TERASMALUKU.COM,AMBON, – Sepiring nasi putih lauk ikan saus, orek tempe manis, acar pepaya, laksa, lodeh merupakan menu paten sejak tahun 1950an. Tidak ada yang berbuah. Menunya sederhana. Cita rasanya kuat, sekuat tungku kayu yang terus ngebul. Tak heran Supira menjadi warung nasi legendaris empat generasi di Kota Ambon.
Asap keluar dari celah ventilasi pintu dapur. Tiga tungku kayu besar sedang menyala. Ada tong nasi alumenium dan dua wajan penggorengan tahu jumbo. Dua orang pekerja tengah mengaduk 50 kilogram nasi yang dimasak bertahap. Sejak pagi dapur warung terasa panas. Tumpukan kayu bakar kering berkala diganti.

Pekerja perempuan rampung menumbuk kacang dengan lesung batu besar. Kursi meja sudah rapih tertata. Hanya saja sepasang daun pintu kebaya khas arsitektur rumah jadul masih tertutup.
Seorang pekerja masih ngepel. Sementara nasi belum tanak. Namun di kabinet kotak kaca baskom aneka lauk sudah tertata rapi. Sayur lodeh, laksa, acar pepaya, ikan saus, orek tempe manis. Ada juga sayuran rebus untuk gado-gado, bumbu kacang, tahu goreng dan sambal -tak pedas telah tersedia.
“Su buka ka, bisa bungkus beta nasi ikan dua jua,” pinta seorang pembeli yang melongok dari jendela yang sedang diberi tirai, Kamis (30/3/2023).
“Belum siap ibu, nasi masih sementara masak,” sahut Abdul Aziz generasi ke-4 penerus usaha Warung Nasi Supira dari dalam. “Katong masa pake kayu nasi seng bisa cepat, seng kaya sekarang semua serba praktis,” imbuhnya lagi.

Aziz mengatakan tungku menjadi salah satu peninggalan eyangnya yang paling ikonik. Tak ada lagi rumah makan atau warung yang memasak dengan tungku di Ambon. Aroma smoky dari kayu bakar, diakui Aziz membuat rasa masakan Supira kuat.
Sejak pertama dibuka oleh sang buyut almarhuman, Hj. Rahima binti Muhammad Ali, semua masih otentik.
Jika warga Ambon yang sering makan atau berlangganan pasti tidak asing dengan tungku. Itu memang barang lawas dan ikonik di warung. Tapi itu bukan satu-satunya.
Ada kabinet kotak kaca tempat menyimpan lauk pauk. Itu barang lawas sejak lama tidak pernah diganti. Panci kecil wadah uang. Itu ada sejak tahun 1970an. Bahkan bagian bawah panci sampai ada yang bolong.
Ada juga lesung batu yang kerap dipakai menumbuk kacang bakal bumbu gado-gado. Aktivitas menumbuk kerap dilakukan di luar bagian belakang warung.
Sementara di dinding terpampang beberapa foto keluarga. Seperti pendiri Supira, Hj. Rahima bersama suami dan anak-anaknya.

“Ini foto beta nene, belum lengkap. Ada 12 anak tapi yang hidup tujuh orang,” terang bapak dua anak itu sambil menunjukkan foto generasi pendahulunya.
Ada pula pigura dengan tulisan 65 ukuran jumbo. Setelah dilihat lebih dekat, itu merupakan surat Sumbangan ‘Wadjib Idzin Usaha’ untuk pajak daerah. Kliping pemberitaan Supira oleh Koran Mimbar Maluku. Serta yang terpenting bangunan dua lantai seluas 6×10 yang kental nuansa jadul. Desain rumah kancing yang kokoh serta tahan gempa.
Aziz yang seorang sarjana Teknik Perkapalan Universitas Pattimura angkatan 1988 itu bisa saja merubah atau mengganti kompor baru.
Namun baginya orisinalitas dan cita rasa otentik sangat langka. Belum lagi ada wasiat lisan sang buyut yang asal Semarang itu. Jaga ini tanda mata, begitu kata sang mendiang. Makanya tidak ada sedikit pun dari bangunan, interior, alat masak, cara masak hingga menu yang diubah.
Demi menjaga ciri khas rasa, Azizlah yang memilih sendiri bahan baku di pasar. Sejak pukul 05.00 WIT, dia ke pesar untuk membeli bumbu masak, sayur dan ikan.
Katanya bumbu dulu dan sekarang terasa beda. Dia yang sejak belia terlibat mengurus warung bersama nenek, rasa bumbu tak sekuat dulu.
Sama halnya dengan ikan. Ikan segar yang dibeli di pasar Arumbai katanya kalah segar dengan ikan dulu. Begitu kapal bersandar di dermaga, warga langsung membeli hasil tangkapan segar dari nelayan. Sangat segar, besar rasa gurih enak, kenangnya.
“Kalau orag biasa makan mungkin bilang sama saja. Tapi beta yang dari dulu tau ini seng kuat (rasa) kayak dulu. Jahe, sereh itu dolo sangat kuat. Seng sama sekarang,” jelasnya.
Warung Nasi Supira merupakan bisnis keluarga yang langgeng. Sepeninggal Hj. Rahima pada 1970an, Supira dipegang oleh anaknya, Halimah hingga 2005. Kemudian dinasti Supira dipimping oleh Aziz cucu Halimah.
Soal nama, entah dari mana nama Supira muncul. Seingat Aziz, Supira bukan nama asli buyutnya, melainkan semacam panggilan. “Su lupa juga, tapi kayaknya itu antua (Hj, Rahima) pung panggilan ka atau apa begitu,” sambil mengerinyitkan dahi berusaha mengingat-ingat.

Dia mengakui tak banyak keluarga yang mau meneruskan usaha. Sebab menjaga warung seperti anak kecil. Butuh atensi besar. Bila tak suka atau terpaksa, akang berpengaruh ke rasa.
Beruntung sejak masih sekolah hingga kuliah, Aziz hits dikenal sebagai anak pemiik warung Supira. Ketenaran dan tangan dingin sang buyut membuatnya berpikir dua kali. Ada peluang usaha yang baik jika dia ikut mengembangkan warisan sang buyut.
Setelah dua kali pindah lokasi dekat benteng Victoria, Waihaong dan kembali ke Jalan Kopi, Aziz lantas meneruskan usaha itu.
Supira menjadi jujukan kelana rasa nostalgia terbaik di Ambon. Bagi perantau, sepiring nasi ikan Supira sudah membawa kenangan masa muda yang indah. Bagi warga kota, sajian makanan sederhana tidak neko-neko namun mengenyangkan.
Letaknya di kawasan ekonomi dan perkantoran membikin Supira ramai diserbu terutama saat jam makan siang.
Aziz mengelola Supira selama 20 tahun. Pada hari biasa mereka menghabiskan 25-50 kilogram beras. Jika hari besar atau ada event di Ambon, jumlahnya naik dua kali lipat. Ada tujuh orang karyawan yang membantunya. Dua dianataranya masih saudara dari keturunan Hj. Rahima.
Pemesanan makanan saat ini dapat dilakukan secara daring. Sudah bank ulasan dan foto Supira pada google.
“Beta seng tahu siapa yang akan meneruskan nanti. Tapi kalo kerja dengan tulus itu akang hasil bagus,” ujar si Aries kelahiran 14 April 1967 itu.
Segala ubo rampe Supira adalah kunci kejayaannya. Sepiring nasi, aroma asap dari tungku, semburat sinar dari balik jendela kayu coklat memang taka da duanya. Itulah yang terus dicari para perantau atau orang Ambon yang sudah kepincut.
Supira pun menjadi penanda, betapa kota ini merekam banyak hal manis yang terus lestari dari generasi ke generasi.
Penulis: Priska Birahy
**) Ikuti berita terbaru Terasmaluku.com di Google News klik link ini dan jangan lupa Follow