89 Tahun GPM dan Agenda Dekolonisasi Oleh: Rudy Rahabeat, Pendeta GPM

oleh
oleh
Pendeta Rudy Rahabeat (tengah)

6 September 1935 Gereja Protestan Maluku (GPM) berdiri di tanah Maluku. Sebuah proklamasi iman sekaligus proklamasi politik. Disebut demikian karena orang-orang Maluku Kristen kala itu percaya bahwa Tuhan Yesus Kristus adalah segala-galanya. Tak ada kuasa yang lebih besar dari kuasa Kristus. Ada keyakinan teguh bahwa Yesus selalu ada bersama gereja-Nya. Kelak hal itu ditegaskan pada Tata Gereja GPM sebagai kredonya: “Yesus Kristus adalah TUHAN dan Kepala Gereja, TUHAN atas sejarah bangsa-bangsa dan alam semesta, dan Juruselamat dunia” (Pengakuan Iman GPM, Tata Gereja GPM Bab III Pasal 7:1).

Disebut sebagai proklamasi politik sebab peristiwa itu terjadi 10 tahun sebelum Indonesia merdeka. Keputusan ini bukan tanpa resiko, khususnya di bidang keuangan dan sumber daya manusia. Politik disini tentu memiliki dimensi yang luas dan rumit. Jika menggunakan lensa teori poskolonial, maka tindakan tersebut dapat dibaca sebagai agenda dekolonisasi. Secara sederhana dekolonisasi adalah pemikiran dan sikap masyarakat yang dijajah untuk mengkritisi dan melawan penjajahan atas nama apapun. Kelak dalam pembukaan UUD 1945 hal itu ditegaskan bahwa penjajahan di atas bumi harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.

Tentu saja dekolonisasi memiliki cakupan yang luas dan kompleks. Linda Tuhiwai misalnya menyebutkan bahwa Imperialisme dan kolonialisme membawa ketidakberaturan utuh terhadap orang-orang yang terkoloni dan memutuskan hubungan mereka dengan sejarah, lanskap, bahasa , interaksi sosial dan pemikiran, perasaan dan interaksi dengan dunia (Linda Tuhiwai Smith:2016). Dekolonisasi juga mencakup wilayah ilmu pengetahuan. Dekolonisasi ilmu pengetahuan atau juga dikenal dengan nama dekolonisasi epistemik atau dekolonisasi epistemologis merupakan sebuah konsep yang bertujuan mengakhiri ketergantungan terhadap teori, interpretasi serta ilmu pengetahuan yang telah ada dan lebih menekankan kepada pembentukan ilmu pengetahuan baru yang lebih sesuai dengan masa lalu serta masa kini atas interpretasi yang dilakukan oleh pencari pengetahuan terhadap dunia yang dihadapi (Wikipedia).

BACA JUGA :  Kedubes Ingin Kersama Ambon-Vlissingen Jadi Contoh Kota Lain di Indonesia

Tentu saja secara politik kita telah merdeka dari penjajahan bangsa-bangsa asing. Tetapi itu bukan berarti kolonialisasi sudah selesai. Ada beragam bentuk kolonisasi wajah baru saat ini dan ke depan. Semua ini berkaitan dengan relasi kuasa, hegemoni dan dominasi serta penguasaan sumber daya untuk kepentingan segelintir orang (sekarang disebut Oligarki) pada saat bersamaan ada perjuangan untuk kepentingan banyak orang miskin dan lemah, yang saat ini disebut “global South”, wilayah-wilayah terpinggirkan.

Dalam diskursus teologi maka terus berlangsung upaya-upaya dekolonisasi misalnya melalui proyek kontektualisasi atau indigenisasi teologi berbasis pada partikularitas tiap wilayah dan budaya. Apakah teologi Barat masih dominan atau sudah semakin tercipta pengakuan (rekognisi) dan penerimaan terhadap teologi-teologi “Timur”. Apakah kekayaan dan keragaman sejarah dan budaya gereja-gereja non Barat telah diapresiasi dan diapropiasi dalam semangat saling menerima dengan kerendahan hati epistemologis atau dominasi dan hegemoni itu masih terasa dalam cita rasa baru.

Dalam kaitan ini saya hendak menyebutkan proyek Gereja Orang Basudara (GOB) yang digulirkan GPM sebagai agenda dekolonisasi yang otentik. GOB sebagai upaya mengapresiasi dan mengapropiasi keragaman budaya kepulauan Maluku (Maluku dan Maluku Utara) sebagai anugerah Tuhan sekaligus menggunakannya sebagai bahan dasar berteologi dan bergereja. GPM terus mengembangkan pola-pola pelayanan ramah budaya lokal diantaranya melalui liturgi dan seni musik. Demikian pula kosmologi, kearifan lokal dan berbagai praktik budaya dikaji dan didayagunakan untuk membangun wawasan eklesiologi yang penad tanpa kehilangan kepekaan terhadap perubahan-perubahan kontemporer yang sedang terjadi dalam berbagai lini.

Agenda dekolonisasi juga terkait ideologi-ideologi dominan utamanya kapitalisme yang nampak pada penumpukan modal pada segelintir orang, keserakahan, gaya hidup konsumeris, flexing, hedon dan sebagainya. Sejauhmana para pelayan dan warga gereja peka terhadap kolonisasi berwajah baru ini dan bersikap kritis serta antisipatif terhadapnya? Realitas kemiskinan, krisis lingkungan hidup, pelanggaran HAM, radikalisme dan fundamentalisme, krisis keluarga, efek destruksi digital, kekerasan dalam rumah tangga, budaya patriaki, kesenjangan Utara-Selatan adalah isu-isu bersama yang membutuhkan suara profetik dan agenda pembebasan dari gereja gereja dan agama agamanya pada umumnya. Di sini paradigma agama-agama yang triumphalistik, formalistik dan ritualistik perlu didekonstruksi secara serius. Jika tidak, agama dapat berubah menjadi berhala dan kolonialisme baru di era ini.

BACA JUGA :  Rembuk Stunting 2023, Bupati Buru Selatan Minta Semua Desa Percepat Penurunan Stunting

Momen ulang tahun tentu menjadi kesempatan untuk merenungkan secara radikal dan mendalam hegemoni kolonisasi wajah lama atau baru. Seremoni ulang tahun dengan kue dan tumpeng bukan tidak penting tetapi perlu meneguhkan komitmen untuk terus membarui diri dan terbuka dituntun oleh Roh Kudus sambil melangkah dalam iman dan pengharapan sembari melakukan karya pelayanan dan kesaksian bagi dunia. “Aku datang supaya mereka mempunyai hidup dan mempunyainya dalam segala kelimpahan” kata Yesus Sang Kepala Gereja (***)

**) Ikuti berita terbaru Terasmaluku.com di Google News klik link ini dan jangan lupa Follow

No More Posts Available.

No more pages to load.