TANPA terasa sidang ke-43 Majelis Pekerja Lengkap (MPL) Sinode GPM yang berlangsung enam hari di Piru Kabupaten Seram Bagian Barat, telah memasuki hari terakhir (Jumat, 4/11/21). Berbagai agenda mengalir dari hari ke hari. Laporan pertanggungjawaban Majelis Pekerja Harian Sinode GPM, rapat-rapat komisi serta pleno komisi berlangsung lancar.
Para peserta yang datang dari 34 Klasis di Maluku dan Maluku Utara saling berbagi gagasan, pengalaman dan rencana ke masa depan. Bukan saja masalah-masalah internal gereja yang dibicarakan tetapi juga merespons dinamika eksternal pada aras lokal, nasional bahkan global. Berikut beberapa catatan singkat terkait dinamika sidang yang berlangsung setahun sekali ini.
Pertama, bayang-bayang kegelapan ekonomi. Tak dapat dipungkiri bahwa bayang-bayang krisis dan resesi ekonomi yang diprediksikan terjadi tahun 2023 turut memberi tantangan tersendiri bagi umat manusia, termasuk umat beragama. Bagaimana strategi gereja dan agama-agama untuk mengantisipasi krisis dan resesi tersebut? Apa saja yang perlu disiapkan untuk menghadapi gejolak ekonomi yang berlangsung di aras lokal, nasional dan global. Ini tentu bukan perkara gampang.
Olehnya penggunaan diksi “kegelapan ekonomi” merupakan sinyalemen tentang seriusnya masalah krisis dan resesi ekonomi itu. Harga barang-barang meningkat, masalah lapangan kerja dan kenaikan harga BBM, serta daya kebertahanan masyarakat merupakan realitas yang perlu dicermati dengan cermat. Ibarat kisah tujuh tahun kelimpahan dan tujuh tahun kelaparan di tanah Mesir, maka diperlukan langkah-langkah terencana dan terukur serta menjamin keberlanjutan hidup. Dinamika sidang MPL memberi input tentang pentingnya membangun ketahanan pangan lokal, pengembangan ekonomi kecil dan menengah serta pola hidup sederhana (ugahari).
Kedua, advokasi masalah pertambangan dan isu lingkungan hidup. Isu pertambangan dan krisis lingkungan hidup merupakan isu yang menonjol dalam Sidang MPL tahun ini. Kasus tambang marmer di kecamatan Taniwel Kabupaten Seram Bagian Barat, tambang emas di pulau Buru, Blok Migas Masela, tambang Nikel di Desa Kawasi pulau Oby Maluku Utara, merupakan titik-titik panas yang sedang dihadapi oleh masyarakat di lingkaran tambang dan atau wilayah perkebunan. Bukan rahasia umum lagi bahwa masyarakat di lingkaran tambang bukanlah makin makmur, tetapi makin sengsara. Ini memang sebuah ironi. Pdt Rein Tupan, salah seorang peserta MPL membahasakannya dengan diksi yang miris. “Investasi dengan dalih untuk kesejahteraan masyarakat, ternyata hanya topeng semata”.
Dibutuhkan skema dan strategi advokasi yang jitu dan berkelanjutan untuk menjawab masalah-masalah tersebut. Diperlukan komitmen yang kuat untuk mengerjakan advokasi, integritas dan keberanian untuk tetap konsisten pada jalan kebenaran dan tidak mudah kompromi dengan kepentingan-kepentingan sesaat. Dalam kaitan ini perlu pula peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) masyarakat di lingkar tambang agar mereka dapat berperan aktif subtantif dan bukan sekedar menjadi penonton atau sekedar menjadi tenaga security dan cleaning service.
Ketiga, mengarusutamakan demokrasi dan spirit kebangsaan Indonesia. Pada hari pertama sidang MPL dibicarakan pula soal-soal menjelang tahun politik 2024. Meski gereja sebagai lembaga tidak terlibat dalam politik praktis, tetapi gereja perlu memberi arah dan pendidikan politik bagi umat dan masyarakat pada umumnya. Edukasi ini perlu dikerjakan secara serius guna membangun kesadaran demokrasi dan partisipasi dalam berbagi iven demokrasi, khususnya di tahun 2024. Terkait hal ini, maka selain pernak pernik demokrasi prosedural, tetapi perlu juga dicermati demokrasi substansial.
Terhadap hal ini, Prof John Titaley menulis begini: “Menjelang Pipres 2024 kini situasi politik bangsa mulai memanas. Sayangnya, memanasnya Pilpres itu masih diwarnai oleh masalah tradisional sejak lahirnya Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, yaitu persaingan antara ideologi Islam Politik dan Pancasila. Sebagai gereja, GPM tidak dapat melepaskan diri dari menyikapi keadaan ini, karena GPM berada di Indonesia, bukan di Maluku saja” (Titaley:2022). Kutipan ini mengajak kita melihat masalah agenda demokrasi tidak hanya menyangkut aspek-aspek teknis prosedural semata, melainkan terkait pula dengan kritik ideologi yang masih terus digumuli bangsa ini. Di sini pilihan terhadap Pancasila merupakan hal yang final.
Keempat, perlunya kemitraan yang kritis dan strategis. Menyikapi berbagai persoalan yang muncul di dalam gereja dan masyarakat, maka dibutuhkan kemitraan yang kritis dan strategis. Gereja dan agama-agama tidak dapat berjalan sendiri, tetapi perlu berjalan bersama dengan pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya. Kemitraan ini bertujuan untuk mempercepat kesejahteraan masyarakat.
Terkait hal ini penting menyimak 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang mencakup: (1) Tanpa Kemiskinan; (2) Tanpa Kelaparan; (3) Kehidupan Sehat dan Sejahtera; (4) Pendidikan Berkualitas; (5) Kesetaraan Gender; (6) Air Bersih dan Sanitasi Layak; (7) Energi Bersih dan Terjangkau; (8) Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi; (9) Industri, Inovasi dan Infrastruktur; (10) Berkurangnya Kesenjangan; (11) Kota dan Permukiman yang Berkelanjutan; (12) Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab; (13) Penanganan Perubahan Iklim; (14) Ekosistem Lautan; (15) Ekosistem Daratan; (16) Perdamaian, Keadilan dan Kelembagaan yang Tangguh; (17) Kemitraan untuk Mencapai Tujuan. Semua tujuan pembangunan ini dapat diwujudkan ketika terjadi kolaborasi dan sinergi antar semua pihak atas dasar keadilan dan kebenaran serta kasih.
Kelima, menjadi komunitas peziarah yang demokratis holistik. Ecclepinus Sopacuaperu, dosen Fakultas Teologi UKIM Ambon mengedepankan pentingnya communion deum, communio humanum dan communio mundum. Communio deum adalah persekutuan dengan Allah Tritunggal. Communio humanum adalah persekutuan dengan sesama manusia. Sedangkan communio mundum merujuk pada persekutuan dengan seluruh bumi.
Perspektif ini menjadi penting agar kita tidak terjebak dalam pendekatan yang terlampau memuliakan manusia (antroposentrisme) dan melupakan pentingnya keutuhan ciptaan (ekosentrisme). Perspektif ini berkaitan erat dengan sub tema pembinaan GPM tahun 2023 yakni: “Memperkuat gereja dan pembangunan demokrasi serta hidup bersama yang berkelanjutan di tengah perubahan zaman”. Sebagai komunitas peziarah (communio viatorum) gereja senantiasa senantiasa terbuka untuk pembaruan dan memperkuat komitmen untuk saling merangkul dan saling menghidupkan.
Demikian beberapa catatan singkat dari arena Sidang MPLS GPM tahun 2022. Di antara dinamika percakapan peserta, semerbak minyak kayu putih Seram turut mengharumi ruang sidang. Dalam arak-arakan ziarah menuju satu abad GPM, tentu gereja orang basudara ini tetap bersandar pada kasih Allah yang menuntun, Yesus Kristus Gembala yang baik, dan Roh Kudus yang menguatkan gereja laut pulau ini untuk terus menanam dan menyiram sembari tetap percaya Allah pasti menumbuhkan.
Messe ! (RR)