ini ikut memperjuangkan.

Di sinilah terminal akhir dari perjalanan panjang sejak wacana dibutuhkannya payung hukum untuk melindungi korban kekerasan seksual mulai didiskusikan di kalangan aktivis. Di antaranya ada Kalyanamitra, yang belajar dari pengalaman mengadvokasi kasus-kasus Kekerasan Seksual sejak 1998, mulai mengkampanyekan kesadaran publik menggugah negara akan kewajibannya melindungi rakyat dari tindak kejahatan seksual.

Sejak 2014, mereka mulai mendiskusikan pentingnya negara menghadirkan payung hukum bagi Korban Kekerasan Seksual. Para Aktivis lalu menyatukan gerakan dalam Jaringan Masyarakat Sipil (JMS) untuk advokasi RUU PKS (nama RUU waktu itu), yang kemudian memperluas jejaring dan gerakan ke daerah se nusantara.

Beberapa waktu berselang, Forum Pengada Layanan (FPL) dan KOMNAS Perempuan melalui Program MAMPU kemudian menyusul dengan mengkonsolidasikan pengalaman korban dan pendamping dari 135 LSM dari Aceh sampai Papua. Di Maluku ada Yayasan LAPPAN dan Yayasan GASIRA di dalamnya. Melalui kegiatan-kegiatan MAMPU, kedua lembaga ini mengorganisir kampanye mendukung RUU PKS di Ambon dan Maluku Tengah.

JMS dan FPL menjadi wadah ratusan aktivis berjuang untuk RUU Pro Korban ini. Jalanan yang dilewati cukup berliku. Tidak sedikit up and down sebagai dinamika legislasi, berawal pada tahun 2016.

Pada awal 2016 DPR RI menerima pemikiran KOMNAS Perempuan tentang RUU PKS, selanjutnya dibahas dan ditetapkan masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2016. Sempat dijanjikan pula bahwa RUU tersebut akan disahkan pada masa sidang tahun itu. Namun, politik legislasi ternyata tidak semudah mengumbar janji kampanye dalam pesta demokrasi. Hingga selesai periodisasi DPR RI 2014-2019, RUU itu tidak kunjung disahkan. Walaupun begitu, masyarakat sipil terus bergerak.

Setelah duduk para legislator untuk periode 2019-2024, gerakan advokasi dilanjutkan. Ketika itu, salah satu dari 4 legislator asal Maluku ditugaskan partainya untuk masuk ke dalam Badan Legislasi (Baleg) DPR RI. Beliau adalah Bpk. Hendrik Lewerisa, SH, LLM dari Partai Gerindra. Beliau kemudian menjadi mitra berjuang kami.

Agustus 2020, JMS Maluku yang didominasi aktivis millennial (Suara Milenial Maluku – SMM) mendekati beliau dan menyerahkan Penyataan Sikap meminta DPR RI memasukan RUU PKS ke dalam Prolegnas 2020, didasarkan pada sejumlah fakta di Maluku yang sudah dalam situasi darurat.

Kepada beliau kami pun menitipkan 3 isu besar yakni 1). kepentingan perlindungan korban berbasis kepulauan. Jauh dari Ambon, jauh pula akses korban mendapatkan perlindungan dan pemenuhan haknya; 2). Tingginya impunitas yang salah satunya penyebabnya adalah penerapan hukum adat. Realita yang terus dilawan namun sulit dimenangkan karena kekuatan otoritas pimpinan adat serta jauhnya rentang jangkauan lembaga layanan dari korban; 3). Sulitnya menggalang keberpihakan pemerintah daerah yang masih sangat minim dan ikut merugikan korban. Ketiga isu crusial dari Maluku ini pun diperjuangkan dalam advokasi kami bersama JMS Nasional dan FPL.

Situasi pandemic memungkinkan proses pembahasan di Senayan Jakarta bisa diikuti oleh semua pihak di luar secara daring. Melalui platform youtube maupun facebook, kami menyaksikan betapa arena pembahasan RUU di DPR RI saat itu laksana pentasan drama dengan berbagai lakon, Dari yang humanis dan realistis hingga yang penuh  fantasi.

BACA JUGA :  Cegah Penyebaran Corona, BPJS Kesehatan Terapkan Kebijakan Khusus

Sayang 1000 sayang, RUU yang ditunggu korban dan pendamping ini dikeluarkan dari Prolegnas Prioritas 2020. Bisa dibayangkan gejolak bathin yang dialami oleh semua pihak yang berjuang.

Namun, sangatlah kami syukuri bahwa di awal 2021, RUU PKS kembali diakomodir dalam Prolegnas Prioritas 2021 sebagai RUU usulan Baleg. KOMNAS Perempuan dan Masyarakat Sipil berkonsolidasi semua sumberdaya yang dimiliki memberikan berbagai bentuk dukungan, dengan harapan dapat disahkan pada tahun 2021 itu. Namun lagi-lagi harapan itu harus pupus.

Memasuki tahun 2022 ini, harapan itu muncul lagi, pada saat ibu Puan Maharani, Ketua DPR RI, memgemakan RUU TPKS dalam pidato pembukaan tahun sidang 2022. Pemerintah, juga KOMNAS Perempuan dan kami masyarakat sipil bahu membahu menyiapkan DIM, menggelar forum-forum diskusi untuk menghimpun input. Hingga pada pada tanggal 28 Maret 2022 DIM hasil kerja keras Pemerintah dengan kontribusi pemikiran dan pengalaman berbagai pihak itu dipresentasikan ke PANJA RUU TPKS. Pada tanggal 4 April, 322 butir DIM tuntas dibahas. Didalamnya termasuk hal-hal yang berkaitan dengan ketiga isu krusial yang Maluku perjuangkan.

Selepas finalisasi pembahasan DIM bersama pemerintah, proses perampungan kerja PANJA melalui tim musyawarah dan tim harmonisasi berlangsung cepat.  Maka tibalah hari yang dinantikan ini. Pengesahan bukan lagi janji dan harapan kosong.

Undang-Undang TPKS yang disahkan hari ini ikut memuat 3 isu krusial dari Maluku dalam beberapa pasal, seperti berikut ini.

Pasal 76, mengatur tentang Penyelenggaraan Pelayanan terpadu di Provinsi dan Kabupaten/Kota. Ayat (2)menegaskan kewajiban Pemerintah Daerah provinsi dan kabupaten/kota membentuk UPTD PPA yang menyelenggarakan Penanganan, Pelindungan, dan Pemulihan Korban, Keluarga Korban, dan/atau Saksi. Ayat (3) mengatur tugas UPTD PPA secara komprehensif mulai dari menerima laporan atau penjangkauan Korban hingga, memberikan layanan kesehatan, penguatan psikologis, rehabilitasi sosial, pemberdayaan dan reintegrasi, menyediakan layanan hukum, menyelenggarakan pemperdayaan ekonomi dan pemantauan seluruh proses peradilan. Di ayat ini pun (2) huruf j, menugaskan UPT PPA untuk mengoordinasikan dan bekerja sama atas pemenuhan Hak Korban dengan lembaga lainnya;

Lebih lanjut Pasal 77 membuka ruang bagi UPTD PPA untuk dalam melaksanakan tugas dan fungsinya dapat bekerja sama dengan berbagai pihak terkait, termasuk dengan  Lembaga Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat.

Sebagai masyarakat sipil, kami akan mendorong terbentuknya lembaga-lembaga layanan berbasis masyarakat di pulau-pulau, paling tidak dengan memanfaatkan sumberdaya seperti organisasi keagamaan di tiap desa atau kecamatan. Hal ini akan membantu menjangkau korban di pulau-pulau yang selama ini menjadi kegelisahan kami.

Mengenai tingginya Impunitas pelaku dalam konteks masyarakat adat, UU TPKS memberikan payung hukum bagi masyarakat untuk mengadvokasi kasus Kekerasan Seksual di desa/negeri atau komunitas adatnya, diberikan pada 2 pasal berikut. Pertama, Pasal 19 yang berbunyi: Setiap Orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan/atau pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka, terdakwa, atau Saksi dalam perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.

Kekuatan yang kedua adalah Pasal 23, yang malah menegaskan bahwa Perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku Anak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang. Proses peradilan yang dimaksud dimulai sejak pelaporan di kepolisian.

Jadi, untuk Maluku, tokoh adat tidak boleh lagi main hakim sendiri menyelesaikan Kasus Kekerasan Seksual secara adat. Masyarakat pun tidak perlu takut untuk melaporkan kasus ke UPTD PPA ataupun langsung ke kepolisian. Kedua institusi ini wajib menindaklanjut setiap laporan dugaan tindak pidana Kekerasan Seksual.

Apalagi, Pasal 85 menyediakan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pencegahan, pendampingan, pemulihan, dan pemantauan terhadap Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Bagian ini menjadi kekuatan untuk masyarakat di desa atau komunitas adat untuk mencegah dan melaporkan kasus Kekerasan Seksual yang terjadi, sebelum langkah penyelesaian secara adat dilakukan.

BACA JUGA :  DPRD Maluku Harapkan Investasi Bidang Perkebunan Bawa Dampak Positif

Tentang keberpihakan Pemerintah Daerah, Pasal 79 s/d 83 memberikan kewajiban kepada Pemerintah Daerah untuk melakukan pencegahan, penanganan dan pemantauan. Dibandingkan dengan Undang-Undang lain seperti UU Perlindungan Anak, UU Penghapusan KDRT dan UU Pemberantasan TPPO, maka terlihat UU TPKS ini mendetailkan hal-hal teknis yang wajib dilaksakan oleh pemerintah.

 

Undang-undang ini mewajibkan negara memfasilitasi pembayaran restitusi kepada korban, jika pelaku terbukti tidak memiliki kemampuan finansial yang cukup. Pasal 35 memberikan tanggungjawab kepada pemerintah untuk menghadirkan victim trust fund atau dana bantuan bagi korban kekerasan seksual. Artinya, dengan cara apapun, hak korban tetap mesti dipenuhi ioleh negara. Di daerah, Pemerintah Provinsi maupun Kabupaten/Kotalah yang merupakan duty bearer (pemegang kwwajiban).

Untuk Maluku, pasal-pasal ini menjadi angin segar. Pemerintah Daerah yang selama ini menganggap urusan perlindungan korban adalah urusan tidak penting, bersiaplah melakukan transformasi dan reformasi birokrasi.

 

Selain mendapatkan 3 hal Krusial yang selalu kami perjuangkan itu, kami pun bersyukur dengan diaturnya 9 bentuk Kekerasan Seksual, yang akan memberikan perlindungan dan kepastian hukum dan keadilan bagi korban.

 

Akhir tahun 2020 lalu, Yayasan INAATA Mutiara Maluku menangani satu kasus Kekerasan Seksual yang dialami seorang perempuan paruh baya di di Lease. Sayangnya kasus tersebut tidak bisa diproses oleh kepolisian, karena tidak ada pasal dalam KUHP yang bisa dipakai untuk menjerat pelaku. Akhirnya pengaduan kasus tersebut tidak dapat ditindaklanjuti oleh Polresta P Ambon PP Lease.

UU TPKS kemudian memberikan sandaran hukum untuk kasus seperti ini. Pasal 4 ayat (2) huruf gmengkategorinya sebagai Eksploitasi Seksual. Pemidanaan untuk pelaku kemudian diatur dalam Pasal 12 atau 13. Jelas, UU TPKS ini akan menjawab hak korban akan keadilan bagi dirinya.

Undang-undang ini belum sempurna. Pasal pemerkosaan misalnya yang menurut kami hanyalah seperti permen atau gula-gula untuk menenangkan sesaat. Tetapi sampai sebatas yang ada sekarang, kami patut menyatakan salut dan apresiasi bagi semua pihak yang telah memperjuangkannya.

Saya mewakili perempuan dan anak-anak korban Kekerasan Seksual, penyintas dan pendamping yang selama ini mendambakan keadilan dan kesejahteraan hadir pulau-pulau yang jauh, di batas-batas NKRI ini, menyatakan apresiasi kami yang setinggi-tingginya kepada ibu dan Bapak Pimpinan dan Anggota DPR RI, khususnya Pak Hendrik Lewerisa yang tetap pegang komitmen untuk mendukung RUU ini walaupun secara institusi Fraksi Parta Gerindra tidak secara resmi menyatakan dukungan.

Saya ingat, ketika RUU PKS di drop dari Prolegnas 2021, beliau memberikan harapan kepada saya, pasti akan masuk di tahun depan. “seng usah kuatir deng beta pung komitmen, I am a man with commitment” kata beliau dari Jakarta melalui sambungan telpon. Dangke banya bung!

Kami menghaturkan terimakasih dan apresiasi kepada Pemerintah dalam hal ini Kementerian PPPA dan Kemeterian Hukum dan HAM, yang sangat partisipatif dan akomodatif pada tahapan penyaiapan dan pembahasan DIM.

Juga apresiasi kami yang setinggi-tingginya kepada Bapak/Ibu pimpinan dan anggota Baleg dan PANJA RU TPKS DPR RI, serta semua Tenaga Ahli Baleg untuk komitmen politik yang luar biasa dalam seluruh proses legal drafting RUU TPKS.

Hari ini, kami yakini sebagai awal dari langkah kita bersama untuk menghapus status Darurat Kekerasan Seksual dari bumi Maluku tercinta, dari Indonesia, untuk Indonesia yang lebih humanis dan bermartabat.

Penulis  : Lusi Peilouw, Jaringan Masyarakat Sipil untuk Advokasi RUU TPKS  / Direktur INAATA Mutiara Maluku

No More Posts Available.

No more pages to load.