Catatan dari Ngaibor Kepulauan Aru Oleh: Pendeta Rudy Rahabeat

oleh
oleh

Roban o roban ronga ona na bailo…. Cakalang cakalang banyak banyak di Ngaibor, burung talang duduk di atas. Naik sampan ke laut panggayo ke laut, panggayo tongka dengan ikan…”. Kutipan lagu Roban Ronga berlatar kepulauan Aru ciptaan Kace Kailem ini pasti dihafal oleh para siswa sekolah dasar tahun 80-an, termasuk saya. Lagu itu menceritakan lautan Arafura yang kaya dengan aneka sumber daya laut, ikan, udang, lobster, lola dan batu laga termasuk mutiara. Juga senja yang indah di pantai Ngaibor. Saya mengalami senja itu dan benar-benar memesona. Berikut saya torehkan lima catatan ringkas ketika tiga hari tinggal di desa Ngaibor Kecamatan Aru Selatan Kabupaten Kepulauan Aru Provinsi Maluku.

Pertama, kemiskinan di hamparan kekayaan. Ini sebuah paradoks. Bapak Labok mengajukan pertanyaan sekaligus gugatan pada sesi panel diskusi jelang Sidang ke-10 Klasis GPM Aru Selatan. “Benarkah kemiskinan disebabkan oleh kemalasan atau struktur politik ekonomi yang tidak adil?”.

Kekayaan alam kepulauan Aru sangat melimpah tapi kenapa rakyatnya masih terlilit kemiskinan? Ini pertanyaan yang tajam dan subtantif. Tesis tentang “orang pribumi malas?” seperti dikaji oleh Syed Hussein Alatas (1977) mengkritisi pemahaman demikian sebagai bagian dari warisan kolonial. Stigma ini melempar kesalahan kepada masyarakat setempat dan tidak melihat adanya faktor-faktor struktural yang menyebabkan kemiskinan. Bahwa kita perlu mendorong daya juang dan kerajinan masyarakat untuk mengembangkan potensi sumber daya alamnya tentu tak dinafikan. Tetapi mereduksi fakta kemiskinan semata soal faktor kultural dan mengabaikan faktor struktural tentu merupakan sebuah kenaifan. Olehnya diperlukan cara pandang baru serta kritik diri (self critic) dari semua pihak, termasuk dari pihak pemerintah atau negara.

Kedua, pemerataan akses telekomunikasi dan benturan budaya digital. Belum semua desa di kepulauan Aru terhubung dengan jaringan telekomunikasi. Ini tentu memerlukan kerja keras pemerintah dan kerjasama dengan pihak terkait (Telkomsel) untuk mempercepat pendirian tower-tower di desa-desa. Hal ini selaras dengan konteks era digital yang tak terelakan saat ini. Kebijakan negara terkait transformasi digital diharapkan merata di seluruh Nusantara, termasuk di kepulauan Aru. Di sisi lain, perlu mengantisipasi adanya benturan budaya ketika masyarakat memasuki era digital. Sebagaimana setiap teknologi memiliki kekuatan dan kelemahannya maka benturan budaya digital perlu disiati dengan bijak. Dalam kaitan ini maka edukasi dan literasi digital perlu ditingkatkan. Sebagai contoh, masyarakat perlu bijak bermedia sosial, menggunakan media sosial untuk hal-hal positif dan produktif, tidak sekedar konsumtif apalagi menyebarkan berita tidak benar, konten kekerasan, termasuk kejahatan siber (cyber crime). Dalam kaitan ini, aksentuasi pembinaan umat Gereja Protestan Maluku (GPM) menyangkut transformasi digital merupakan ide cerdas yang perlu terus diterjemahkan dalam tindakan-tindakan konkrit yang menolong masyarakat memiliki ketahanan digital dan mempercepat kesejahteraan bersama.

BACA JUGA :  Media Berperan Penting Bangun Masyarakat Sadar Vaksin

Ketiga, toleransi antar agama yang patut diteladani. Saat Wakil Bupati Kepulauan Aru, Muin Sogalrey, SE dan rombongan tiba di pantai desa Batu Goyang Aru Selatan, hujan turun. Rombongan dari Gereja Protestan Maluku (GPM) hadir bersamaan dengan peresmian gedung Gereja Imanuel Batu Goyang dan pembongkaran serta peletakan batu pembangunan gedung gereja Effata Jemaat GPM Batu Goyang. Saat tiba di tepi pantai tokoh adat Batu Goyang menyambut para tamu undangan dengan sapaan dan tarian adat. Selanjutnya ada tarian dari ibu-ibu Majlis Taklim Nurul Huda Batu Goyang dan Paduan Suara ibu-ibu Katolik dan Protestan Desa Batu Goyang. Suasana kebersamaan lintas agama terasa sangat mengharukan. Wakil Bupati yang juga berasal dari Desa Batu Goyang itu pada saat meletakan batu dan meresmikan gedung gereja menandaskan ikatan persaudaraan tiga agama yang sudah terbangun sejak leluhur, dan perlu terus dieratkan untuk kemajuan bersama. Wakil Bupati yang ramah dan murah senyum itu menegaskan bahwa persaudaraan lintas agama merupakan kekayaan masyarakat Aru yang perlu terus dijaga dan dikembangkan ke masa depan. Satu hal yang mengharukan saya adalah Wakil Bupati dan rombongan saat tiba di Batu Goyang diguyur hujan. Mereka tetap bertahan dengan baju yang basah hingga kering di badan. Semua demi memberi layanan dan perhatian kepada umat dan masyarakat. Ini sebuah keteladanan yang luar biasa. Para pemimpin yang menyatu dengan rakyatnya saat hujan maupun panas.

Keempat, peningkatan kualitas sumber daya manusia Aru. Ketua Klasis GPM Aru Selatan, Pendeta Decky Oraile menegaskan tentang pentingnya peningkatan kualitas sumber daya manusia. Gereja menunjukan keseriusan itu dengan menata dan mengembangkan sekolah-sekolah yang dikelola oleh GPM melalui Yayasan Dr JB Sitanala. Pdt Andre Paliyama, Sekretaris pusat Yayasan Dr JB Sitanala yang hadir untuk memfasilitasi Rapat Tahunan Dr JB Sitanala Daerah Aru Selatan juga menegaskan hal yang sama. Paliyama menyebutkan bahwa pada bulan Juli 2022 akan meluncurkan Sekolah Model Berbasis Ekstrakurikuler yang akan berlangsung di Dobo Ibukota Kabupaten Kepulauan Aru. Langkah-langkah serius dan strategis gereja ini merupakan bagian dari arak-arakan bersama pemerintah dan stakeholder lainnya untuk mewujudkan salah satu amanat konstitusi negara yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Diyakini bahwa jika sumber daya manusia dan masyarakat Aru makin tertingkatkan maka hal itu berkorelasi dengan percepatan kemajuan dan kesejahteraan masyarakat, khususnya dalam mengelola berbagai hasil alam yang ada di kepulauan yang berjulukan Jargaria itu.

BACA JUGA :  Hadiri Pemecahan Rekor Muri Santap Papeda, Gubernur Maluku : Luar Biasa

Kelima, jeritan Cendrawasih dan kelestarian lingkungan Aru. Cenderawasih burung surga. Ini merupakan salah satu satwa khas kepulauan Aru. Sayangnya, keberadaan burung cantik ini mulai dibayangi kepunahan. Hal ini juga berkaitan dengan lingkungan alam yang memungkinkan satwa tetap hidup. Hal lain yang muncul akhir-akhir ini adalah masalah hak-hak ulayat dan perebutan ruang hidup, khususnya tanah dan petuanan. Kasus desa Marafenfen di Aru Selatan yang mencuat beberapa waktu ini terkait dengan penguasaan tanah antara masyarakat dan pihak Lantamal (Angkatan Laut) merupakan isu yang cukup menarik perhatian publik. Selain proses hukum dan komunikasi antar pihak, tetapi hal ini berkaitan pula dengan isu lingkungan yang perlu mendapat perhatian semua pihak. Gerakan Save Aru yang pernah mencuat sebagai bentuk resistensi terhadap rencana masuknya perusahaan perkebunan sawit, perkebunan tebu dan lainnya, merupakan persoalan yang kompleks yang mesti didekati dengan pendekatan yang komprehensif. Di sini komunikasi dan kerjasama antar masyarakat, antar pemerintah dan masyarakat termasuk dengan investor perlu diletakan dalam perspektif yang setara, adil dan mensejahterakan.

Demikian beberapa catatan yang saya bagikan kepada publik. Seperti lagu Roban Ronga yang mengapresiasi kekayaan alam dan manusia Aru yang gesit mencari ikan cakalang, maka diharapkan dan perlu keseriusan serta sinergisitas semua pihak agar masa depan masyarakat di kepulauan Aru harus makin sejahtera di atas tanah dan air mereka yang subur dan kaya itu. Jirjir Duai merahmati ! (RR).

No More Posts Available.

No more pages to load.