SEJAK awal kehadirannya, Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) telah meletakan dasar eksistensinya sebagai gerakan misioner, hal itu tertuang secara implisit dalam rumusan pembukaan AD/ART GMKI (Mukadimah). Pengakuan sebagai gereja tersamar (eclessia incognito) menginspirasikan GMKI agar secara fungsional mengambil bagian menggemakan peran profetis di tengah kehidupan manusia dan alam semesta. GMKI terlibat dalam berbagai pelayanan sosial kemanusiaan, edukasi, pemberdayaan dan advokasi. Titik berangkat menuju aksi praksis itu, dimulai dengan Pendalaman Alkitab (PA) dan diskusi ilmiah yang melahirkan gagasan kritis dan analitis terhadap berbagai fenomena sosial dalam hidup bermasyarakat.
Seiring berjalannya waktu nilai-nilai tersebut mulai memudar. Paham “pragmatis” mewarnai berbagai dimensi perjalanan ber-GMKI. Pola organisasi yang meniru “birokrasi politik” mengakibatkan kekakuan dalam berinovasi dan berkreasi. GMKI lebih banyak berdebat pada tataran teknis, konstitusi dan aturan organisasi, ketimbang mendiskusikan konsep substansial pengembangan organisasi. Demikian, hasil analisis terhadap konteks internal memperlihatkan empat masalah mendasar dalam aktivitas GMKI saat ini yakni :
Pertama, GMKI masa kini mengalami krisis nilai-nilai pergerakan yang tampak dalam aktivitas organisasi. Pasca momentum Kongres, Konfercab dan Musyawarah Komisariat, timbul faksi-faksi baru yang melahirkan tendensi tertentu yang berujung pada konflik internal. Pada satu periodesasi tertentu Penyelesaian masalah internal lebih banyak menyita waktu dan energi aparatur organisasi. Implementasi panggilan sebagai gerakan misioner menjadi terabaikan.
Kedua, munculnya fenomena krisis karakter dan mental kader. Berbagai fenomena kekerasan yang belakangan ini terjadi dalam aktivitas organisasi menjadi salah satu bukti. Terkikisnya, budaya keramahtamahan, solidaritas dan saling menghargai antar sesama kader. Integritas dan nilai-nilai kejujuran mulai terdegradasi.
Ketiga, lemahnya budaya literasi ilmiah. Aktivitas membaca dan menulis semakin berkurang. Sebagian kader lebih banyak membicarakan aktivitas praktis politis dalam ruang-ruang diskursus sehari-hari, yang pada gilirannya memberikan sugesti bagi para kader untuk menerapkan konsep praktis politik dalam kontestasi kepemimpinan, baik di internal, maupun di lembaga kemahasiswaan kampus. Alhasil lahirlah stigma “GMKI adalah Organisasi Politik” di kalangan mahasiswa awam.
Keempat, terdapat kecenderungan mahasiswa yang tidak lagi ingin ber-GMKI, itu disebabkan oleh kurangnya kegiatan inovatif dan kreatif yang bermanfaat bagi pengembangan diri. Di samping itu sebagian kader GMKI termasuk aparatur organisasi lambat menyelesaikan proses studi di kampus. Pada akhirnya dijadikan tolak ukur pelabelan stigma bahwa “mengikuti GMKI akan memperlambat studi” Akibatnya banyak mahasiswa takut untuk berproses di GMKI, karena akan menghambat studi.
BACA JUGA : Buka Kongres GAMKI di Ambon, Menpora Ajak Pemuda Berperan Aktif di Pemilu 2024
Merespons permasalahan internal GMKI masa kini, saya perlu meminjam konsep filsafat Thomas Khun tentang pergeseran paradigma (paradigm shift), bahwa GMKI dalam upaya melakukan pembenahan dan penataan organisasi harus dimulai dengan pergeseran paradigma berpikir, dengan begitu GMKI masa kini akan menemukan jalan spiritualitasnya. GMKI harus kembali menegaskan hakekat pengutusan di tengah kehidupan manusia dan alam semesta.
Proses refleksi akan menjadi sebuah ruang bernafas _(a breating spece)_ untuk GMKI merenungi perjalan historis yang telah dilalui. Dengan begitu GMKI akan menjadi gerakan proflektif, atau gerakan yang berjalan bersama-sama dengan Allah untuk menghasrati masa depan. GMKI mesti menyadari bahwa konteks keberadaannya di masa kini sementara diperhadapkan dengan dinamika transformasi digital yang kompleks, menyentuh seluruh dimensi kehidupan manusia, sehingga pergeseran paradigma adalah penting bagi GMKI sebagai titik berangkat menemukan inovasi untuk berkreasi menata kembangkan organisasi dan proses pengkaderan.
Pertanyaannya sekarang, apakah GMKI hanya sampai pada tahap menemukan jalan spiritualitasnya ? Saya kira telah banyak GMKI tampil untuk mengkritisi kebijakan politis dan sistem yang menindas masyarakat kecil. GMKI telah banyak memberikan kontribusi bagi perkembangan perguruan tinggi, gereja dan masyarakat. Akan tetapi itu saja tidak cukup, karena era transformasi digital memaksa GMKI untuk berpikir lebih. Artinya GMKI harus melakukan suatu pendasaran transformasi paradigmatik yang kreatif dan inovatif. Jejaring kerjasama atau kolaborasi kolektif, serata rasionalitas komunikatif menjadi dasar pergerakan.
Pada bagian ini saya kira ada empat hal penting yang dapat dijadikan bahan garapan GMKI merespons dinamika internal masa kini di antaranya :
Pertama, kita perlu meminjam gagasan Jokowi “Revolusi Mental” ke dalam konteks GMKI, bahwa GMKI harus memulai suatu tindakan transformatif dengan melakukan “revolusi mental kader”. Pembinaan spiritualitas, integritas dan karakter perlu mendapat perhatian serius. Budaya saling menghargai, keramahtamahan dan solidaritas mesti menjadi habitus pergerakan.
Kedua, Sudah saatnya GMKI mendesain pola pengkaderan yang fleksibel. Hal tersebut dapat dimulai dengan melakukan research minat, bakat dan kebutuhan kader akan masa depannya. Salah satu contoh sederhana yang dapat menjadi bahan garapan GMKI sebagai isu sentral menghadapi transformasi digital adalah GMKI mempersiapkan kader agar mampu menciptakan ruang-ruang kerja secara mandiri. Entrepreneurship menjadi aksentuasi GMKI dalam pola pengkaderan, sehingga kader GMKI tidak saja berkutat dalam pilihan pada bidang politik dan birokrasi, yang di dalamnya saling sikut satu dan lainnya. Akan tetapi pola pengkaderan membentuk paradigma kader untuk menemukan jati dirinya masing-masing.
Demikian, mengingat konteks transformasi digital yang memberikan kemudahan bagi pemuda untuk berkreasi, serta kebijakan pemerintahan yang mendorong generasi muda agar mampu menciptakan lapangan kerja mandiri dengan model kolaborasi lintas sektor di pemerintahan, maka memberikan akses bagi pemuda untuk berinovasi dalam dunia entrepreneurship sehingga itu menjadi jembatan bagi GMKI untuk melangkah menata masa depan organisasi dan pengkaderan.
Ketiga, GMKI mendorong kapasitas intelektualitas pengkaderan. Minimal aparatur organisasi memiliki karya ilmiah yang dipublikasikan baik di jurnal-jurnal terakreditasi maupun dalam buku dan atau artikel ilmiah lainnya. Dalam hal ini GMKI dapat membentuk Pusat Study Ilmiah yang membantu GMKI dalam upaya membentuk kapasitas pengkaderan yang berintelektualitas.
Keempat, Perlu adanya lembaga khusus yang menangani aktivitas Pemberdayaan, Advokasi dan Edukasi. Agar proses pengabdian kepada masyarakat dapat bersifat continue, bukan mengejar target program atau bersifat momentual.
#Ut Omnes Unum Sint
#DLS
Penulis : Daniel Luther Shindang; Ketua Bidang Pengkajian dan Penalaran GMKI Ambon