SEJAK kemarin ia duduk menyimak tiap percakapan. Dengan tenang dan teduh. Rambut putihnya makin putih, seorang perempuan Pendeta yang hebat
Pagi ini ia bicara. Tidak lagi tentang Deutronomika, kitab Ulangan dalam Old Testament yang merupakan kepakarannya. Ia tidak lagi bicara tentang teologi tinggi-tinggi. Ia bicara tentang pentingnya mengembangkan oikumene dari bawah (oikumene from below).
“Kita perlu pergi berjumpa dan mengenal orang-orang miskin. Para pedagang di pasar-pasar. Kita merasakan perjuangan dan kegigihan mereka. Suka duka dan keperihan mereka” tandasnya dengan intonasi suaranya yang serak dan khas.
“Kita juga mesti peka terhadap lingkungan hidup yang rusak. Bagaimana berteologi tentang tumbuhan sebagai bagian dari ciptaan Tuhan. Jangan kita egois dan merasa lebih hebat dari ciptaan yang lain”, ia sebenarnya sedang bicara tentang integrity of creation. Salah satu kata kunci Dewan Gereja Sedunia selain justice and peace (JPIC: Justice, Peace and Integrity of Creation). Ia juga bicara tentang pendidikan anak-anak dan disrupsi teknologi digital. Semua itu dikemas dalam diksi yang sederhana dan menyentuh. Dia memang seorang guru yang Pendeta.
Rev. Margaretha Hendrik-Ririmasse nama yang tidak asing lagi di Dewan Gereja-Gereja Sedunia (WCC). Kemarin Sekum PGI Pdt Jacky Manuputty menyentil bahwa ketika ia mampir di Jenewa Swiss kantor pusat WCC nama Rev Margaretha alias Ibu Etha selalu dikenangkan. Ibu Etha pernah menjadi vice moderator WCC.
Perempuan kelahiran pulau Haruku ini pernah menjadi wakil Ketua MPH Sinode, Direktur LPJ GPM, Dekan Fakultas Teologi UKIM. Istri dari Pdt Dr Brury Hendriks ( mantan Ketua Sinode GPM) ini juga aktif dalam kegiatan sosial kemasyarakatan di antaranya Gerakan Perempuan Peduli (GPP) saat bara konflik mendera Maluku 1999.
Selama dua hari ini ia tetap setia duduk dikelilingi para penerusnya. Ada sejumlah Pendeta muda yang meneruskan jejak oikumene internasionalnya. Pdt Jene Pietersz, Pdt Agnes Souissa, Pdt Jeny Mahupalle, Pdt Desy Tuasela, Pdt Sandra Pesuarissa, Pdt Vien Labetubun, Pdt Nadia Manuputty, Pdt Vebi Songupnuan-Latuheru, Pdt Anes Nes Parihala, Pdt Arie Maitimu, Pdt Idho Kwalomine dst. Mereka adalah kader kader oikumene GPM yang pernah terlibat dalam program-program oikumene tingkat nasional dan global.
Ibu Etha pasti bangga karena ada banyak kader-kader muda pegiat gerakan oikumene yang terus bertumbuh. Ia telah merintis jalan-jalan oikumene global. Terpatrilah moto GPM: Ada yang menanam ada yang menyiram sembari percaya Allah menumbuhkan. Di depan duduk para narasumber Pdt Lies Marantika dan Pdt Nancy Sousisa di dampingi Pdt Ola Noija Kepala Biro Oikumene Sinode GPM dan Pdt Nory Titing, Sekretaris Departemen Pengembangan Oikumene Semesta Sinode GPM.
Pagi ini Ibu Etha mengingatkan kita untuk melihat ke bawah. Immerse (menyelami) dasar-dasar pergumulan insani. Jangan elitis. Empati lalu berdiri dan berjuang bersama mereka beserta semesta ciptaan demi oikos (rumah bersama) yang damai, adil dan lestari.
Terima kasih Ibu Etha untuk tiap keteladanan dan legacy yang kau warisan bagi gereja-gereja, bagi kemanusiaan dan semesta ciptaan. Tuhan memberkati !
Selamat akhir pekan sahabat semua. Teruslah bertumbuh dan berbuah ! Salam Kasih ! (RR)