TERASMALUKU.COM,-AMBON-Lembaga Bantuan Hukum dan Klinik Hukum (LBHKH) Fakultas Hukum Universitas Pattimura Ambon, menggelar Focus Group Discussion (FGD) tentang Ambon Kota Ramah Hak Asasi Manusia (HAM).
Ketua LBHKH Fakultas Hukum Unpatti Ambon, DR. Julista Mustamu, saat membuka kegiatan di Ambon, Senin (28/11/2022) menjelaskan, pembangunan kota berwawasan HAM merupakan perencanaan pembangunan yang menjadikan nilai-nilai HAM sebagai arah dalam pembangunan kota.
“Hal tersebut sebagaimana diatur dalam pasal 28A sampai 28J UUD 1945 maupun Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, yang memberikan perlindungan terhadap hak setiap warga negaranya,” kata Julista.
HAM harus dipatuhi oleh negara atau pemerintah dalam menjalankan misinya mengelola kota. Pemerintah tidak menjadikan pembangunan hanya sebagai tujuan dengan mengorbankan manusia. Pemerintah harus menempatkan manusia sebagai subyek pembangunan. Sehingga tujuan pembangunan untuk penegakkan hak atas warga kota terpenuhi.
Sesuai pandangan bangsa Indonesia, HAM bersumber dari nilai agama, nilai moral universal, nilai luhur budaya bangsa, serta berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar (UUD) 1945.
Bangsa Indonesia mengakui setiap individu merupakan bagian dari masyarakat dan sebaliknya. Masyarakat terdiri dari individu-individu yang masing-masing memiliki hak dasar. Setiap individu, mempunyai hak asasi, juga kewajiban dan tanggung jawab untuk menghormati hak asasi individu lain atau komunitas masyarakat lain.
Pemerintah Indonesia sendiri telah menginisiasi program Kota Ramah HAM, atau Human Rights City yang telah disepakati secara internasional sejak tahun 2013.
“Ini merupakan realisasi pengakuan, penghormatan dan pemenuhan HAM bagi masyarakat perkotaan oleh pemerintah kota/daerah,” kata Julista.
Untuk mendorong terimplementasinya hal tersebut, Kementerian Hukum dan HAM telah melakukan penilaian terhadap kinerja daerah dalam pemenuhan HAM. Kriteria kota Peduli HAM didasarkan pada terpenuhinya hak atas kesehatan, pendidikan, perempuan dan anak, kependudukan, pekerjaan, perumahan yang layak dan hak atas lingkungan yang berkelanjutan (Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 34 tahun 2016).
Upaya pemajuan, pemenuhan dan perlindungan HAM pada dasarnya menjadi kewajiban dan tanggung jawab semua komponen bangsa. Penjelasan umum Undang-Undang nomor 39 Tahun 1999 menegaskan bahwa yang dimaksud dengan kewajiban dasar manusia adalah seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan tidak memungkinkan terlaksana dan tegaknya HAM. Artinya, kewajiban dasar manusia berdampingan dengan HAM dan kebebasan dasar manusia.
Undang-undang tersebut memberikan penegasan bahwa setiap hak asasi seseorang menimbulkan kewajiban dasar dan tanggung jawab untuk menghormati hak asasi orang lain secara timbal balik serta menjadi tanggung jawab pemerintah untuk mewujudkan pemajuan, pemenuhan, penghormatan, perlindungan serta penegasan HAM.
Tanggung jawab pemerintah terhadap HAM haruslah dilakukan tanpa diskriminasi sebab pada dasarnya HAM dimiliki oleh setiap manusia.
Namun sampai saat ini, Mustamu mengaku masih terdapat persoalan diskriminasi terhadap pemenuhan perlindungan HAM. Bahkan terhadap kelompok rentan maupun komunitas queer.
“Sebagai contoh diskriminasi terhadap maupun Komunitas Disabilitas. Maka dengan tidak menutup mata bahwa kelompok-kelompok masih rentan diskrimnasi terhadap HAM di Maluku khususnya Kota Ambon,” kata Julista.
Dengan masih adanya diskriminasi tersebut, Julista mengaku pihaknya memandang perlu untuk melakukan FGD Ambon Kota Ramah HAM. Ini dilakukan untuk mengupayakan pemajuan, pemenuhan, penghormatan, perlindungan serta penegasan HAM, terkhususnya bagi kelompok rentan di Kota Ambon. Juga untuk mewujudkan Ambon sebagai Kota Ramah HAM.
“Sebagai organisasi bantuan hukum yang selama ini melakukan berbagai aktivitas khususnya pendampingan hukum bagi teman-teman rentan, kita juga melakukan pemberdayaan hukum masyarakat, bagaimana atau melihat hukum yang hidup di tengah masyarakat,” jelasnya.
Julista Mustamu menilai Pemerintah Daerah, khususnya Kota Ambon, masih membiarkan atau abai terhadap persoalan-persoalan HAM. Padahal, sejak 2016 sudah diberlakukan Ambon sebagai kota inklusi.
“Jadi Ambon sudah ditetapkan sebagai kota inklusi tapi kenyataannya saat ini kita lihat bahkan tidak ada sama sekali kebijakan yang pro terhadap teman-teman rentan,” ungkapnya.
Dari berbagai persoalan tersebut, Mustamu mengaku pihaknya bersama sejumlah organisasi lainnya telah duduk berdiskusi bersama dan berusaha untuk menyusun sebuah naskah akademik.
“Naskah akademik disusun untuk melihat aturan-aturan di tingkat daerah yang diskriminatif, lalu kita mulai menyasar, kita melakukan pressure kepada pemerintah daerah dalam hal ini pemangku kepentingan pejabat Walikota Ambon dan juga pimpinan DPRD Kota Ambon. Ini agar segera merumuskan atau mewujudkan Kota Ambon yang ramah HAM,” harapnya.
Julista Mustamu mengajak semua pihak untuk bersama-sama dapat menjadikan Ambon Kota Ramah HAM.
“Mari kita baku gandeng tangan untuk berusaha menopang upaya-upaya yang dilakukan LBHKH ini untuk sama-sama mendorong Ambon sebagai kota ramah HAM. Karena saat ini saja angka kekerasan perempuan dan anak khususnya di Kota Ambon itu luar biasa tinggi,” pungkasnya.
FGD Ambon Kota Ramah HAM menghadirkan pemateri dari akademisi dan Pemerintah Daerah Provinsi Maluku. Diantaranya DR. Mahrita Aprilya Lakburlawal, Dosen Fakuktas Hukum Unpatti Ambon dan Muhammad Saleh, SH, MH, Kabag Bantuan Hukum, Biro Hukum Setda Provinsi Maluku.
Mahrita membawakan materi terkait HAM dalam perspektif hukum adat. Sedangkan Muhammad Saleh membawakan materi mengenai kebijakan Pemda terkait perlindungan, pemenuhan dan pemajuan HAM di Provinsi Maluku.
Liputan : Husen
Editor : Hamdi