UNTUK kedua kalinya beta datang ke pulau Kisar Yotowawa Daisuli di Kabupaten Maluku Barat Daya. Kunjungan pertama dua tahun lalu. Masih seperti yang dulu, cuaca cukup panas dan angin bertiup cukup kencang. Dari pelabuhan Kawatu di pulau Moa kami bertolak dengan KM Sabuk Nusantara 104 sekira pukul 20.00 Wit. Singgah sebentar di pelabuhan Tomra di pulau Letti sebelum kapal tol laut ini berlabuh di pelabuhan Kisar pada pukul 03.00 dini hari. Laut cukup berombak walau tidak sekencang beberapa minggu yang lalu. “Kami sudah terbiasa bermain dengan gelombang Bung. Laut adalah ayunan kami ” ungkap seorang penumpang warga Kisar sambil tersenyum. Saya sendiri masih merasa oleng walau sudah tiba di daratan.
Ketika fajar merekah saya mengunjungi Pasar Rakyat Wonreli. Dua tahun yang lalu pasar itu baru dibangun, sekarang sudah berdiri kokoh dan ramai. Aneka sayuran, buah-buahan dan umbi-umbian tergelar emperan pasar. Ada juga pisang dan telur serta ikan segar-segar. Mama-mama sibuk menata barang dagangannya, sembari pelanggan mulai berdatangan. Di sebelah bangunan pasar beberapa pria yang berperan sebagai tukang ojek menunggu penumpang sambil main-main gawainya. Suara suara berseliweran memecah pagi di pulau yang indah dan menawan ini. Saya menyebutnya indah sebab setiap pulau memiliki pesonanya. Tak ada pulau yang tidak indah.
Tetiba mata saya tertuju pada jejeran jiregen berwarna putih ukuran lima liter yang berisi minuman lokal yakni Sopi. Beberapa pedagang menjajakan hasil olahan beralkohol dari pohon Koli yang tumbuh subur di atas tanah berkarang pulau Kisar. “Sopi adalah air susu mama. Orang tua menyekolahkan anak-anak hingga sarjana dengan hasil penjualan Sopi” ungkap bapak Wem Lerrick, salah seorang tetua adat Kisar dari desa Abusur.
Ia pernah mengusulkan agar Sopi dilegalkan seperti minuman berlabel Sopia di Kupang Nusa Tenggara Timur. Lelaki yang pernah menjadi anggota DPRD Maluku Barat Daya ini menyebutkan bahwa walau Sopi dijual bebas di Kisar tetapi tidak menimbulkan naiknya tingkat kriminalitas. Pendapat ini mungkin perlu didalami lagi, tetapi amatan sementara mengiyakan hal tersebut.
Setelah mengunjungi pasar rakyat, saya berjalan kaki ke arah bukit. Hamparan rumput dan pepohonan berwarna coklat. Sebagian berwarna hitam. Rupanya ada upaya sengaja membakar sejumlah lahan. “Biasanya lahan dibakar agar tumbuh rumput segar” ungkap Pendeta Odang Resley yang sudah lama bertugas di Kisar dan pensiun serta tinggal di Wonreli.
Lelaki asal Desa Ilmarang di pulau Dawera MBD ini sudah hafal betul kebiasaan warga Kisar dalam mensiasati datangnya musim kemarau. Ternak-ternak akan mati jika tidak ada rumput segar. Olehnya salah satu strateginya adalah membakar lahan yang sudah kering itu. Selain itu, orang Kisar juga memiliki strategi menyimpan jagung guna menghadapi musim panceklik. Jagung merupakan makanan pokok orang Kisar, walau sejak Orde Baru berkuasa, politik beras telah mengkoloni orang-orang Kisar dan orang Indonesia pada umumnya. Akibatnya, pangan lokal makin tersingkir dan beras makin mendominasi.
Dua tahun lalu saya membawa pulang ole-ole cerita tentang Domba Kisar dan Pohon Ara. Dua produk ini cukup ikonik di Kisar apalagi jika dikaitkan dengan cerita dalam Kitab Suci (Alkitab). Orang Kristen tentu sangat akrab dengan perumpamaan Domba Yang Hilang dan Pohon Ara yang tidak berbuah. Domba merupakan salah satu ternak peliharaan orang Kisar selain kambing, babi dan kuda. Pohon Ara rata-rata tidak berbuah, tetapi daunnya dapat dijadikan sayur. “Pohon Ara memang tidak berbuah, daunnya digunakan sebagai sayur. Rasanya enak” ungkap Pendeta Allan Laimeheriwa, Ketua Klasis GPM Pulau-Pulau Kisar sedikit berpromosi.
Pendeta Allan bersama para pendeta dan umat di Kisar sedang berpacu dengan waktu untuk menyambut kurang lebih seribu orang yang akan datang di pulau Kisar pada bulan Oktober 2023. Kegiatan Musyawarah Pimpian Paripurna Angkatan Muda Gereja Protestan Maluku (MPP-AMGPM) dan sidang Majelis Pekerja Lengkap (MPL) Sinode GPM agar digelar di Jemaat/Desa Lebelau Kecamatan Kisar Utara dan Jemaat/Desa Wonreli di Kecamatan Kisar Selatan. Demikian pula Panitia kedua iven tersebut yang diketuai Bung Body Davidz dan Sekretaris Bung Oyang Pilipus terus berkoordinasi dengan berbagai pihak demi suksesnya dua iven berskala sinodal ini.
Pulau Kisar terus berbenah. Dengan dukungan pemerintah Kabupaten Maluku Barat Daya (MBD) berbagai infrastruktur terus ditata. Jalan-jalan raya diaspal, beberapa fasilitas publik dirampungkan termasuk gedung gereja dan rumah Pendeta (pastori). Seluruh warga Kisar saling bahu membahu menyambut iven gerejawi ini. “Dukungan juga diberikan warga Muslim di pulau Kisar, selain warga Katolik dan gereja-gereja denominasi” ungkap Pendeta Ece Pattipeilohy-Petrus, Ketua Majelis Jemaat GPM Wonreli. Semua ini merupakan tanda toleransi dan solidaritas agama-agama di pulau Kisar. “Masyarakat Kisar sangat ramah dan toleran. Adat Honoli yakni sopan santun dan tatakrama sangat dijunjung tinggi” ungkap Pdt Eten Sahusilawane, Ketua Majelis Jemaat GPM Lebelau Klasis Kisar.
Cuaca masih cukup panas tetapi angin mulai teduh ketika baling-baling pesawat Sam Air mulai berputar. Pesawat bersubsidi berkapasitas 15 penumpang ini siap mengantar para penumpang dari pelabuhan Purpura Kisar menuju kota Ambon dengan jarak tempuh sekitar 1 jam setengah. Setiap minggu ada satu kali penerbangan. Saya duduk berdekatan dengan Kepala Lembaga Pemasyarakatan Kisar, Bung Roy Thenu dan Pendeta Ona Luturmas, pendeta Jemaat GPM Yawuru.
Perlahan burung besi ini mulai terbang membelah langit Kisar yang biru putih. Dari angkasa terlihat pohon-pohon Koli melambai-lambai seakan memanggil untuk kembali lagi ke pulau Kisar Yotowawa Daisuli. Ya, pulau Kisar tetap pulau yang indah dan mempesona di hamparan perjuangan warganya dengan geografi dan iklimnya yang khas. Oleh perkenaan Tuhan, beta akan kembali lagi untuk ketiga kalinya di pulau ini Oktober 2023. Sampai jumpa lagi. Tuhan memberkati ! (RR)
**) Ikuti berita terbaru Terasmaluku.com di Google News klik link ini dan jangan lupa Follow