Refleksi 100 Tahun Konferensi Waligereja Indonesia (KWI)

oleh
oleh
Pendeta Rudy Rahabeat (Foto: Istimewa)

oleh: Pendeta Rudy Rahabeat

SAYA seorang Pendeta Protestan yang hendak memaknai perayaan 100 Tahun KWI tahun 2024 dengan dua alasan. Pertama, Katolik-Protestan adalah Adik dan Kakak yang terhubung dalam satu kata: Kristianitas, seperti pernah disitir oleh pater Tom Jacobs salah seorang imam Jesuit. Kedua, saya pernah belajar di Universitas Katolik Sanata Dharma Yogyakarta, yang dikelola Ordo Jesuit (SJ)  pada program Magister Ilmu Religi dan Budaya tahun 2000-2004 (lulus dua puluh tahun yang lalu). Olehnya saya hendak berbagi empat bulir refleksi sederhana sebagai berikut:

Pertama, penting untuk terus merajut kebersamaan Katolik-Protestan. Setelah berpisah jalan di abad Abad ke-16, orang Katolik dan Protestan pernah mengalami kisah konflik yang berdarah. Tetapi itu tidak berlangsung abadi. Ada saat terjadi rekonsiliasi yang saling merangkul dan merajut kerjasama. Paus Fransiskus misalnya tahun 2016 menghadiri perayaan 500 tahun Protestantisme yang dilaksanakan Federasi Lutheran Sedunia (LWF) di kota Lund Swedia. Kehadiran Paus itu merupakan akta simbolik yang sangat indah untuk menegaskan rekonsiliasi dan kebersamaan Katolik-Protestan yang perlu terus berjalan bersama menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah di dunia. Selanjutnya tahun 2017, Moderator dan Sekretaris Jenderal Dewan Gereja-Gereja se-Dunia (WCC), Dr Agnes Aboum dan Pendeta Olaf Fikse Tveit menjumpai Paus Fransiskus di Vatikan guna membicarakan persatuan Katolik-Protestan dan kerjasama berkelanjutan untuk mewujudkan keadilan dan perdamaian dunia. Semua ini menjadi keteladanan untuk terus merawat dan meningkatkan kerjasama dua agama bersaudara ini.

Kedua, pasca Konsili Vatikan 2 tahun 1965, gereja Katolik makin intensif dalam bekerjasama bukan saja dengan Protestan melainkan agama-agama lainnya, utamanya Islam. Salah satu jejak monumental kerjasama Katolik-Islam itu adalah Dokumen Abu-Dhabi yang ditandatangani Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Azhar, Prof. Dr. Ahmed Al-Tayeb. Dokumen ini menegaskan pentingnya kerjasama antar agama dalam spirit kemanusiaan. Persekutuan Bangsa Bangsa (PBB) kemudian menetapkan tanggal 14 Pebruari sebagai hari Persaudaraan Manusia Internasional (International Day of Human Fraternity). Spirit dialog dan kerjasama antar agama ini perlu terus ditingkatkan di tengah bayang-bayang konflik dan perang internasional dan berbagai praktik intoleransi di tanah air. Beberapa insiden terbaru yakni pembubaran Ibadah Doa Rosario para mahasiswa Katolik di Tangerang Selatan 5 Mei 2024 dan aksi pembubaran ibadah gereja GPIB di Gresik Jawa Timur merupakan realitas aktual yang perlu disikapi dengan bijaksana, termasuk melalui jalan dialog dan merajut kerukunan antar-agama.

BACA JUGA :  Balai Arkeologi Maluku Lanjutkan Penelitian Temuan Lukisan Cadas di Pulau Kisar MBD

Ketiga, kerjasama multijalur. Kerjasama antar Katolik-Protestan serta agama-agama lainnya tidak hanya berlangsung pada level elite, semisal tokoh agama dan bersifat formal semata. Tetapi mesti terus digerakan dalam berbagai jalur, termasuk pada komunitas basis. Para mahasiswa, pemuda, remaja dan anak-anak merupakan aktor strategis dalam merajut kebersamaan lintas agama itu. Demikian pula kelompok perempuan dapat terus meningkatkan kerjasama lintas iman. Uskup Amboina, Mgr Inno Ngutra, Pr adalah seorang uskup yang konsisten mengalamatkan perhatian dan kepedulian terhadap anak-anak lintas iman. Temu Anak Lintas Iman merupakan salah satu program uskup Inno yang perlu terus dihidupi. Dialog dan kerjasama antar agama pada berbagai segmen perlu terus dikembangkan secara berkelanjutan dan bukan seremonial semata. Dengan adanya komunikasi dan kerjasama tersebut maka upaya menghadirkan kebaikan bersama (bonnum commune) dalam dirasakan seluruh umat manusia. Komunikasi tersebut dapat dilakukan secara langsung maupun media sosial di era digital saat ini. Dokumen Konsili Vatikan 2 yakni  Inter Mirifica; Di Antara Penemuan-penemuan Teknologi yang Mengagumkan sebagai upaya-upaya komunikasi sosial perlu terus dioptimalkan.

Keempat, kepedulian bersama atas ancaman kiamat ekologis. Tahun 2013 Paus Fransiskus mengeluarkan sebuah dokumen subtantif Laudato Si’ yang memberi aksentuasi pada tanggungjawab menjaga kelestarian lingkungan dari acaman krisis ekologi akut (ekosida). Delapan tahun kemudian tahun 2023 Sri Paus yang bernama lengkap Jorge Mario Bergoglio ini mengeluarkan dokumen Laudato Deum yang memberi fokus pada krisis iklim. Kedua dokumen ini bernilai universal, bukan saja relevan bagi umat Katolik tetapi bagi seluruh warga dunia. Dewan Gereja-Gereja Sedunia pada Sidang Raya di Vauncover Kanada tahun 1983 telah memberi sinyal tentang hal itu dalam dokumen oikumene berjudul Justice, Peace and Integrity of Creation (Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan). Semuanya memberi aksentuasi pada pentingnya kebersamaan dalam upaya pelestarian bumi dan keutuhan ciptaan Tuhan. Saatnya agama-agama bersama seluruh umat manusia bergandengan tangan dan bersinergi secara total untuk menyelamatkan bumi dari krisis yang mencemaskan dan menakutkan ini.

BACA JUGA :  Akhirnya, Spesimen 2 Pasien Rawat Isolasi Diterbangkan Ke Jakarta

Kiranya momentum 100 tahun KWI menjadi momentum bersama untuk terus merajut kebersamaan dan kerjasama Katolik-Protestan serta agama-agama dalam membangun bangsa dan dunia yang lebih adil dan damai. Hal ini senafas dengan tema perayaan 1 Abad KWI yakni Berjalan Bersama Membangun Gereja dan Bangsa. Proficiat. (***)

**) Ikuti berita terbaru Terasmaluku.com di Google News klik link ini dan jangan lupa Follow

No More Posts Available.

No more pages to load.