Tuhan dalam Rasio
Tuhan adalah puncak dari segala yang eksis, karena Dia adalah eksistensi mutlak dari segala yang ada. Tuhan menjadi rasional dari munculnya beragam norma, bahwa logika adanya norma adalah karena adanya Tuhan. Dia menjadi sebuah entitas mutlak dimana setiap norma bersandar padaNya. Segenap larangan dan perintah apapun bersumber pada Tuhan, dan Dia menjadi sumber bagi norma untuk memiliki kekuatan mengikat. Tuhan adalah Zat yang denganNya tidak ada yang dapat dibandingkan (Umar, 2019).
Tuhan yang tak terbandingkan dengan apapun, menjadikan manusia tak mudah terjebak dalam konsep antropoformisme. Dalam konsep negativa tentang Tuhan dijelaskan bahwa segala yang ada tentangNya hakikatnya bukan Dia yang sejati (Qs.42:11). Yang ada dalam akal kita adalah rabaan benak manusia tentang Dia. Bukan pula sebuah kesalahan mutlak dan menjadi sifat dasar manusia untuk meraba tentang Dia menurut akalnya. Karena Allah tergantung dari apa yang kita sangka tentangNya (HR. Ahmad). Maka berprasangka tentang Dia diletakkan dalam kebaikan tentangNya.
Tanpa adanya pengakuan atas eksistensi Tuhan, maka yang ada hanyalah kebebasan mutlak tanpa norma. Segenap norma yang ada hakikatnya adalah turunan integral dari norma Ketuhanan, sebagai norma tertinggi. Sebuah perjanjian yang dibuat antar manusia pada hakikatnya adalah ikatan antara subjek manusia dengan Tuhan. Perikatan yang dihasilkan di antara manusia yang bersepakat adalah kehendak Tuhan. Maka mematuhi norma kesepakatan adalah mematuhi Tuhan itu sendiri.
Penerimaan atas eksistensi Tuhan tidak hanya dalam ruang iman, tetapi juga kerja rasionalitas akal manusia. Dia ada karena AdaNya, tanpa ada yang menjadikannya Ada. Dia yang menjadikan selainNya ada. Ada Tuhan diterima sebagai kebenaran walau Dia tidak hadir dalam materi. Penerimaan atas Tuhan dibatasi oleh ketidakmampuan indera untuk menangkap wujud materi Tuhan (Qs.6:103). Maka wujud Tuhan sebagai wujud mutlak ditangkap oleh benak akal, dan dirasakan bahwa Dia benar adanya (Qs.22:62).
Tuhan dalam rasionalitas akal tidak berdiri sendiri, ia juga didukung oleh rabaan inderawi. Inderawi mencoba memahami hadirNya walau bukan dengan fisikNya. Tuhan mencipta objek untuk menantang akal manusia atas eksistensiNya. Setiap objek menjadi fenomen atas adaNya, dan akal bekerja untuk membuktikan bahwa Dia tidak hanya ada tetapi juga bekerja (Qs.55:29).
Tuhan: Iman dan Pengetahuan
Tuhan sebagai wujud mutlak berada dalam kemutlakanNya (Qs.6:30). Dia tak terikat oleh ruang dan waktu, Yang Maha Berkehendak atas segala sesuatu. Maka Dia menciptakan semesta sebagai sarana bagi keterbatasan akal manusia untuk memahami eksistensiNya.
Interkoneksi antara keyakinan dan iman dengan pengetahuan tak terhindarkan lagi, bahwa memahamiNya dapat melalui iman yang terkadang irasional didukung oleh rasionalitas pengetahuan. Rasionalitas atas adaNya adalah dalam ranah pemahaman manusia, bahwa Dia Yang Maha Tunggal secara rasio diterima sebagai kebenaran (Qs.14:52).
Tuhan dan pengetahuan juga difahami dalam konsep integralistik. Bahwa Dia adalah Pemilik Pengetahuan karena Dia Maha Mengetahui (Qs.6:59). PengetahuanNya adalah Cahaya yang menerangi manusia. Dia meminta manusia untuk menjadi makhluk yang selalu tercerahkan. Pengetahuan adalah cahaya dan ia integral dengan eksistensi Tuhan sebagai pemilik utama cahaya kebenaran itu sendiri (Qs.24:35). Pengetahuan diletakkan sebagai sarana mengetahui keberadaanNya.
Mengetahui Tuhan dalam konteks metafisika merupakan metode yang mendukung konsep ada Tuhan. Dia yang bekerja di balik tabir menunjukkan adaNya tidak melalui fisik. Ketiadaan eksistensi materi tidak dapat dianggap sebagai ketiadaan Tuhan. Yang tidak tampak bukan berarti tidak ada, maka fenomena alam menjadi pertanda dari konsep ada Tuhan (Qs.45: 3-5). Dia adalah sesuatu yang misterius yang difahami dalam rasa (Samidi, 2016).
Mengetahui Tuhan ada tidak berdampak apapun ketika ia tak menjalankan amanahNya. Tuhan ada, lalu apa? Maka tidak cukup rasionalitas dan gerak rabaan inderawi mengetahui eksistensiNya. Mematuhi kehendak Tuhan adalah hal lain, karena mematuhi membutuhkan komponen illahiah dalam jiwa. Tidak cukup dengan kesadaran atas adaNya, tetapi juga kesadaran atas kehendakNya (Qs.6:1).
Mengetahui ada Tuhan tidak semata berada dalam ranah logika, ia melampaui metodologi logika eksoteris. MengetahuiNya juga memerlukan metode esoteris yang berkarakter metafisik batiniyah (Umar, 2021). Walaupun demikian keduanya (eksoteris dan esoteris) merupakan paduan metode untuk memahamiNya. Akal dan Wahyu demikian pula agama dan filsafat berupaya untuk memahami eksistensi Tuhan, bahwa adaNya adalah keniscayaan (Noor, 2017).
“Maka tidakkah mereka berpergian di muka bumi lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka dan sesungguhnya negeri akhirat adalah lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu berakal?” (Qs. Yusuf [12]: 109).
Penulis : Fokky Fuad Wasitaatmadja Dosen Universitas Al Azhar Indonesia
**) Ikuti berita terbaru Terasmaluku.com di Google News klik link ini dan jangan lupa Follow