Tiga tahun lalu saya ke Kei Besar melalui jalur laut. Dari Tual kami menuju ohoi Rat lalu menyeberang dengan speed boad ke ohoi Tamangil sekira 40 menit. Dari Tamangil dengan mobil pickup kami menuju Ohoi Tutrean di Kei Besar Selatan. Jalannya berombak, bagaikan laut bergelombang. Sebuah perjalanan yang diwarnai keluhan. Tetapi tahun ini ketika saya kembali ke Tutrean, ada yang berubah. Jalan telah beraspal, perjalanan semakin menyenangkan. Perkembangan ini patut diapresiasi.
Kei Besar atau dalam Bahasa Kei disebut Nuhu Yut adalah bagian dari Kabupaten Maluku Tenggara, merupakan wilayah yang cukup terisolasi. Sejak Indonesia merdeka perkembangan daerah ini berjalan lambat, jika tidak hendak dikatakan tertatih-tatih. Selain Elat sebagai kecamatan tertua di Kei Besar yang relatif maju, wilayah lainnya cenderung kurang berkembang. Salah satu penyebabnya akses jalan yang belum tersedia dengan optimal. Kini jalan beraspal hampir melingkari seluruh Kei Besar, kecuali beberapa jalur yang masih terus diupayakan. “Salah satu kendalanya adalah masyarakat setempat tidak mau membebaskan tanahnya untuk jalan raya, mungkin karena ganti ruginya tidak seimbang”ungkap seorang supir yang mengantar kami dari Elat menuju pelabuhan Tamangil. Tentu saja ada berbagai faktor lain yang menyebabkan macetnya pengerjaan jalan di Kei Besar. Butuh pengertian dan kerjasama semua pihak berdasarkan prinsip keadilan bagi semua.
Kei Besar kerap disebut sebagai wilayah yang masih memelihara adat budaya Kei turun temurun. Pernyataan ini dapat ditanggapi secara proporsional. Bagi yang optimis, maka tentu saja muncul klaim bahwa Kei Besar adalah pewaris budaya Kei yang paling otentik. Menurut pandangan ini, Kei Besar masih menjaga adat budaya leluhur. Bagi yang pesimis, tentu berkata sinis, apa yang masih bertahan dari budaya Kei di Kei Besar? Apakah semua penduduk Kei Besar masih menguasai Bahasa Kei, khususnya di kalangan anak-anak dan kaum muda? Apakah tradisi dan ritual-ritual lokal masih dijalankan dengan baik? Bukanlah modernisasi telah melindas peradaban Kei hingga makin luntur dan pucat warna budayanya yang khas? Saya memilih pandangan yang moderat saja.
Di Kei Besar budaya lokal masih terpelihara, walau perubahan tak terelakan. Ketika tiba di pelabuhan anak-anak menyambut dengan tarian panah, ada prosesi renin dan penggunaan Bahasa Kei dalam penyambutan tamu. Walau ketika saya bertanya kepada beberapa anak muda tentang penguasaan Bahasa Kei, mereka menggelengkan kepala. Tentu kebudayaan itu kompleks dan rumit, perlu riset tersendiri untuk memahami kemajuan atau kemunduran budaya Kei.
Saya menaruh hormat dan harapan kepada orang tua agar dapat terus mewariskan budaya Kei kepada anak-anak cucu. Harapan yang sama kepada para guru, tokoh agama, tokoh adat, termasuk kaum muda serta segenap warga masyarakat. Aktor-aktor ini kiranya dengan sadar, konsisten, berkelanjutan merawat budaya Kei, salah satunya Bahasa Kei. Senang mendengar khabar kemajuan pekerjaan terjemahan Alkitab dalam Bahasa Kei oleh Badan Penerjemahan Alkitab GPM. “Butuh waktu dan kesabaran serta komitmen yang kuat untuk karya penerjemahan Kitab Suci dalama bahasa lokal” ungkap Craig Marshall, Kepala BPA GPM pada suatu waktu.
Dalam perjalanan di Kei Besar terpampang sejumlah spanduk dan baliho. Para calon Bupati Maluku Tenggara mulai tampil ke permukaan dengan beragam slogan. Ada yang mengingatkan nilai-nilai budaya leluhur, ada pula yang menawarkan perubahan di era global. Tinggal rakyat memilih secara cerdas pemimpin lima tahun ke depan.
Harapannya para pemimpin benar-benar membangun Kei Besar menjadi maju tanpa kehilangan identitasnya. Seorang rekan pemuda berujar, Kei Besar bisa makin maju jika menjadi Kabupaten sendiri. Ia berpandangan bahwa pembangunan di Kei Besar sangat lambat dibanding di Kei Kecil. Ini sebuah wacana yang perlu didalami lagi, mungkinkah ada calon Bupati yang mengusung ide tersebut? Kita lihat saja nanti.
Speedboat yang mengantar kami dari Tamangil ke Rat membelai laut Kei yang teduh. Bersama Ir Iwan Ubro, M.Si, penjabat Sekretaris Kabupaten Maluku Tenggara kami membincang singkat sejarah dan strategi pengembangan Maluku Tenggara ke depan. Jail nasval, azin naksor, masa berbalik, musim berganti. Hikmat Kei ini saya baca dari novel “Hilangnya Halaman Rumah” (2013, penerbit USD) karangan romo Dr Budi Subanar, SJ, dosen saya di program Magister Ilmu Religi& Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Beliau pernah empat tahun menjadi guru Matematika & Fisika di SMA Sanata Karya Langgur Kei Kecil. Akankah perubahan membawa kesejahteraan bagi masyrakat Kei atau sebaliknya? Pada dasar falsafah “Wuut ainmehe ngifun, manut ainmehe ni tilur” (judul disertasi Prof PM Laksono, guru besar Antropologi UGM), kita semua satu keluarga, satu tekad dan satu tujuan membangun kepulauan Kei yang aman, damai dan sejahtera bagi semua. Duad berkat (RR)
**) Ikuti berita terbaru Terasmaluku.com di Google News klik link ini dan jangan lupa Follow