Empat Catatan Seputar Bahaya Poliktik Identitas Oleh : Rudy Rahabeat, Pendeta GPM

oleh
oleh
FOTO : ISTIMEWA

Lembaga Antar Iman Maluku (LAIM) bersama Yayasan Sombar Maluku mengadakan Focus Group Discussion bertemakan politik identitas, Jumat (19/5/23). Sejumlah akademisi dan tokoh agama-masyarakat berbagi gagasan dan pengalaman.

Dr Abidin Wakanno sebagai Direktur LAIM menyebutkan bahwa kegiatan ini bertujuan untuk menyamakan persepsi dan menegaskan agenda bersama untuk menciptakan komunikasi yang saling menopang dalam membangun masyarakat Maluku yang damai dan sejahtera khususnya jelang tahun politik 2024.

Sedangkan Dr Hasbollah Toisuta selaku Ketua Yayasan Sombar Maluku berharap agar ada lebih banyak lagi kegiatan sejenis yang melibatkan berbagai unsur dan generasi dalam masyarakat untuk bersama-sama memikirkan dan berkontribusi dalam membangun peradaban yang toleran, harmonis dan sejahtera.

Berikut empat catatan ringkas dari kegiatan FGD yang berlangsung di Gedung Ashari Al Fatah Ambon yang dimoderatori Bang Kee Enal ini.

Pertama, dari politik identitas ke politik integritas. Jika politik identitas lebih menekankan perbedaan maka politik integritas mencoba mencari titik temu perbedaan-perbedaan itu. Perbedaan agama atau etnis misalnya tidak lalu membawa ketegangan dan perpecahan. Sebab perbedaan itu merupakan suatu keniscayaan (terberi). Kenyataannya, panji-panji perbedaan itu sering diangkat tinggi-tinggi dan cenderung menafikan orang atau kelompok lain. Hal ini makin buruk ketika ada yang merasa lebih hebat dan lebih benar dari kelompok yang lain. Kelompok yang lain dianggap sesat dan patut ditundukan. Kondisi ini makin parah jika kemudian ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan politik pragmatis.

Terhadap kondisi ini Prof Dr John Ruhulessin, guru besar sosiologi dan teologi dari UKIM menawarkan gagasan pentingnya politik integritas. Menurutnya, politik identitas akan melemahkan kohesi sosial dan upaya pencapaian cita-cita bersama. sebaliknya, politik integritas bukan menafikan identitas melainkan meramu keragaman identitas untuk kepentingan umum yang lebih bersifat inklusif. Sebagai contoh, ia meminjam gagasan Francis Fukuyama yang menakar politik identitas Presiden Donald Trump di Amerika yang menciderai sendiri-sendi demokrasi yang menegaskan pentingnya kesetaraan, kebebasan, anti-diskriminasi, dan sebagainya.

Kedua, pentingnya gerakan literasi dan edukasi politik. Embong Salampessy, jurnalis senior menyatakan bahwa bahaya politik identitas saat ini makin serius ketika merambah dan menggunakan media sosial secara massif. Berbagai konten media sosial seringkali diisi dengan berita dan video hoaks, tidak mendidik dan merusak tatanan sosial. Ironisnya, kaum terdidik ada juga yang mudah terhasut dan terbawa berita-berita yang belum terverfikasi dengan baik itu. Teknologi editing foto dan video misalnya bisa membuat berita yang tidak benar menjadi soal-olah benar. Olehnya dibutuhkan gerakan literasi dan edukasi untuk cerdas memahami dan menggunakan media sosial.

BACA JUGA :  Pembalap Akhiri Etape Pulau Seram, Jumat Siang Tempuh Etape Ambon

Hal senada ditegaskan oleh Insany Syahbarwaty, pekerja media yang juga melihat bahaya dan ancaman jika tidak serius menggunakan media untuk kepentingan-kepentingan edukasi dan literasi politik. Menurutnya pemerintah, politisi, akademisi dan tokoh masyarakat dan tokoh agama jangan lelah untuk terus membangun kesadaran masyarakat tentang pentingnya pers yang sehat, bijak bermedia sosial dan politik yang santun dan bermutu.

Ketiga, transformasi agama-agama. Abdul Manan Latuconsina, Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) Maluku menegaskan bahwa perbedaan itu Sunnatullah, sesuatu yang tak terelakan, termasuk perbedaan agama. Tinggal soal bagaimana kearifan dan ketrampilan untuk mengelola perbedaan itu untuk kemaslahatan bersama. Menurutnya, kita memiliki pranata budaya seperti Pela-Gandong, Ain ni Ain, konsep Orang Basudara yang mengakui adanya perbedaan sekaligus mengelola perbedaan itu untuk kebaikan bersama. Persoalan bisa saja mucul jika terjadi ketidakadilan dalam masyarakat sehingga ada orang yang merasa diabaikan atau tidak diperhatikan.

Orang dapat bereaksi terhadap kondisi ketidakadilan itu, salah satunya dengan menggunakan politik identitas. Dalam kaitan ini agama-agama dapat memberi kontribusi untuk memperjuangkan tatanan sosial yang adil. Suara profetik agama-agama mesti lebih nyaring terdengar ketika realitas ketidakadilan itu ada. Sebab tidak ada satu agamapun yang berpihak kepada ketidakadilan. Transformasi agama-agama perlu terus terjadi, sehingga agama tidak hanya berkutat di mimbar-mimbar ritual tetapi turut memberi warna dan rasa di mimbar-mimbar sosial-publik. Agama publik merupakan salah satu bentuk transformasi agama-agama yang menunjukan kepekaaan dan tanggungjawabnnya terhadap masalah-masalah sosial, termasuk masalah politik.

Keempat, eksistensi generasi Z. Dalam persektif teori generasi, maka generasi Z saat ini memiliki posisi yang penting, bukan saja dari segi jumlah tetapi juga karakteristiknya. Gen Z dan ciri-cirinya dipercaya lebih beragam, memiliki sifat global, memberi pengaruh pada budaya, dan juga memberi pengaruh sikap pada banyak masyarakat. Bukan hanya itu, gen Z juga dapat memanfaatkan perubahan teknologi dalam kehidupan, bahkan teknologi menjadi sebuah napas bagi mereka.

BACA JUGA :  Empat Hal Berkesan Di Ambon Jelang Paskah Oleh : Rudy Rahabeat, Pendeta GPM

Pada umumnya, gen Z selalu terhubung dengan dunia maya dan dapat melakukan segala sesuatunya dengan menggunakan kecanggihan teknologi yang ada. Anak-anak ini sudah terbiasa memegang gadget sejak kecil. Pengenalan teknologi dan dunia maya ini sangat berpengaruh pada perkembangan kehidupan dan kepribadian anak Gen Z. Dr Steve Gaspersz, wakil Rektor 4 UKIM memberi aksentuasi pada pentingnya memperhatikan esksistensi Generazi Z dalam kaitan dengan politik identitas. Mereka mudah terpapar oleh politik identitas jika tidak didampingi dan dibangun wawasan dan karakternya.

Saluran yang efektif untuk edukasi generasi Z adalah optimalisasi penggunaan media sosial. Menurut Gaspersz, yang juga diamine oleh peserta FGD bahwa perhatian kepada generasi Z tidak dapat disepelekan apalagi diabaikan. Semua pihak termasuk agama-agama perlu mengalamatkan pembinaan dan perhatian serius terhadap keberadaan generasi tersebut.

Demikian beberapa catatan ringkas dari forum FGD yang perlu ditindaklanjuti oleh berbagai pihak yang terpanggil merawat peradaban bersama. Tahun politik perlu diisi dengan agenda-agenda literasi politik yang cerdas. Dengan begitu, kita tidak sekedar membicarakan siapa yang akan terpilih sebagai anggota legislatif, Gubernur, Bupati, Walikota atau Presiden, tetapi bagaimana menciptakan sistem dan budaya politik yang berintergritas sehingga lahir para pemimpin yang benar-benar hadir memperjuangkan kesejahteraan rakyat dan bukan sekedar slogan dan janji-janji bombastis semata. Ini merupakan panggil bersama kita semua, lintas agama dan budaya, lintas generasi, lintas identitas apapun. (RR)

**) Ikuti berita terbaru Terasmaluku.com di Google News klik link ini dan jangan lupa Follow

No More Posts Available.

No more pages to load.